Abdullah, ayahanda Nabi Muhammad, mengikat janji setia dengan Aminah sebagai suami dan istri. Usai akad nikah, satu minggu lamanya mereka tinggal di rumah orang tua Aminah. Lalu mereka pindah ke rumah yang disediakan Abdul Muthalib. Rumah yang lumayan luas, sembilan kali dua belas meter persegi. Tak lama berada di rumah itu. Mungkin hanya seminggu.
Karena keadaan yang memaksa, Abdullah harus berangkat ke Syam untuk kepentingan bisnis keluarga besar. Perjalanan jauh yang sangat melelahkan. Ribuan kilometer jarak antara Mekah dan Syam ditempuh dengan kendaran unta.
Dalam perjalanan pulang menuju Mekah, Abdullah meninggal dunia ketika sang istri (Aminah) sedang mengandung janin yang baru berumur dua bulan. Beberapa bulan kemudian, Aminah melahirkan. Bayi laki-laki itu diberi nama Muhammad.
Namun, Aminah tak ditakdirkan mengasuh sang anak hingga dewasa. Sebagaimana sang suami, Aminah juga meninggal dunia dalam perjalanan pulang bersama Muhammad dari Madinah ke Mekah. Hanya ditemani seorang budak bernama Barakah, Muhammad kecil pulang ke Mekah.
Muhammad kecil menjadi yatim piatu. Ia tak pernah menyaksikan ketampanan wajah ayahnya dan hanya sebentar diasuh ibundanya, Aminah. Selanjutnya ia diasuh kakeknya hingga sang kakek meninggal dunia, ketika Muhammad berumur 8 tahun. Ia kemudian diasuh pamannya (Abu Thalib), hingga Muhammad menikah dengan Khadijah. Ketika Nabi SAW banyak mengalami intimidasi dari orang-orang musyrik Mekah, sang paman dan sang istri meninggal dunia.
Ketika ditanya soal perjalanan hidupnya yang berpindah-pindah pengasuhan ini, Nabi Muhammad menjawab, “begitulah cara Allah mendidikku”, sehingga tak ada satu orang pun yang sangat berpengaruh dalam hidupku termasuk orang tuaku sendiri. Ketergantungan Nabi SAW memang hanya pada Allah, bukan pada selain-Nya.
Abdullah dan Aminah datang ke dunia hanya sebagai sebab bagi lahirnya sang manusia sempurna, Nabi Muhammad SAW. Tak ada yang mendidik Nabi SAW selain Allah SWT. Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad wa ali Muhammad.
Wallahu A’lam.