Upaya untuk menjelaskan protes Palestina sebagai gangguan psikologis mirip dengan strategi retoris lama untuk mendelegitimasi perlawanan terhadap kolonialisme.
Elit politik Amerika sibuk mencari penjelasan mengapa kota-kota dan kampus-kampus di seluruh negeri meletus dalam protes atas pembantaian massal Palestina di Gaza baru-baru ini oleh Israel. Bagi mereka, fenomena seakan tampak aneh dan misterius. Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, di tengah merebaknya kamp-kamp pro-Palestina di kampus-kampus, senator Jon Fetterman (D-PA) bahkan terheran, “apa yang sebenarnya mereka protes?”
Tentu saja, bagi siapa pun yang mau mendengarkan para demonstran, jawabannya jelas: mereka marah atas keterlibatan aktif pemerintah dan institusi mereka dalam genosida yang sedang berlangsung. Pertanyaan menariknya adalah, mengapa para elit politik ini bisa terus-menerus gagal mengenali kritik politik yang diungkapkan oleh para pengunjuk rasa?
Yang justru terlihat adalah upaya konsisten untuk mendelegitimasi gerakan ini dengan menyatakan bahwa analisis dan tindakan politik yang serius bukanlah faktor utama yang mendorongnya. Pada bulan Maret, The Atlantic menerbitkan artikel oleh seorang mahasiswa Stanford yang berargumen bahwa di antara para pengunjuk rasa di kampusnya, yang benar-benar peduli pada Palestina “bukanlah mayoritas.” Jika mereka mengklaim protes-protes ini tidak didorong oleh hasrat yang nyata untuk tujuan-tujuan yang mereka suarakan, lalu, apa yang mendasarinya?
Para elit kerap menawarkan berbagai alasan untuk mengalihkan perhatian dari motif politik yang jelas. Tuduhan astroturfing—ilusi dukungan akar rumput yang sengaja direkayasa—muncul di mana-mana. Dalam wawancara yang disebutkan sebelumnya, Fetterman bahkan bersikeras bahwa kelompok Yahudi anti-Zionis seperti Jewish Voice for Peace bukanlah gerakan akar rumput sejati, melainkan aktor bayaran. Di sisi lain, beberapa presiden universitas menyalahkan protes di kampus mereka kepada sosok “agitator luar,” yang diduga mengobarkan api protes tersebut.
Di antara mereka yang mengakui sifat protes yang dipimpin oleh mahasiswa, banyak yang menjelaskannya dalam istilah psikologis. Seorang profesor bisnis di NYU mengatakan bahwa “sebagian dari masalahnya adalah kaum muda tidak cukup berhubungan seks, jadi mereka mencari ancaman palsu.” Mahasiswa jurnalis dari Stanford yang sama mengamati, “Yang benar-benar menggerakkan massa sekarang tampaknya bukanlah pengabdian prinsipil pada Palestina atau pasifisme, melainkan keinginan untuk aksi kolektif, untuk menyesuaikan diri dengan isu yang sedang nge-tren saat ini.”
Analisis-analisis yang merendahkan ini berfungsi untuk mereduksi pesan-pesan jelas dari para pengunjuk rasa menjadi sekadar peniruan remaja yang tidak secure atau tertekan secara seksual dan ingin mengikuti tren.
Dalam semua komentar tentang gelombang protes massal selama enam bulan terakhir, kita bisa melihat upaya terus-menerus untuk menolak mengakui gerakan ini sebagaimana adanya: sebuah ekspresi politik yang jelas dan koheren sebagai bentuk perlawanan terhadap genosida. Mengakui bahwa gerakan ini politis berarti harus mempertimbangkan tuduhan yang mereka ajukan—dan itu artinya mempertanyakan rezim serta institusi yang didukung oleh para elit ini.
Untuk menghindari tuduhan itu, narasi pembebasan diri yang lain ditawarkan: mahasiswa yang protes bukanlah aktor politik dengan tuntutan yang harus diperhitungkan, melainkan pasien psikologis yang omongannya dianggap hanya sebagai gejala dari masalah pribadi yang lebih dalam.
