Hui dan Uighur: Dua Etnis Muslim di China yang Beda Nasib dan Perlakuan

Hui dan Uighur: Dua Etnis Muslim di China yang Beda Nasib dan Perlakuan

Selain etnis Uighur, di China juga ada etnis Hui yang juga memeluk agama Islam.

Hui dan Uighur: Dua Etnis Muslim di China yang Beda Nasib dan Perlakuan
Foto satelit tentang camp di Xinjiang yang diduga disembunyikan oleh otoritas TIongkok. Pict Source: https://www.abc.net.au/news/2018-11-01/satellite-images-expose-chinas-network-of-re-education-camps/10432924

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2024, diprediksi akan mengubah pendekatan Amerika terhadap Cina. Analisis CNBC Indonesia dalam artikel berjudul Dunia Was-Was Tunggu Trump Effect ke China, Israel Hingga Arab menyebut bahwa Trump akan menerapkan kembali Trump Effect, yaitu kebijakan ekonomi dan politik yang memberi tekanan pada Cina untuk melemahkan hegemoninya. Selama periode pertamanya memimpin AS, isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap minoritas Muslim Uighur oleh pemerintah Cina dan Partai Komunis Tiongkok (PKT) selalu disorot oleh Trump, dan mendapat perhatian global.

Pada tahun 2020, Trump juga menandatangani undang-undang yang mengecam tindakan pemerintah Cina terhadap Uighur di Xinjiang, menyerukan penutupan kamp-kamp reedukasi yang dianggap melanggar HAM. Pelanggaran tersebut, memberi AS kemampuan untuk memberi sanksi kepada mereka yang terlibat dalam persekusi [Republika]. Sejumlah aktivis menyatakan bahwa Cina berusaha mengasimilasi paksa Uighur, menghancurkan budaya serta tradisi yang selama ini telah menjadi bagian integral dari identitas mereka.

Pemerintah Cina membantah tudingan tersebut, dan menyebut kamp-kamp yang didirikan sebagai pusat pendidikan untuk para ekstremis Islam, dengan tujuan untuk memberikan pelatihan dan memperkuat keterampilan mereka dalam masyarakat modern [BBC]. Lalu timbul pertanyaan, mengapa perhatian utama media internasional sangat fokus pada komunitas Uighur, meski ada komunitas Muslim lain seperti Hui. Apakah Muslim Hui juga mengalami perlakuan buruk atau justru situasinya berbalik?

Muslim Uighur dan Muslim Hui

Saat ini, diperkirakan terdapat lebih dari 20 juta muslim di negeri tirai bambu, atau sekitar 1,6% dari total populasi penduduk. Dalam konteks administrasi, Cina memiliki kebijakan untuk tidak mencantumkan agama pada kartu identitasnya, melainkan kolom suku atau etnis. Untuk mengetahui populasi muslim, kita dapat merujuk pada etnis penganut agama Islam, yang mana 10 dari 56 etnis diyakini menganut agama Islam, dua di antaranya Uighur dan Hui [Republika].

Uighur adalah etnis mayoritas yang mendiami wilayah otonomi khusus Xinjiang, di bagian barat Cina. Kelompok ini memiliki sejarah yang kaya dan diakui sebagai keturunan dari suku kuno Huihe yang berasal dari kawasan Asia Tengah. Oleh karena itu, dalam hal budaya dan kesamaan kultur, etnis Uighur cenderung memiliki kedekatan yang lebih kuat dengan berbagai etnis lainnya yang juga mendiami wilayah Asia Tengah.

Hal ini sangat berbeda dengan kelompok Hui, yang secara unsur kultur, bahasa, dan tradisi lebih mendekati etnis mayoritas di Cina, yaitu Han. Dalam konteks ini, tampak bahwa terdapat perbedaan yang jelas antara Uighur dan Hui, terkait dengan identitas yang telah berkembang selama berabad-abad di daerah yang mereka huni masing-masing. Etnis Hui yang mayoritas mendiami daerah otonomi khusus Ningxia, dapat dibilang adalah etnis Han yang memeluk agama Islam atau keturunan dari bangsa Persia, Arab, Mongolia, dan Turk yang menikah dengan Han.

Pemerintah Cina menunjukkan perlakuan yang berbeda terhadap dua kelompok etnis Muslim terbesarnya, yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda. Dalam hal ini, diskriminasi terkait kebijakan sangat terlihat pada Muslim Uighur yang tinggal di Xinjiang. Uighur sering kali mengalami pembatasan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk kebebasan beribadah dan menjalankan identitas budaya mereka.

Sebaliknya, Muslim Hui, yang sebagian besar mendiami wilayah Ningxia, memiliki citra yang jauh lebih positif di mata pemerintah. Mereka cenderung menikmati lebih banyak kebebasan sipil dan tidak menghadapi tingkat pengawasan dan penindasan yang sama seperti yang dialami Uighur. Etnis Hui dapat melaksanakan ritual keagamaan dengan lebih leluasa, serta pembangunan rumah ibadah dan sekolah keagamaan tanpa adanya intervensi dari pihak berwenang [Muh. Hanif & Amanatul Maula, Kehidupan Kaum Minoritas Muslim Hui dan Uyghur di Negeri Tirai Bambu, JSI, Vol 01, No 02, 2022, hal. 126-127].

