Saat mesantren, sering sekali saya mendengar pepatah Arab yang mengatakan bahwa ilmu itu sejatinya ada di dalam dada, di hati dan pikiran orang, bukan apa yang tertulis di dalam buku. Al-‘ilmu fi ash-shuduur laa fi as-suthuur. Ilmu akan bermanfaat jika dia dipahami, bukan yang tergeletak percuma di atas kertas. Demikianlah kiranya pesan kyai dan ustadzku di pesantren dulu.
Kisah-kisah para cendikiawan muslim pun kerap saya dengarkan di pesantren tentang pesan mendalam bagi para pencari ilmu tersebut. Adalah kisah Imam Ghazali, pengarang besar yang sempat bepergian dari Jurjan ke kota Thus yang pernah aku dengarkan. Dalam perjalanan tersebut, dia dirampok. Dan dari sekian banyak harta yang dirampas darinya, dia menyesalkan banyaknya buku-buku yang dibawa kawanan perampok.
Alkisah, Al-Ghazali tidak rela jika buku-bukunya yang berisi banyak sekali ilmu tersebut dirampas darinya, akhirnya di pun mengikuti kawanan perampok tersebut. Meski buku tersebut akhirnya dia peroleh kembali setelah mengiba kepada perampok tapi satu pelajaran penting dan berharga baginya adalah bahwa ilmu yang ada dibuku tidak sejati, karena dia bisa rusak dan hilang. Sementara yang kekal adalah pemahaman setelah membaca buku tersebut.
Cerita yang tak jauh berbeda juga pernah saya dengar ketika mesantren dulu. Diceritakan bahwa ketika menuntut ilmu di Madinah, Imam Syafi’i mencatat pelajarannya di atas daun dan tulang. Keterbatasan ekonomi tidak menghambatnya untuk terus belajar.
Hingga suatu hari kamarnya penuh dengan daun dan tulang. Tidak ada pilihan lain, untuk membersihkan kamarnya dari daun dan tulang, dia harus menghafal dan memahami apa yang tertulis, sebelum akhirnya membakarnya. Setelah membakarnya, Imam Syafi’i merasa amat kehilangan karena catatannya hilang begitu saja, tapi di sisi lain ia amat bersyukur karena menguasai ilmu yang dulu dia catat tersebut.
Dari cerita ini dan cerita lainnya yang sejenis, entah kenapa saya menjadi yakin bahwa sebenarnya manusia membutuhkan teks tertulis untuk sementara saja. Setelah manusia memahami makna bacaan, lekas-lekas kita bisa saja membuang kata-kata yang menghantarkan kita pada pemahaman. Jadi, utamanya adalah pemahaman, sementara teks sebagai penghantar saja.
Teks tidak akan berarti apa-apa jika pembacanya tidak paham. Teks yang tidak tersentuh manusia dengan begitu selamanya menjadi teks, tidak menjadi sesuatu yang berguna bagi manusia. Buktinya, jika tidak karena plagiasi dan persis hafal, kita tidak akan menggunakan kata-kata yang sama untuk menuliskan kembali apa yang kita pahami dari teks.
Sekali lagi, yang penting bagi manusia adalah pemahaman dalam dirinya, bukan kata-kata yang menghantarkannya.
Bahaya Teks tanpa Pemahaman
Penganjur teks yang baik selalu menginginkan agar tulisannya bisa membebaskan pembaca, bukan memenjarakannya dalam pemikiran yang sempit. Ajaran atau ajakan apapun, dari agama atau kepercayaan manapun, jika dia menghendaki pembacanya berpikiran sempit maka dia sebenarnya sedang menggiring pembaca agar tidak memahami agamanya. Dia hanya ingin agar pembaca menuruti apa kata teks yang dikonstruksi sedemikian rupa.
Dengan begitu, konten internet tanpa pemahaman menyimpan bahaya. Ia hanya akan menjadi doktrin buta dan melahirkan ideologi kaku yang menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan. Nah, akhir-akhir ini kita asyik sekali menikmati sajian teks tersebut di dunia maya. Meski konten tersebut bernuansa agama tapi dia hadir dengan maksud untuk mengebiri agama.
Coba pikir kembali, kita tak pernah memusingkan apakah kita sendiri paham dengan seruan dari teks-teks yang bernada provokatif, memecah belah, mengadu domba, membenci orang dan mengkafirkan yang tersebar di media sosial.
Tapi karena bungkusnya adalah agama, maka ia cantik. Karena cantik maka ia benar, tak penting ada muatan politik di belakangnya. Akhirnya, begitu mudahnya kita mengambil kesimpulan. Tanpa sadar, kita sebenarnya dijajah diri kita sendiri. Dijajah ketidakpahaman.
Pengetahuan kita tentang agama yang bersumber dari mesin perambah dan situs tak terpercaya menjadi hakim dalam pikiran kita untuk menyebarkan seruan kebencian lewat internet. Media sosial dan forum daring banjir hujatan dan hoax berkedok agama dan surga. Semuanya berawal dari kita yang gagal paham, tapi kemudian percaya dan menyebarkan.
Pada zaman Al-Ghazali maupun Imam Syafi’i, hanya orang-orang tertentu yang menuliskan buku. Hanya segelintir orang yang karyanya dibaca. Tapi di zaman sekarang, semua orang bisa menulis di media sosial dan website. Siapapun bisa menyebarkan pesan, penjahat bahkan teroris sekalipun. Benteng terakhir kita adalah akal dan hati, alat yang diberikan Tuhan untuk memahami segala.
Terutama untuk mengenali mana-mana pesan yang benar dan mana-mana pesan yang berisi tujuan-tujuan yang bertentangan dengan tujuan-tujuan agama. Ingat, tidak ada satupun agama di dunia ini yang menyeru kebencian dan kekerasan.[]