Natal, Mistisisme dan Cinta

Natal, Mistisisme dan Cinta

Natal, Mistisisme dan Cinta
A Syrian couple poses for a picture while gathering around a Christmas tree in the capital Damascus’ central neighbourhood of Qassaa on December 21, 2018. / AFP / LOUAI BESHARA

Di Ciputat, di seberang kampus IAIN Syarif Hidayatullah –sekarang UIN— beberapa puluh meter dari pagar, bertetangga dengan warung bakso, berdiri sebuah toko buku legendaris. Ia menghadap jalan.

Ruangannya dikerubuti buku-buku yang disusun bertingkat hingga menyentuh atapnya.

Saya yakin para intelektual dan aktivis jebolan IAIN, dari Harun Nasution hingga Asep Saepudin Jahar, Rektor UIN sekarang, tahu dan menikmati kehadirannya: Batu Bara. Buku-buku yang dijual berkualitas, dari buku ajar hingga populer. Harganya bersahabat.

Sayang, saya dengar toko buku ini akan atau mungkin sudah almarhum.

Salah satu warisan Batu Bara yang saya miliki adalah buku ini: Mistisisme dan Islam Kristen karya Margaret Smith. Margaret sarjana kelahiran Inggris yang menekuni sufisme. Karya-karyanya mempengaruhi para sarjana perempuan terkenal sesudahnya seperti Annemarie Schimmel dari Jerman dan Sachiko Murata dari Jepang.

Buku itu saya beli pada 2015 seharga 40 ribu, tapi saya hanya membayarnya 32 ribu karena potongan harga. Berbeda sekali dengan pajak PPN yang dengan selebor dinaikkan hingga 12 persen. Ini buku terjemahan. Amroeni Drajat penerjemahnya. Kuat dugaan saya ia juga lulusan IAIN. Diterbitkan Gaya Media Pratama di Pamulang, setengah jam dari Ciputat.

Saya membaca lagi buku ini karena hari ini Hari Natal.

Katakanlah ini ucapan saya untuk teman-teman Kristen yang tengah merayakan. Topik yang diangkat Margaret Smith amat tepat dan relevan: memahami agama dari sisi terdalamnya.

“Mistikus adalah seorang yang telah menggeluti dalam pencarian mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan, dan terus menerus menjaga teguh mengenai pengetahuan yang telah disampaikan atau tersingkapkan kepadanya,” kata lulusan diploma keguruan di Oxford ini.

 

Hal menarik lainnya, ia menghubungkan mistisisme dalam Kristen dan Islam. Ia menyimpulkan mistisisme dalam Islam sebagian disumbang mistisisme Kristen.

Ia bicara para sufisme nomor wahid dalam sejarah Islam, dari Rabiah Al-Adawiyah hingga Abu Yazid Al-Bustami. Dari buku ini, saya juga belajar bagaimana orang-orang suci di Kristen bicara dan mempraktikkan mistisisme.

Santo Paulus mengatakan, “kita semua dengan menempatkan wajah kita di depan kaca kemuliaan Tuhan, maka gambaran wajah kita akan memantulkan gambaran yang sama, demikian pula jika kita hadapkan spiritual kita di hadapan cermin Tuhan.” Santo Yohanes menyampaikan pandangannya yang penting. Iman ditunjukkan oleh pengorbanan diri dan dasarnya adalah cinta.

“Orang yang dikaruniai rasa cinta Tuhan dia akan mengenal Tuhan,” katanya.

Saya kira, pernyataan kedua tokoh suci ini menggedor kesadaran kita betapa sering kali agama hanya menampilkan kebencian dan disekat-sekat oleh simbol.

Simbol itu justru menahan kita memahami makna terdalam keagamaan. Sebagian kita diliputi kekhawatiran jika gereja berdiri atau jika masjid ditegakkan.

Mula-mula seringkali orang tak mendahulukan cinta, malahan kekhawatiran dan kebencian.

Mas Trisno Sutanto, seorang teman Kristen –yang sedihnya “pergi” di tahun ini—mengatakan hal penting lewat Politik Kebinekaan: Esai-Esai Terpilih. Kesalehan individu sebagai warisan misionaris Barat, katanya, sudah tak gayut dengan konteks saat itu. Ia harus ditransformasi keluar dalam dan melalui perubahan masyarakat.

Terdapat tiga ranah problematis dalam kehidupan gereja, terutama Kristen, menurutnya: relasi gereja dengan adat, budaya, dan agama suku; relasi gereja dengan pemerintah atau kekuasaan negara, dan relasi gereja dengan agama-agama dan kepercayaan lain, terutama Islam.

Selamat hari Natal untuk sahabat-sahabat yang merayakan. Semoga damai dan kasih meliputi kita semua.

 

Kalimulya, 25 Desember 2024

Alamsyah M Djafar