Sebagai seorang mahasiswa UIN (Universitas Islam Negri) saya sering mendengar materi dari dosen-dosen bahwa Islam pernah jaya pada masanya, bahkan saya menemukan klaim ini di beberapa siniar para tokoh akademis, hingga politis, sebut saja Gita Wirjawan dalam program endgame bersama Habib Ja’far di (episode #42) atau bersama pak Fahruddin Faiz (episode #110)
Klaim kejayaan tersebut rupanya berangkat dari kuantitas ilmuwan muslim di bidang sains, teologi, filsafat, dan lain-lain. Tidak dipungkiri, pada era Abassiyyah ini, Baghdad dan Cordoba menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia.
Hal ini menjadikan muslim sebagai kaum yang overproud, bahkan hingga saat ini, pada komentar-komentar media sosial, acap kali saya temukan komentar-komentar bahwa Islam zaman dulu menjadi kiblat ilmu pengetahuan, Islam zaman dulu merupakan era keemasan dibanding era sekarang.
Tapi emang betul, ya, Islam yang jaya pada saat itu? Islam yang jaya atau Timur Tengah-nya? Mengapa selalu timbul rivalisasi antara Islam vs Barat? Pertanyaan inilah yang selalu muncul di batin saya.
Islam Sebagai Produk Sejarah dan Islam Sebagai Wahyu
Jika ditelaah secara tekstual, saya yakini bahwa Islam tak pernah mencapai masa jaya maupun masa surutnya, karna Islam sebagai wahyu telah final, tak bisa dibicarakan lagi kecuali permasalahan furu’iyyah. Jika ditelaah sebagai produk sejarah, maka kita harus menilik secara historis, benarkah ajaran Islam berkontribusi dalam mencetak ilmuwan-ilmuwan sains itu?
Ajaran Islam mengajarkan umat muslim untuk menuntut ilmu, ini tertulis dalam Al-Qur’an dan tentu telah umum diketahui. Namun, Al-Qur’an tidak pernah menspesifikasi cabang ilmu apa yang harus dituntut kecuali singgungan di dalam ayat tertentu, seperti ayat-ayat yang secara tematik membahas tentang sains, entah tentang bumi, air, luar angkasa, sampai penciptaan alam semesta. Lalu, bagaimana bisa mayoritas muslim mengatakan bahwa era ilmuwan sains dinasti ‘Abassiyah adalah era kejayaan Islam?
Islam melalui Al-Qur’an dan Hadis selalu menganjurkan untuk semangat dalam menuntut ilmu. Selain itu ada juga peringatan bahwa segala sesuatu yang diciptakan tuhan memiliki rahasianya sendiri. Stimulus dari Al-Qur’an ini merupakan landasan renungan bagi kaum muslim untuk terus mengeruk kajian keilmuwan secara mendalam. Lalu darimana ilmuwan Muslim era tersebut mendapatkan pokok materi/intisari sains dalam perjalanan mereka?
Sejarah Transimisi Pengetahuan dari Yunani ke Timur Tengah.
Sejarah ini patut diperhitungkan, bahwa yang berkontribusi penuh dalam perkembangan ilmu pengetahuan di era dinasti Abbasiyyah adalah sejarah transliterasi naskah-naskah peninggalan Yunani dan Romawi ke dalam bahasa Arab yang didominasi dengan pelajaran-pelajaran filsafat Yunani.
Naskah ini kemudian dipelajari oleh umat muslim di era tersebut, dikaji secara mendalam yang bahkan menjadi rumusan bagi ilmuwan islam mengemukakan ideologi filsafat. Berbeda dengan al-Ghazali yang memiliki jejak rekamnya sendiri dalam mengarungi lautan teologis, Ibnu Sina, Al-Farabi, Suhrawardi merupakan sintesis dari platonisme dan aristotelianisme
Pada kajian filologi dan sejarah perkembangan studi naskah, kajian-kajian yang ditekuni oleh ilmuwan muslim era Abbasiyyah terbukti banyak berlandaskan naskah-naskah dari Yunani dan Romawi kuno. Terlebih saat itu, penerjemahan ini gencar dilakukan oleh Ibnu Ishaq yang ahli dan menguasai bahasa Yunani, Suryani dan Arab. Sehingga, dapat diasumsikan, bahwa kejayaan Islam pada bidang sains ‘dipengaruhi’ filsafat Yunani.
