Aku lahir di kampung dan masih tinggal di kampung yang sama hingga usiaku saat ini melangkah menuju dasawarsa ke empat. Aku bahagia atas fakta itu. Nanti akan aku jelaskan apa alasan yang mendasari rasa kebahagiaanku itu.
Nama kampungku adalah Kebondanas. Terletak di kecamatan Pusakajaya, Subang. Secara geografis masuk dalam kawasan Pantai Utara Jawa Barat. Konon kata sesepuh, dahulu kampungku masuk kawasan Onderneming atau Perkebunan Ciasem-Pamanukan. Pada sekitar tahun 1930-an, 60 keluarga didatangkan dari daerah Kertasemaya Indramayu, Junti, Tegal dan lain sebagainya ke daerah tersebut untuk membuka lawan persawahan. Saat itu mereka menemukan banyak sekali tumbuhan rumput nenas yang biasa dijadikan bahan untuk tikar. Maka mereka menyebut daerah tersebut dengan nama kebon nenas. Namun karena lidah Pantura mereka merasa kaku dengan penyebutan nenas, maka pada akhirnya mereka membuat nama Kebondanas.
Ke 60 keluarga tersebut semuanya muslim, dan semua mata pencahariannya adalah bertani. Lambat laun Kebondanas yang awalnya hanyalah sebuah dusun yang masuk dalam Desa Karang Anyar, pada tahun 1980 dimekarkan menjadi desa tersendiri. Saat itu, penduduk Kebondanas sudah semakin homogen. Mereka kini terdiri dari kelompok petani dan pandai besi yang beragama Islam dan ikut pada organisasi keagamaan atau jamiyyah Nahdlatul Ulama. Di antara kelompok petani tersebut juga ada yang ikut tarekat bernama “Syahadatain” yang beberapa amalannya sedikit berbeda dengan mayoritas Jamaah NU. Paling kentara adalah perbedaan di awal puasa dan lebaran.
Terdapat pula kelompok guru SD dan PNS muslim yang amaliahnya mengikuti pada organisasi keagamaan Persis. Terakhir, ada pula kelompok pedagang bangunan dan pedagang kelontong yang beragama kristen dan beretnis China.
Hal yang paling membahagiakan bagiku pribadi ialah dari semua keragaman keyakinan dan etnis tersebut, hampir tidak pernah ada konflik agama dan SARA. Bahkan ketika di lain daerah terjadi banyak sekali kerusuhan berbau SARA pada sekitar tahun 1998, di kampungku adem-ayem saja. Padahal 9 kilometer dari kampungku, di Pamanukan, terjadi kerusuhan yang berujung pada pembakaran toko-toko dan tempat usaha milik orang-orang etnis China.
Mengapa kampungku aman, analisaku sejak dulu hingga saat ini adalah karena di kampungku semangat guyub rukun dan gotong-royong lebih dikedepankan ketimbang persoalan perbedaan lainnya.
Muslim dan Non-Muslim Bersama Rayakan Haul, Muludan, Rajaban, dan Baritan
Di kampungku, meskipun ada banyak masjid yang menyesuaikan dengan afiliasi organisasi keislamannya, namun kami tetap berkumpul pada momen-momen tertentu yang bisa mengakomodir semua kelompok seperti di acara keagamaan di desa. Bagi orang NU, acara tersebut penting, bagi orang Persis atau kelompok lainnya mungkin acara tersebut dianggap tidak sesuai dengan ajaran mereka namun mereka tetap hadir dalam rangka mempererat silaturrahimnya. Bahkan orang Kristen pun ikut hadir dan menjadi pen-support dana demi kelancaran acara tersebut.
Selain pada momen haul sesepuh, momen berkumpulnya warga kampung juga terjadi pada acara Muludan, Rajaban, dan ada satu yang cukup unik di kampung kami, yakni Baritan. Acara Baritan biasanya dilakukan di bulan Safar atau pada saat terjadi banyak bencana dan wabah, dalam rangka tolak bala. Warga akan berkumpul di perempatan jalan di sore hari. Bahkan yang non-muslim pun hadir, semua keluarga akan membawa makanan mereka masing-masing. Mereka kemudian menggelar tikar di tengah perempatan jalan desa (bukan jalan raya), duduk bersama, berdoa dengan kepercayaan masing-masing, bertukar makanan dan kemudian makan bersama.
Aku masih ingat ada sebuah kejadian yang cukup unik dan menggelikan ketika aku masih muda dan menjadi panitia acara muludan. Untuk mendanai acara tersebut aku bersama kawan-kawan berkeliling meminta sumbangan kepada warga demi kesuksesan acara muludan. Saat pembawa acara mulai memanggil warga untuk kumpul di masjid, tiba-tiba ada seorang koko-koko dan cici-cici yang mendatangi kami. Mereka bertanya, “Ini muludan ya? Koq nggak ada panitia yang datang ke kami? Kami kan juga mau ikut ngeramein.” Aku pun lantas menyadari kekeliruanku karena hanya mendatangi rumah-rumah keluarga yang muslim saja.
Saat lebaran, kami yang muslim sering mengirim makanan kepada para tetangga termasuk yang non-muslim. Sebaliknya, saat Hari Raya Imlek, kami sekampung diberi makanan berupa dodol (yang biasa kami sebut sebagai dodol cina) dan kue keranjang dari tetangga kami yang etnis Cina. Kebetulan di kampung kami ada pesantren tempat anak-anak kecil dari kampung kami dan kampung luar belajar mengaji Al-Quran. Setiap bulan puasa, semua warga yang muslim dan non-muslim bergiliran memberikan takjil berupa kurma dan es buah untuk anak-anak pesantren tersebut.
Kerelaan untuk saling memberi dan saling menerima, kepekaan untuk saling membantu, kesadaran untuk menyingkirkan perbedaan dan mengedepankan persatuan, itulah yang membuat kampungku selalu damai, hampir tidak ada konflik. Kalaupun ada, paling-paling konflik perseorangan tanpa membawa embel-embel SARA. Bahkan biasanya konflik itu diselesaikan di tetua kampung saja, tidak sampai naik ke kantor desa apalagi sampai kantor polisi.
Itulah alasan mengapa aku bahagia tinggal di kampung ini.
(AN)