Catatan Umrah (7): Dashyatnya Menyapa Ka’bah dari Dekat

Catatan Umrah (7): Dashyatnya Menyapa Ka’bah dari Dekat

Catatan Umrah (7): Dashyatnya Menyapa Ka’bah dari Dekat

Ini malam bersejarah yang akan saya kenang dalam hidup. Kabah berdiri dari jarak tak sampai seratus meter dari lantai yang saya injak.

Cahaya yang ditembak dari tiang-tiang lampu Masjidil Haram mengenai kepala dan badan Kabah yang berselimut kain hitam. Dari kaligrafi berwarna emas yang melingkar di pelipisnya, cahaya berpantul lagi ke udara di hadapannya.

Pukul setengah sepuluh malam 25 November waktu Makkah, ribuan orang merayap mengelilingi kotak hitam yang dibangun dari masa silam itu. Saya yang datang dari pintu arah belakang Kabah mengikuti arus langkah manusia dari pinggir menuju bagian tengah.

Kini jaraknya hanya lima belas hingga dua puluh meter dari Kabah.

Saya tak mendekat lagi. Manusia berdesakan untuk bisa memegang dinding Kabah.

Saya mengingat kisah-kisah orang yang berhaji dulu. Sebagian terinjak-injak. “Jika tak mungkin dan membahayakan cukup menyampaikan salam dari jauh,” kata pembimbing saat kami berada di perjalanan.

Gerakan saya melambat menjelang Rukun Yamani, sudut kanan Kabah. Satu sudut lagi, saya bakal melihat Batu Hitam, Hajar Aswad. Orang-orang mulai membaca doa sapu jagad.

Sebagiannya merapalkan keras-keras.

Saya hanya menggerakkan bibir berharap tuhan memberi apa yang terbaik bagi saya, keluarga, teman-teman, umat Islam dan manusia; berdoa agar kekerasan dan perang berhenti, tragedi kemanusiaan di Palestina selesai.

Bahu saya mulai terhimpit manusia dari banyak negara. Saya terus berjalan. Beberapa orang laki-laki dan perempuan memotong jalan menuju dinding Kabah atau sebaliknya yang membuat saya berhenti sejenak.

Di samping saya serombongan orang saling berpegang pundak, di samping lagi ada lelaki yang menggandeng ibunya yang renta.

Tiba di sudut berikutnya, orang-orang melambaikan tangan ke arah kiri sembari meneriakan, “Bismillah Allahu akbar!”

Saya ikut melakukannya. Di sini orang berjalan lebih pelan dari biasanya. Saya lihat seorang tentara bertopi hitam berdiri menempel dinding berpegangan tali hitam. Sering ia meminta orang-orang di depannya bergegas. Persis di betis tentara, Hajar Aswad berada.

Menurut sejarah yang umum diketahui, Hajar Aswad ditemukan dan diletakkan Nabi Ibrahim, Bapak bagi tiga agama besar dunia, sebagai penanda saat orang-orang bertawaf.

Batu ditemukan ketika putranya Nabi Ismail, puteranya, mencari batu atas permintaan Nabi Ibrahim.

Saat kembali, Nabi Ismail sudah melihat batu itu berada di salah satu sudut Kabah. Sang Bapak yang meletakkanya. Konon sebagian batu ini mulanya berwarna putih lalu lama-lama menghitam.

Pada putaran-putaran awal saya masih berjalan di sisi luar maqam Ibrahim. Ia berada di sisi saya.

Jika tak salah ingat, di putaran keempat saya lihat bangunan yang disucikan itu di kanan bahu saya. Jaraknya kurang dari satu meter.

Saya tak meraihnya karena tertutup badan-badan manusia yang berhenti dan mengelus-elusnya.

Bangunan itu seperti sangkar terbuat dari emas setinggi badan saya. Di dalamnya teronggok sebuah batu yang digunakan Nabi Ibrahim untuk membangun Kabah. Semula batu itu ada di bangunan Kabah, tapi belakangan dipindah ke tempat yang sekarang.

Selama thawaf saya menikmati bangunan Masjidil Haram yang megah, bertingkat-tingkat mengelilingi Kabah, bangunan yang hampir sebagiannya ditempel marmer. Inilah pusat peradaban Islam selain Masjid Nabi Nabawi.

Sejarah Islam dimulai dari sini lalu menyebar hingga Eropa, menyentuh Nusantara, masuk ke Jawa, lalu oleh para pendahulu saya dibawa hingga ke Pulau Tidung.

Dari mereka dan Bapak-Emak, saya mengenal Islam. Mekkah dan Ka’bah adalah kebanggan.

Dan itulah yang dirasakan penguasa Saudi Arabia, menyematkannya sebagai Pelayan Dua Kota Suci yang Mulia.

Setelah putaran ketujuh saya menjauh dari dinding Kabah, mengikuti rombongan Indonesia yang masih tersisa beberapa orang. Kami keluar dari pintu dekat Mas’a, tempat bersai atau lari-lari kecil. Di dekat pintu itu, kami shalat sunnah dua rakaat seperti dianjurkan. Seteguk air zamzam sudah masuk ke tenggorokan saya yang kering.

Saya kembali melihat Kabah yang terus dikerubungi manusia seperti laron-laron pada cahaya lampu sehabis hujan. Mereka bergerak pelan.

Dari mulut-mulut pintu Masjidil Haram mereka terus berdatangan bergabung dengan ribuan orang yang tengah thawaf. Tak lama, saya tinggalkan lokasi ini menuju Safa.

Mekkah, 27 November 2024