Saya sudah dua kali dengar pernyataan awal masuknya Baalawi, atau Hadhrami, ke Indonesia karena dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda. Pertama kali saya dengar dari diskusi online tentang sejarah imigran Yaman di Indonesia, saya lupa tema persisnya. Belakangan ini saya juga menyimak hal yang sama dari Islah Bahrawi dalam Podcast Bisikan Rhoma #147: Jejak Sejarah Kedatangan Imigran Yaman.
Islah Bahrawi mengtakan, “Tujuan Baalawi dan Wahabi itu hampir sama. Kelompok Baalawi memiliki agenda yang dibebankan oleh ranselnya pemerintah Hindia-Belanda, bahwa bangsa Indonesia harus dipecah-belah. Wahabi hari ini memecah-belah bangsa untuk kepentingan menghomogenkan bangsa Indonesia supaya menjadi wahabi.”
Kesimpulan ini didasarkan pada pemahaman Islah tentang tiga rekomendasi Snouck Hurgronje pada pemerintah Hindia-Belanda untuk “menjinakkan” perlawanan masyarakat Indonesia terhadap kolonial. Pertama, jangan memerangi raja atau sultan; kedua, karena orang Indonesia itu inferior terhadap orang Arab, pemerintah harus membuat tokoh baru dari kalangan orang Arab; ketiga, perlawanan terhadap Hindia-Belanda itu juga dipengaruhi oleh kontribusi budaya lokal, karenanya masyarakat, terutama muslim, harus dipisahkan dari budaya lokal.
Saya pribadi penasaran dengan sumber rekomendasi yang dipaparkan ini. Sayangnya, dalam Podcast Rhoma Irama, beliau tidak menyebut sama sekali dari mana sumber sejarah rekomendasi tersebut. Di bagian akhir video, dia menyebut semua yang dikatakannya sudah ditulis oleh Kevin W. Fogg, judulnya Seeking Arabs but Looking at Indonesians. Saya sudah baca tulisan ini, tapi tak kunjung jua menemukan sumber rekomendasi tersebut.
Islah berikutnya memaparkan, dari amatan Snouck orang Nusantara itu merasa inferior dengan orang Arab, makanya ketika di Mekah, tidak ada ulama Jawi (nusantara) yang berani jadi guru, kecuali satu: Zainal Abidin Sumbawa, karena merasa inferior dan tidak mau melebihi orang Arab.
Islah, menurut saya, kurang tepat memahami konteks Snouck mengutarakan pertanyaan ini. Snouck dalam bukunya Mekka in the Latter Part of the 19 th Century, memang menyebut pada saat jalan pagi, dia bertemu dengan orang Mekah, dan bertanya, “Kenapa jarang orang dari Nusantara (Jawi) mengajar di sini. Orang Mekah itu menjawab sambil menunjuk tangannya, cuma Profesor Zainuddin dari Sumbawa yang mengajar di sini dan tidak ada lagi dari Nusantara yang mengajar di sini. Alasannya kata Snouck, orang Nusantara itu rendah hati dan penyendiri, serta konsekuensi dari kebutuhan pelajar yang datang dari Nusantara sendiri.
Padahal pada masa Snouck berkunjung ke Mekah, ada banyak ulama Nusantara yang aktif mengajar di sana. Itu pun sebetulnya juga disebutkan oleh Snouck dalam bukunya di bagian akhir, tentang komunitas Jawi di Mekah. Tapi masalahnya, Snouck sangat bias melihat ulama Nusantara, dia memandang rendah orang Nusantara, sebab menurut anggapannya Islam yang autentik dan otoritatif itu adalah dari Arab. Karena itu dia terlihat tidak mengapresiasi ulama Nusantara dan lebih memuja ulama Arab. Dia menyebut Syekh Nawawi Banten misalnya, tidak bisa melafalkan beberapa huruf dalam bahasa Arab dengan lancar, sebab itu dia sering diledek oleh orang Mekah.