Penyebab Perbedaan Perlakuan Pemerintah Cina Terhadap Uighur dan Hui

Terdapat dua faktor yang menyebabkan pemerintah Cina berbeda perlakuan terhadap Uighur dan Hui. Pertama, faktor perbedaan identitas, geografis, dan bahasa kedua etnis tersebut. Uighur, memiliki hubungan kurang baik dengan pemerintah dan menganggap identitas mereka bukan bagian dari bangsa Cina, melainkan bangsa Turk yang memiliki sejarah dan budaya tersendiri. Sebaliknya, etnis Hui memiliki pandangan bahwa diri mereka adalah bagian integral bangsa dan beridentitas warga negara Cina.

Perlakuan pemerintah terhadap kedua etnis, juga dipengaruhi oleh sudut pandang geografis. Wilayah Xinjiang, di mana etnis Uighur tinggal, berbatasan langsung dengan 8 negara, yang membuat mereka mudah terpapar pengaruh luar. Keadaan tersebut berpotensi memunculkan keinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan di kalangan masyarakat Uighur. Sedangkan Ningxia, yang merupakan tempat tinggal etnis Hui, terletak sepenuhnya di dalam wilayah Cina dan tidak berbatasan dengan negara lain, sehingga pengaruh eksternal tidak sekuat di Xinjiang.

Perbedaan bahasa juga berpengaruh, di mana etnis Uighur menggunakan bahasa Uighur dalam kehidupan sehari-hari, sementara etnis Hui berkomunikasi dalam bahasa Mandarin. Perbedaan-perbedaan tersebut, mencerminkan dekat atau tidaknya kultur mereka terhadap identitas nasional Cina. Dengan demikian, identitas, letak geografis, dan bahasa, berkontribusi pada penerapan perlakuan yang berbeda oleh pemerintah Cina terhadap Uighur dan Hui.

Faktor kedua adalah pengaruh solidaritas di luar wilayah Cina, yang berhubungan langsung dengan kedua etnis tersebut. Etnis Uighur yang tinggal di luar negeri membentuk organisasi, seperti Uyghur American Association untuk menekan pemerintah Cina terkait persekusi yang mereka alami dan mengadvokasi hak-hak mereka pada masyarakat global. Terdapat juga kelompok-kelompok radikal yang sering terlibat dalam aktivitas teror yang mengancam keamanan, seperti East Turkestan Liberation Organization, dan East Turkestan Islamic Movement (ETIM). Kelompok tersebut memiliki agenda untuk memerdekakan Uighur dan Xinjiang dari Cina dengan melibatkan tindakan ekstrem.

Sementara etnis Hui memiliki sejarah yang harmonis dengan Cina, tidak memperjuangkan kemerdekaan, dan mendatangkan keuntungan bagi negara. Ningxia, sebagai wilayah otonomi Hui mendapat donasi jutaan dolar dari Islamic Development Bank (IDB) untuk pengembangan sekolah tinggi Islam. Selain itu, pemerintah Malaysia juga memberikan bantuan yang signifikan dalam sektor pendidikan serta institusi Islam yang ada di Ningxia. Bantuan ini datang dalam berbagai bentuk, tidak hanya dalam hal pendanaan namun juga dalam penyediaan tenaga pengajar yang berkualitas untuk sekolah-sekolah Islam di wilayah tersebut.

Industri makanan halal yang berkembang di Ningxia, menunjukkan potensi yang menjanjikan dengan omset tahunan yang mencapai 700 miliar dolar. Produk-produk halal Ningxia dipasarkan dan diekspor ke Asia Tengah dan sekitarnya, sebagai kontribusi penting bagi ekonomi negara. Pemerintah Cina juga memberi keleluasaan kepada etnis Hui untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara Arab dan Islam untuk memperkuat hubungan perdagangan dan budaya.

Etnis Hui lebih mampu merepresentasikan identitas Muslim dan Tionghoa yang berjalan harmonis dibanding Uighur [Chriscahyanti Sofi Yustisia, Analisis Perbedaan Sikap Cina Terhadap Etnis Muslim Hui dan Uyghur, Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3, 2014, hal. 922-923]. Hal ini terjadi karena Hui lebih beradaptasi dengan sinifikasi agama yang dijalankan Cina. Dalam konteks ini, pemerintah meluncurkan inisiatif yang bertujuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai sosialisme ke dalam praktik keagamaan masyarakatnya. Inisiatif ini bertujuan untuk menyesuaikan praktik keagamaan dengan ideologi komunis yang dianut oleh negara. Fokus utamanya adalah mengurangi pengaruh luar yang mengganggu keselarasan praktik keagamaan dan ajaran komunis, sehingga keduanya menciptakan sebuah sinergi [Republika].

Meskipun etnis Uighur menghadapi berbagai tantangan, beberapa individu mereka berhasil mewakili Cina berkat bakat dan prestasi. Contohnya, Behram Abduweli, pemain sepak bola nasional Cina yang mencetak gol ke gawang Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia 2026 [Kompas], serta Dilraba Dilmurat, aktris terkenal yang telah membintangi banyak film Mandarin dan meraih berbagai penghargaan [Tempo]. Hal tersebut menunjukkan potensi kontribusi Uighur bagi Cina, sehingga pemerintah memperlakukan mereka serupa dengan Hui.

(AN)