Saya mengikuti berita kemenangan Trump di AS atas Harris karena bagaimanapun posisi AS dengan setiap presidennya berdampak langsung bagi perjuangan, perlawanan, dan nasib bangsa Palestina. Dan akan berdampak pada negara lain, termasuk Indonesia.
Banyak orang Indonesia dari berbagai sudut pandang meyakini kemenangan Trump akan menghentikan genosida Israel terhadap bangsa Palestina. Pandangan naif semacam itu dari mana muasalnya? Tidak jelas.
Kekuatan imperial seperti AS memiliki dampak mematikan bagi negara yang belum memperoleh kemerdekaan dalam perjuangannya melawan penjajah seperti bangsa Palestina. Terlebih fakta Israel sepenuhnya didukung oleh AS dan sekutunya secara penuh.
Sebuah negara merdeka dan berdaulat walaupun dihegomoni sak urusan pakaian dalam penduduknya seperti Indonesia tetap lebih baik nasibnya daripada sebuah negara yang masih dijajah di kuartal awal abad-21 seperti Palestina.
Memaksa Israel menghentikan penjajahan-pemukimnya inilah seharusnya menjadi inti perhatian dari siapa saja yang ingin membantu dan mendukung perjuangan bangsa Palestina. Guna mencapai itu, kita tidak cukup dengan mengirimkan doa berupa qunut nazilah dan bersikap pura-pura atau cuek seakan tidak ada masalah genosida di Palestina, terutama Jalur Gaza, hari ini, dan itu masih terus berlangsung.
Di titik inilah pentingnya kita mengambil kembali poin utama dari gagasan para pemikir dunia ketiga di masa dekolonisasi pada empat atau tiga dekade lalu.
Dekolonisasi adalah syarat utama yang dibutuhkan oleh bangsa Palestina hari ini! Dekolonisasi Palestina itu tidak harus menunggu perubahan politik baik di AS, Prancis, Jerman , Inggris dan sekutu Amerika lainnya sebagaimana diyakini para pembangkang Amerika atau Eropa dari berbagai aliran, Kiri, Anarkis, Libertian, sampai Liberal sekalipun.
Indonesia beserta gerakan masyarakat dunia harus mendorong dan bersuara lantang tentang dekolonisasi Palestina sebagai syarat utama bagi tegaknya negara Palestina yang berdaulat. Persoalan ketidaksiapan lembaga negara yang kuat di tengah bangsa Palestina urusan belakangan. Mereka paling tidak masih memiliki sayap perjuangan kultural yang sangat kuat dan dinamis.
Israel akan terus membunuhi anak-anak, menyerang rumah sakit, menyerang kem-kem pengungsian, dan setiap hari akan jatuh korban sipil yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai negara penjajah-pemukim, membunuhi orang palestina adalah jalan keberlangsungan Israel sebagai sebuah negara penjajah-pemukim.
Apa yang terjadi pada bangsa Palestina tidak berbeda dengan apa yang terjadi pada pribumi Amerika, Selandia Baru dan Australia. Negara penjajah-pemukim hanya bisa tegak ketika penduduk asli negara yang mereka jajah hampir punah.
AS dan aliansinya sebagai kekuatan imperial global akan tetap membantu Israel sepenuh hati dalam meningkatkan skala genosida bangsa Palestina. Sangat naif memandang bahwa pergantian presiden AS akan berdampaik baik bagi bangsa Palestina.
Tidak akan ada perubahan dukungan AS kepada Israel setelah Trump terpilih.
AS memiliki segudang alasan untuk tetap memastikan Israel berada pada stamina terbaik dari kolonial-pemukimnya, terutama memastikan genosida Israel terhadap bangsa Pakestina dengan senjata mematikan terus berlangsung.
Dalam kajian Palestina (Palestina Studies), mereka yang melihat genosida Palestina Israel sangat tergantung pada perubahan politik warga kulit putih AS dan Eropa Barat dianggap sebagai munafik. Padahal sebagian besar dari mereka yang menganut pendapat ini sangat kritis kepada pemerintas AS dam sekutunya. Orang sekaliber Chomsky kena serempetan dari kritik semacam ini.
Opini hipokrit lainnya, bahwa perubahan politik AS terhadap penjajahan Israel terhadap Palestina disebabkan oleh kuat loby Yahudi di Amerika. Seharusnya: lobby yahudi memang sangat berpengaruh di AS, tapi Pemerintah Amerika tanpa lobby Yahudi akan tetap mendukung Israel, dan genosida yang dilakukan Israeal adalah buah tangan AS dan sekutunya secara langsung. Nasib naas Palestina adalah hasil kerja langsung imperial AS dan sekutunya.
Bagaimana yang terjadi di Indonesia, untuk bersuara keras saja kita tidak berani karena takut dengan dampak hubungan-hubungan dan kepentingan terkait AS dan Yahudi. Mungkin ini masuk ke kemunafikan intelektual murakkab!
Bagaimana dengan meluasnya unjuk rasa para mahasiswa dalam menyuarakan pembebasan Palestina di Kampus-Kampus AS dan Eropa?
Hal ini memang hasil dari perjuangan panjang bangsa Palestina sendiri, terutama tumbuhnya kepemimpinan-intelektual bangsa Palestina di pusat-pusat kebudayaan Barat, dan fakta ini menarik sekali karena belum pernah terjadi peningkatan pemahaman seperti sekarang tentang kebejatan penjajahan-pemukim Israel di kalangan sipil AS dan Eropa Barat.
Namun, pada saat bersamaan penting mengetahui tidak hubungan antara bawaan dan ambisi imperial AS,Inggris,Jerman, Prancis dan negera Eropa Barat lainnya dengan perkembang dunia pengetahuan humanis, rezim imperial tuli dengan suara keras,kritis dan tecerahkan dunia intelektual itu.
Ini bukan soal relasi pengetahuan dengan kekuasaan (knowledge/power relation) sebagaimana dipahami dalam ilmu sosial selama ini.
Sejak kolonialisme Eropa sampai imperialisme hari ini, pengetahuan yang kritis berhadapan dengan ketidakpedulian dan keabian kaum kolonial akan suara kemanusiaan pengetahuan.
Ada tembok “Ignorance” yang tebal dalam produksi pengetahuan kolonial dan imperial, dan persis titik ini yang dikritik oleh generasi intelektual dunia ketiga sejak tahun 1950 an sampai hari ini. Bukan sekedar masalah instrumentalisasi pengetahuan untuk kepentingan penjajahan sebagaimana dijajakan para pemikir Barat, tetapi bagaimana melubangi sendiri tembok tembak “ignorance” yang tinggi dan tebal seperti tembok Yakjuj dan Makjuj yang dibangun oleh Nabi Zulkarnaen. Dan itu sebagaimana dipikirkan para intelektual dunia ketiga hanya bisa dilakukan oleh orang dunia ketiga sendiri dengan membangun suatu kultur kepemimpinan intelektual yang berbeda dengan kultur pengetahuan Barat yang sangat rentan karena dijangkiti “keutamaan kulit putihisme” dan delusional dalam memandang kemanusiaan itu sendiri.
Kenyataan ini harus memaksa kita bersuara lebih keras nan kritis, bukan malah merayakan projek imperial seperti humanitarianisme dan agenda pelunakan lainnya. Wallahu ‘alam bishawab.
Kredit foto: Karya Rawan Murad, pelukis Palestina