Dikutip dari Michael Francis Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds, Snouck sendiri berkali-kali bertemu Syekh Nawawi Banten, yang merupakan guru dari teman dan sekaligus informannya Snouck, Raden Abu Bakar Jayadiningrat. Raden Abu Bakar juga pernah mengirimkan risalah kepada Snouck tentang profil ulama Nusantara di Mekah, judulnya Tarajum Ulama Jawi, naskahnya tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Kalau standarnya fasih Bahasa Arab, ngak hanya Zainuddin Sumbawa yang dikenal kefasihannya waktu itu, tapi juga ada Abdul Shakur dari Surabaya. Tapi ulama itu dipandang “inferior” oleh Snouck karena pikirannya yang bias terhadap ulama non-Arab. Yang saya pahami, kesan inferior itu muncul dari Snouck, bisa jadi faktanya bukan seperti itu. Pandangan bias itu juga yang sebetulnya dikritik oleh Kevin W. Fogg dalam artikelnya Seeking Arabs but Looking at Indonesians. Fogg mempertanyakan kepakaran Snouck dalam konteks studi Islam Asia Tenggara, lebih spesifik Indonesia, mengingat pandangannya yang sangat Arab sentris.
Islah Bahrawi juga mengatakan, Snouck merekomendasikan pengetatan pemberangkatan ibadah haji. Perlu diketahui, jauh sebelum Snouck aturan ini sudah ada. Dien Majid dalam bukunya Berhaji di Masa Kolonial menyebut kebijakan ini sudah diterapkan oleh Belanda sejak tahun 1825 dengan cara menetapkan ongkos haji dan mewajibkan pasport bagi setiap jemaah haji. Tujuannya tentu salah satunya untuk memata-matai jamaah haji, supaya tidak terpengaruh oleh gerakan yang dapat membahayakan politik kolonial.
Dalam Kumpulan Nasihat Snouck Hurgronje yang diterbitkan INIS, Snouck justru menyarakan kepada pemerintah Belanda supaya tidak mempersulit ibadah haji. Ia tidak mempermasalahkan banyak atau tidaknya orang yang mau berangkat haji. Yang penting jamaah haji dipastikan punya tiket pergi dan pulang. Dia mengatakan, “Perlawanan terhadap penambahan jumlah haji akan sia-sia, bahkan lebih baik dari itu, tak pantas dianjurkan.” Snouck juga menyarankan untuk dihapuskannya pendaftaran, ujian, pemeriksaan uang bagi jamaah haji. “Makin cepat dihapus makin baik,” Kata Snouck. Ia juga tidak mempermasalahkan kalau ada orang yang bukan haji menggunakan pakaian haji dan tidak perlu menganggapnya sebagai pidana.
Sebenarnya, Kevin W. Fogg juga menulis ini di bagian kesimpulan artikel, bahwa pikiran bias Snouck itu juga ada untungnya bagi masyarakat Indonesia, salah satunya kemudahan dalam ibadah haji. Makanya, saya heran kok Islah tiba-tiba bilang Snouck merekomendasikan pembatasan ibadah haji.
Penyebab Kedatangan Hadhrami ke Nusantara
Saya mendapat kesan, dari obrolan Rhoma Irama dan Islah Bahrawi, bahwa orang Hadhrami sengaja didatangkan ke Nusantara untuk memecah belah masyarakat Indonesia. Islah memang mengakui kalau sebelum penjajahan orang Hadhrami sudah berada di Nusantara, tapi dia tetap menegaskan kedatangan mereka pada periode berikutnya diakselerasi oleh Belanda secara masif atau dikerahkan kekuatan politik kolonial.
Sekali lagi saya tidak tahu persis di mana sumber pendapat ini. Yang saya pahami dari penelitian Abdalla S. Bujra (The Politics of Stratification), Sumit Kumar Mandal (Finding Their Place: A History of Arabs in Java Under Dutch Rule), dan Huub de Jonge (In Search of Identity: The Hadhrami Arabs in the Netherlands East Indies and Indonesia), kedatangan orang Hadhrami ke Nusantara memiliki banyak tujuan, salah satunya untuk berdagang. Mereka melakukan perdagangan dan penjelalahan ke berbagai wilayah, akhir abad 19 atau menjelang awal abad 20, paling banyak ke Nusantara, karena transportasi sudah maju dan relatif aman untuk melakukan perjalanan jarak jauh. Apalagi sejak dibukanya Terusan Zues dan ekonomi VOC melemah, kapal-kapal orang Hadhrami berhasil menguasai titik penting perdagangan di Samudera Hindia.
