Ketika Muridku Bertanya, “Bolehkah Aku Menikah dengan Kawan Non-Muslim?”

Ketika Muridku Bertanya, “Bolehkah Aku Menikah dengan Kawan Non-Muslim?”

Ketika Muridku Bertanya, “Bolehkah Aku Menikah dengan Kawan Non-Muslim?”
ilustrasi: Potret dua anak kecil yang ikut serta dalam kegiatan mengaji massal di Titik Nol, Yogyakarta. Foto: Twitter @muslimunited

Pagi itu, seperti biasa, aku masuk ke ruang kelas di sebuah sekolah internasional tempatku mengajar. Pada kesempatan kali ini, kami belajar tentang shalat. Sebelum memaparkan materi, aku bertanya pada murid-muridku “Siapa yang sudah bisa shalat?” Sebagian siswa mengangkat tangan dan berseru “Saya sudah bisa.” Sementara sebagian lainnya mengaku masih belum bisa.

Setelah menjelaskan tentang shalat, aku kembali melempar pertanyaan, “Kalian tahu tidak, kalau shalat berjamaah, pahalanya lebih banyak loh dari shalat sendirian. Nah, siapa yang sudah pernah shalat berjamaah?”

Satu persatu siswa mengangkat tangan dan menceritakan pengalaman mereka shalat di rumah bersama keluarga. Ada yang shalat bersama ayahnya, ibunya, kakaknya, atau bahkan dengan pengasuh atau asisten rumah tangganya.

Akan tetapi, ada seorang murid yang tampak muram, ia mengangkat tangan dan berkata “Miss, aku ga pernah shalat bareng Papa. Aku pengen banget shalat sama Papa, tapi Papaku Kristen,” ungkapnya.

“Nggak apa-apa, jangan sedih ya, kamu kan masih bisa shalat bareng Mama,” jawabku menenangkannya.

Pada kesempatan mengajar di kelas lain, kami sedang mempelajari tentang pesan-pesan toleransi dalam QS. Surah Al-Hujurat ayat 13. Di sesi tanya jawab, seorang peserta didik bertanya padaku “Miss, boleh ga aku nikah sama temenku yang non muslim? Karena aku maunya nikah sama yang beautiful

“Kalau maunya sama yang cantik, kan yang muslim juga banyak yang cantik,” ujarku sambil tersenyum padanya.

“Tapi Miss, temanku yang beautiful itu bukan Islam. Aku maunya sama yang beautiful” ia menjawab lagi dengan polosnya.

“Perjalanan kamu kan masih panjang, jadi ga perlu mikirin nikah dulu. Sekarang, lebih baik kita fokus belajar dulu aja ya,” balasku.

Pertanyaan itu rupanya memantik keingintahuan siswa-siswi yang lain sehingga memunculkan tanda tanya lagi. “Miss, kalau dalam agama dan di Indonesia tidak boleh nikah beda agama, lalu bagaimana dengan om dan tanteku yang sudah menikah tapi beda agama?” tanya murid yang lain.

“Lalu bagaimana dengan orang tuaku yang berbeda agama Miss?” anak lainnya bertanya.

“Anak-anakku, kalian sudah tahu belum tentang kisah Asma binti Abu Bakar dan ibunya?” tanyaku. Aku kemudian bercerita tentang kisah Asma dan ibundanya, Qutailah.

“Setelah masuk Islam, Asma dan ayahnya, Abu Bakar hijrah ke Madinah. Akan tetapi, ibunda Asma, Qutailah belum mau memeluk Islam, sehingga ia tetap tinggal di Makkah. Suatu hari, ibunda Asma datang ke Madinah untuk bertemu Asma dan memberikan hadiah kepadanya, dia kangen sekali dengan putrinya itu. Akan tetapi, Asma ragu, apa ia boleh menerima hadiah dari ibunya itu, padahal ibunya bukan muslim. Asma kemudian bertanya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW menjawab ‘Bersilaturahimlah dengannya, dia adalah ibumu.”