Kekeliruan Dalam Menjustifikasi Kejayaan Islam.
Pada penyeleman saya, mayoritas orang mengatakan faktor kejayaan Islam pada saat itu karna kuantitas ilmuwan muslim pada bidang sains dan filsafat yang begitu banyak. Setelah saya analisis menurut opini pribadi, tidak ada sama sekali poin yang menerangkan bahwa Islam era Abbasiyyah lebih jaya dan makmur ketimbang sekarang.
Tokoh ilmuwan yang lahir di era tersebut, berkembang pesat karena transmisi pengetahuan filsafat dari naskah-naskah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta semangat para kaum muslim dalam menuntut ilmu.
Saya mencoba untuk memisahkan antara sisi keilmuwan mereka dengan sisi keagamaannya. Jika ada anggapan bahwa ilmu kedokteran Ibnu Sina berasal dari Islam dan Ajaran Islam itu sendiri yang membuat Ibnu Sina ahli di bidang kedokteran, maka menurut saya itu keliru. Karna sebelumnya, kita harus mengklasifikasikan mana yang dibahas dalam ranah keilmuwan dan mana yang dibahas dalam ranah keagamaan.
Jika anggapan tersebut kekeh dibawakan oleh muslim era sekarang, maka dengan analogi yang sama dan logika yang sama, harusnya kita bisa mengatakan bahwa Islam era sekarang pun lebih maju dari era Abbasiyyah.
Sebut saja seperti Mohammad Abdus Salam yang menerima penghargaan Nobel 1979 bidang fisika, Naguib Mahfouz yang menerima Nobel Sastra 1988, yang di Indonesia sendiri seperti BJ Habibie, seorang tokoh muslim Indonesia yang menciptakan pesawat baling-baling diberi gelar Bapak Teknologi Indonesia, serta tokoh muslim lainnya yang tak kalah dalam prestasi sains di tingkat internasional. Maka menurut saya, klaim kejayaan islam dengan alasan poin pertama tersebut telah gugur, karena kekeliruan dalam mengklasifikasi dua ranah yang berbeda.
Kekeliruan Rivalisasi Islam vs Barat.
Rivalitas antara Islam vs Barat juga sering disebutkan di beberapa forum akademis. Saya pikir, rivalisasi ini sangat tidak sebanding dan tidak menemukan point of view permasalahan yang dibahas, pada hilirnya, rivalisasi ini akan menciptakan paradigma yang menjadikan barat selalu unggul dalam tinjauan empirisme.
Mengapa ada perbandingan Islam vs Barat? Menurut saya ini keliru besar, bagaimana mungkin ranah keagamaan yang diliputi oleh wahyu dan keyakinan dirivalisasi dengan wilayah geografis bumi? Tentu tidak apple to apple. Pada tema tertentu kita bisa mengkaji sains perspektif agama dalam tinjauan Islam dan Kristen atau membandingkan metode analitik terhadap naskah kuno antara Timur vs Barat
Islam yang Jaya Adalah yang Umatnya Sejahtera.
Pada ujung perjalanan opini saya mengenai ini, saya meyakini betul bahwa Islam tidak pernah mengklasifikasikan masa kejayaannya. Golden age Islam itu sepanjang masa, bergantung terhadap tantangan zaman yang dihadapi umat Muslim dari generasi ke generasi. Tidak bisa dibandingkan, tantangan pada era Abbasiyyah dengan era revolusi industri 5.0 sekarang. Kejayaan Islam berada pada nasib kesejahteraan umatnya, saat umat muslim memegang teguh ajaran yang terus diaplikasikan, maka Islam selalu ada.
(AN)