Ismail Fajrie Alatas, dalam pengantarnya terhadap Hadramut dan Koloni Arab di Nusantara karya Van Den Berg, menjelaskan setidaknya ada beberapa hal yang memfasilitasi orang Hadhrami, khususnya kalangan Sayyid, bermukim paling banyak di kawasan Samudera Hindia dan memudahkan mereka mendaki tanggal sosial. Pertama, kemampuan berpergian dimudahkan oleh jalur perdagangan. Kedua, hubungan intelektual mereka dengan jariangan ulama yang menjadikan mereka bagian dari sebuah komunitas internasional, sehingga kadar keulamaan mereka mudah dikenali. Dalam hal ini juga, faktor terpenting adalah keanggotaan mereka dalam madzhab Syafi’i yang mendominasi pesisir Samudera Hindia. Ketiga, penguasaan terhadap bahasa dan sastra Arab menjamin penghormataan penguasa kepada mereka. Keempat, karakter kosmopolitan dari lokalitas tempat imigrasi memudahkan mereka berintegrasi dengan masyarakat tanpa harus dicap sebagai orang asing.
Selain itu, yang perlu diperhatikan juga, Pemerintah Hindia-Belanda menerapkan politik kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap orang Arab, termasuk Hadhrami. Sumit Kumar Mandal menjelaskan, dalam imajinasi kolonial orang Arab sangat berbahaya dan distigma sebagai pembuat masalah. Bahkan, intelektual Belanda seperti Pijnappel merekomendasikan supaya akasara Arab Melayu diganti dengan aksara latin/Belanda, karena takut pengaruh ideologi Arab masuk ke pribumi. Apalagi, ulama dan tokoh yang berpengaruh dalam perang Jawa rata-rata menggunakan simbol-simbol Arab, sehinggal hal ini semakin memperburuk pandangan pemerintah Kolonial terhadap Arab.
Maka dari itu, tidak mengherankan bila Belanda memperketat gerak-gerik orang Arab supaya tidak mempengaruhi penduduk lokal. Mereka hanya diizinkan tinggal di kampung tertentu, tidak boleh berbaur dengan pribumi, dan kalau pun keluar dari kampung itu, mereka harus minta izin. Politik pemisahan seperti inilah, menurut Huub de Jonge, memperlambat dan menghalangi pembauran orang Arab dengan penduduk lokal.
Snouck Hurgronje sendiri sikapnya kadang ambigu dan membingungkan. Di satu sisi, dia keberatan dengan aturan diskrimitif yan diterapkan Belanda, bahkan dia mengusulkan untuk dicabut. Tapi di sisi lain, dia juga yang merekomendasikan kepada pemerintah supaya Imigran Yaman dibatasi, karena khawatir dengan gelombang arus Pan-Islamisme.
Dalam situasi seperti ini, saya sulit membayangkan, di mana pemerintah kolonial memandang buruk orang Arab dan khawatir dengan pengaruh “ideologi keras” atau Pan-Islamisme yang dibawa orang Arab, bagaimana mungkin mereka akan membuka kran imigran Arab-Yaman besar-besaran, apalagi dengan sengaja membawa mereka ke Nusantara, yang justru pada akhirnya akan mengancam posisi kekuasaan kolonial sendiri.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Sumit Kumar Mandal, akibat politik diskriminatif itu, akhirnya kelompok Hadhrami, terutama Sayyid, menjalin relasi dengan kekuatan politik Islam yang berada di luar. Mereka minta bantuan Ottoman supaya Belanda menghentikan diskriminasi terhadap mereka. Kelompok Sayyid ini pada gilirannya juga melakukan perlawanan terhadap kolonial dengan beragam cara. Salah satunya membuat publikasi dan menerbitkan majalah yang isinya kritik kebijakan kolonial, serta membantu perang melawan penjajahan.
Dalam konteks perang Aceh misalnya, Habib Abdurrahman Zahir merupakan sosok yang beperan penting, walaupun dianggap pengkhiatan oleh sebagian orang. Dia berhasil membawa pasukan lebih banyak dibanding sebelumnya dalam menghadapi Belanda. Peran Habib Abdurrahman dalam perang Aceh ditulis sangat baik oleh Anthony Reid. Selain Habib Abdurrahman, jaringan sayyid Hadhrami yang juga terhubung dengan orang Hadhrami di Nusantara juga ikut menyumbang untuk kebutuhan perang Aceh.
Sekalipun ada satu sosok seperti Sayyid Utsman yang dianggap berpihak pada kepentingan kolonial, tapi hal itu bukan berati tidak mendapat kritik sama sekali dari kalangan sayyid atau orang Hadrami sendiri. Ketika Sayyid Utsman memutuskan untuk mendoakan Ratu Wilhelmina, dia mendapat banyak kritikan dari kelompok Sayyid yang terafiliasi dengan Ottoman atau Pan-Islamisme.