Nah, jadi Rasulullah Saw mengajarkan kita untuk tetap bersilaturahim dan berbuat baik pada kerabat-kerabat kita yang bukan muslim sekalipun. Perbedaan agama bukan jadi alasan bagi kita untuk menjauhi kerabat-kerabat yang non muslim.

Keluarga, Fondasi Pertama dan Utama

Salah satu kelebihan sekolah internasional adalah lingkungan yang inklusif. Para siswa datang dari berbagai latar belakang suku, bahasa, budaya, agama dan negara. Sehingga tak heran bila mereka terbiasa melihat perbedaan, tak hanya di kelas, bahkan juga di lingkungan keluarga mereka.

Bagi anak-anak multikultural, pernikahan beda agama adalah salah satu hal yang lumrah mereka temukan dalam keluarga. Selain berbeda agama, beberapa di antara mereka juga lahir dari ayah atau ibu berkewarganegaraan asing.

Dalam Islam dan peraturan hukum di Indonesia, nikah beda agama memang tidak diperbolehkan. Meskipun dalam Islam, laki-laki muslim boleh menikah dengan perempuan ahli kitab. Akan tetapi, keberadaan ahli kitab di masa kini pun masih menjadi perselisihan.

Pernikahan bukanlah hal yang remeh, ada begitu banyak tantangan dalam membangun rumah tangga. Sehingga dibutuhkan visi dan misi yang sama, serta komunikasi yang baik antar sesama pasangan. Pernikahan bukan hanya bertujuan untuk menyatukan dua sejoli yang saling mencintai, tetapi juga untuk menggapai rida ilahi.

Selain itu, salah satu hal yang dapat diwujudkan dari pernikahan adalah hifdzun nasal, upaya menjaga keturunan melalui pernikahan yang sah. Kelak, dari keluargalah anak-anak pertama kali belajar agama.

Mengapa Allah Menciptakan Perbedaan?

“Kenapa sih Allah menciptakan kita berbeda-beda?” tanyaku pada siswa siswi untuk memancing diskusi. Sejumlah siswa memaparkan pendapat mereka masing-masing.

Aku kemudian menambahkan “Meskipun perbedaan kerap menjadi sumber perpecahan, akan tetapi, jika kita perhatikan, perbedaan dan keberagaman itu justru menunjukkan keindahan. Coba kalian bayangkan, bagaimana kalau semua orang kulitnya terang, tidak ada yang gelap, atau sebaliknya? Coba kalian bayangkan, bagaimana kalau semua orang rambutnya lurus, tidak ada yang keriting? Dunia akan terlihat membosankan bukan? Adanya keberagaman justru membuat hidup kita lebih berwarna.”

“Begitu pula dengan agama. Kalau Allah mau, Allah bisa loh menjadikan orang-orang di dunia ini beragama Islam semua. Tapi Allah justru sengaja menciptakan keberagaman, supaya kita bisa saling mengenal,” lanjutku.

Ketika membincang toleransi, para siswa siswi di sekolah internasional mungkin belum bisa menjelaskannya definisinya secara detail. Akan tetapi, soal penerapan dalam kehidupan sehari-hari, tentu saja mereka sudah sangat berpengalaman. Bagi mereka, berinteraksi dengan kawan-kawan yang berbeda agama adalah hal biasa. Mereka biasa belajar, bermain, dan makan bersama kawan-kawan non muslim. Oleh karena itu, guru-guru perlu melakukan penguatan bahwa hidup dalam keserasian dan kebersamaan sejatinya adalah ajaran agama. Bahkan semua agama juga mengajarkan untuk saling menyayangi dan mengasihi terhadap sesama.

Aku melihat bahwa semakin sering anak terpapar dengan keberagaman, maka semakin besar pula sikap toleransi mereka. Akan tetapi, permasalahan selanjutnya yang mereka hadapi adalah sampai mana batas toleransi itu sendiri? Sebab, toleransi bukan hanya tentang memastikan orang yang berbeda agama dengan kita dapat menjalankan agamanya dengan tenang, melainkan juga tentang cara kita menjaga agama kita. Perlu kita ketahui pula bahwa meskipun kita harus bersikap toleran, agama tetap memiliki batasan yang perlu kita jaga.