Kasus pembubaran Jalsah Salanah Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat menyadarkan kembali masyarakat Indonesia tentang rentannya situasi keberagaman di Indonesia. Sepanjang 2024, kasus-kasus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dan sejenisnya masih terus mengemuka. Setidaknya, ini menjadi dalil bahwa nilai kebhinekaan belum mengakar kuat di masyarakat dan pemerintahan kita.
Pendidikan dalam hal ini dipandang sebagai agen penting dan sektor strategis untuk mengajar dan menanamkan nilai-nilai toleransi. Kerja-kerja besar seperti demikian, butuh peran lintas sektor dan multipola untuk memastikan nilai-nilai toleran dan saling menghargai tertanam di wajah pendidikan kita. Terlebih kalangan Generasi Z dan Milenial, mereka ini lah yang di depan hari menjadi cerminan keberagaman Indonesia.
Pada tahun 2021 International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Lembaga Demografi FEB UI melakukan penelitian bertajuk “Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Milenial di Indonesia terhadap Toleransi Kebhinekaan dan Kebebasan Beragama”. Penelitian tersebut hendak mengungkap sikap dan pandangan Generasi Z dan Milenial terhadap toleransi, kebhinekaan, dan kebebasan beragama yang melibatkan 1.200 responden di 18 provinsi, mewakili 81 persen populasi Indonesia.
Baca juga : Drama Penyegelan Masjid Ahmadiyah: Antara Intoleransi dan Problem Regulasi
Salah satu temuan penting adalah dukungan signifikan dari Gen Z terhadap tempat ibadah agama minoritas di sekolah. Sebanyak 74 persen Gen Z dan lebih dari 65 persen Milenial menyatakan dukungannya. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya menyediakan ruang yang inklusif bagi semua kelompok agama, terutama di lingkungan pendidikan yang menjadi fondasi pembentukan nilai-nilai toleransi.
Selain itu, lebih dari 80 persen responden mendukung adanya pelajaran tentang agama-agama di Indonesia. Dukungan ini mencerminkan keinginan generasi muda untuk memahami keragaman agama, yang dapat menjadi modal penting dalam membangun harmoni di tengah perbedaan. Bahkan, 97 persen responden menyetujui bahwa semua warga negara, tanpa memandang agama, harus memiliki hak yang sama di hadapan negara.
Dalam hal kesetaraan gender, hampir separuh responden menilai perempuan layak menjadi pemimpin negara (42 persen di kalangan Milenial dan 46 persen di kalangan Gen Z). Sementara itu, dukungan terhadap keragaman budaya dan suku mencapai 99 persen, mencerminkan penghargaan yang tinggi terhadap keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Namun, dibalik optimisme angka-angka di atas, riset INFID juga mengungkap kecenderungan eksklusivitas beragama yang masih mengkhawatirkan. Temuannya menyebut, sebanyak 40 persen responden mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang sesuai dengan mayoritas agama di daerah tertentu. Ini menunjukkan bahwa penerimaan terhadap perbedaan masih menghadapi tantangan di beberapa aspek kehidupan sehari-hari.
Hal lain yang lebih mencemaskan, hanya 53 persen Gen Z mau menerima pemimpin dari kelompok minoritas. Bahkan, hanya 19 persen yang menilai kalau pemeluk agama minoritas layak menjadi presiden. Sisanya, Gen Z menilai kelompok adat dan minoritas tidak layak diangkat menjadi pemimpin. Data ini agaknya menunjukkan hambatan sosial yang perlu diatasi untuk mencapai cita-cita inklusivitas yang sungguh-sungguh.
Temuan ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua, terutama pemangku kepentingan di sektor pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah, untuk memperkuat dan menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini. Pendidikan yang berorientasi pada penghargaan terhadap perbedaan harus menjadi garda terdepan dalam membentuk generasi yang benar-benar memahami arti keberagaman.
Dengan begitu, nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika tidak hanya mengemuka di langit-langit, tetapi juga membumi menjadi cara hidup yang nyata di masyarakat.
Baca juga : Rembuk Ide, Savic Ali: Gen Z Umumnya Moderat, Tapi Usil di Dunia Maya
Meski data ini berasal dari tahun 2021, relevansinya masih sangat terasa hingga saat ini. Kasus-kasus pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang terus terjadi di berbagai daerah menunjukkan bahwa pekerjaan rumah untuk meneguhkan nilai toleransi belum selesai. Generasi muda, yang akan menjadi pemimpin masa depan, harus mendapatkan dukungan penuh untuk mengembangkan sikap yang lebih inklusif dan progresif.
Riset ini menjadi pengingat bahwa upaya membangun bangsa yang toleran adalah perjalanan panjang yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan kesungguhan dari semua elemen masyarakat.
Gen Z dan Milenial memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam merawat kebhinekaan Indonesia. Meski masih ada tantangan berupa eksklusivitas beragama, dukungan terhadap keragaman, kesetaraan gender, dan hak beragama menunjukkan arah yang positif. Dengan pendekatan edukatif yang berkelanjutan, Indonesia dapat melahirkan generasi yang tidak hanya menghargai, tetapi juga merayakan keberagaman sebagai identitas bersama. Kira-kira begitu.