Tradisi keislaman di Indonesia yang kaya dan beragam menunjukkan bahwa praktik seperti Tahlilan, Mauludan, dan ziarah kubur masih sangat diminati oleh mayoritas Muslim. Berdasarkan data dari buku In Bed with Data karya Hasanuddin Ali, tercatat bahwa 87,5% masyarakat Muslim di Indonesia tetap melaksanakan Tahlilan dan Mauludan, meskipun ada berbagai usaha kelompok tertentu yang mencoba mengubah pola keberagamaan masyarakat dengan alasan bid’ah.
Akar Tradisi Islam di Nusantara yang Menguat by Data
Dalam gambar grafik yang dimuat dalam buku In Bed with Data tersebut menunjukkan bahwa praktik Tahlilan dan Mauludan berada di puncak, masing-masing dengan persentase 87,5%. Qunut Subuh dan ziarah kubur menyusul dengan angka yang lebih rendah, yaitu 73,2% dan 67,2%. Angka-angka ini memberikan gambaran jelas bahwa tradisi Islam Nusantara tetap kuat meski dihadapkan pada berbagai tekanan dan narasi dari kelompok puritan seperti Salafi.
Salah satu agenda utama kelompok Salafi di Indonesia adalah melabeli beberapa praktik tradisional sebagai bid’ah, termasuk Tahlilan, Mauludan, Qunut Subuh, dan ziarah kubur. Hal ini bisa dilihat dari ceramah-ceramah maupun kajian ustadz-ustadz mereka. Mereka berupaya menyebarkan pemahaman bahwa praktik ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat Islam. Namun, data di atas menunjukkan bahwa pengaruh kampanye ini tidak signifikan. Mayoritas Muslim Indonesia tetap mempertahankan tradisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan beragama.
Hal ini juga sekaligus menjadi bukti nyata bahwa akar tradisi keislaman di Indonesia sangat kuat dan telah mendarah daging dalam kehidupan sosial masyarakat. Kampanye yang masif dari kelompok Salafi untuk “mendekonstruksi” tradisi masyarakat ini ternyata tidak berkelindan dengan hasil yang mereka harapkan. Sementara mayoritas masyarakat justru semakin mantap menjalankan tradisi yang diwariskan oleh para ulama Nusantara.
Tahlilan, yang biasanya dilakukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal, dan Mauludan, yang merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, bukan hanya sekadar ibadah, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang penting. Kedua tradisi ini menjadi momen berkumpul, mempererat silaturahmi, dan menyebarkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sejarahnya, para ulama Nusantara memanfaatkan tradisi ini sebagai sarana dakwah untuk memperkuat keimanan masyarakat sekaligus menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, tradisi ini tidak hanya diterima tetapi juga dicintai oleh masyarakat.
Pribumisasi Islam: Menjaga Harmoni Tradisi dan Ajaran Agama
Konsep pribumisasi Islam yang dicetuskan oleh Gus Dur menjadi fondasi penting dalam memahami keberagamaan di Indonesia. Gus Dur menekankan bahwa Islam harus hadir dalam masyarakat tanpa menghapus budaya lokal yang tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Menurutnya, Islam tidak perlu dipaksakan untuk menjadi Arab, tetapi justru harus berakar kuat pada budaya lokal agar mampu diterima secara luas dan menjadi solusi bagi masyarakat.
Dalam konteks tradisi seperti Tahlilan dan Mauludan, Gus Dur memandangnya sebagai wujud nyata dari pribumisasi Islam. Tradisi ini menunjukkan bagaimana Islam dapat berdialog dengan budaya lokal, menciptakan harmoni antara nilai-nilai agama dan kehidupan masyarakat. Gus Dur percaya bahwa tradisi Islam Nusantara tidak hanya mampu menjaga kesalehan individu tetapi juga membangun solidaritas sosial yang kuat melalui tradisi-tradisi tersebut.
Lebih jauh, Gus Dur melihat pribumisasi Islam sebagai jalan tengah untuk melawan dua ekstremisme: puritanisme yang ingin menghapus budaya lokal dan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Dalam pandangan Gus Dur, Islam yang membumi tidak hanya memperkuat nilai-nilai spiritual tetapi juga memperkaya keberagaman budaya Indonesia. Dengan demikian, Tahlilan, Mauludan, dan praktik-praktik tradisional lainnya bukanlah penghambat kemurnian agama, melainkan ekspresi Islam yang inklusif dan kontekstual.
(AN)