Penting untuk menekankan bahwa taktik retoris ini muncul sepanjang sejarah sebagai respons umum kaum elit terhadap fenomena perlawanan terhadap kekerasan kolonial. Media Amerika saat ini mencerminkan pemikiran administrator kolonial yang bingung melihat pemberontakan, juga pemilik perkebunan yang terganggu oleh banyaknya budak yang lari.
Sarjana Michel-Rolph Trouillot berpendapat dalam bukunya tahun 1995, Silencing the Past, bahwa revolusi Haiti “tidak terpikirkan” bagi orang Prancis kulit putih pada masanya, dan karenanya, itu “diremehkan” melalui lensa patologi. Dia menggambarkan bagaimana pemilik perkebunan memperlakukan setiap budak yang memberontak sebagai kasus individu—”sebagai binatang yang digerakkan oleh keterbatasan biologis, paling baik sebagai kasus patologis.”
Melalui wacana patologisasi ini, perlawanan diindividualisasikan dan “dihilangkan dari konteks politiknya” (hlm. 82). Dalam kasus-kasus di mana perlawanan jelas terorganisir dan kolektif, hal itu dianggap sebagai korupsi oleh “agitator luar” (hlm. 92).
Baca juga:Terkait 5 Aktivis NU ke Israel, Gus Yahya: Saya Mohon Maaf
Ketidakmampuan untuk menjelaskan perlawanan terhadap perbudakan juga muncul dalam wacana pemilik budak di AS. Pada tahun 1851, Dr. Samuel Cartwright menawarkan teori tentang “drapetomania,” suatu gangguan mental “yang menyebabkan orang kulit hitam lari dari kungkungan.” Sebagai solusinya, dia bersikeras bahwa memperlakukan budak “seperti anak-anak, dengan perhatian, kebaikan, dan kemanusiaan” pasti akan menyembuhkan neurosis ini.
Melalui seruan patologi dan perawatan individual ini, sistem perbudakan tetap tidak dipertanyakan. Yang dipertanyakan adalah individu-individu yang melakukan pemberontakan.
Aimé Césaire, dalam tulisannya tentang reaksi Prancis terhadap pemberontakan di Madagaskar, menyoroti penjelasan psikoanalitik dari perlawanan ini sebagai “perilaku neurotik murni, kegilaan kolektif, sebuah amok” (hlm. 61). Akibatnya, lanjut Césaire, orang-orang Madagaskar tidak dipandang sebagai “berusaha memperjuangkan tujuan nyata tetapi mencari keamanan ‘khayalan,’ yang jelas-jelas menyiratkan bahwa penindasan yang mereka keluhkan adalah penindasan ‘khayalan’” (hlm. 61).
Tuduhan yang serupa juga dilontarkan terhadap para pengunjuk rasa pro-Palestina. Mereka dianggap mencari penerimaan sosial, bukan tujuan politik nyata.
Di Asia Tenggara, penjajah menawarkan seruan serupa tentang patologi dalam menghadapi perlawanan. Psikiater kolonial di Hindia Belanda mengembangkan teori tentang “pikiran pribumi,” yang dianggap rentan terhadap ketidakstabilan dan ledakan kekerasan mendadak, suatu patologi yang digambarkan dengan istilah Melayu “amok.” Tindakan-tindakan perlawanan terhadap penjajah dalam bentuk kekerasan dianggap sebagai manifestasi dari patologi ini, bukan sebagai tanda dari kesadaran anti-kolonial yang lebih luas.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh sejarawan, istilah “amok”—sebelum diambil alih secara psikiatrik oleh para sarjana kolonial—berfungsi sebagai seruan untuk perlawanan kolektif yang terorganisir. Di sini kita melihat distilasi yang jelas dari wacana kolonial yang mempatologisasi politik pemberontakan. Wacana ini melekatkan penyebabnya kepada subjek kolonial yang neurotik, daripada sebagai oposisi sadar terhadap kekerasan rezim kolonial.
Syed Hussein Alatas menelusuri silsilah serupa di balik wacana tentang “pribumi malas” di Malaya kolonial. “Ketidakmauan untuk menjadi alat dalam sistem produksi kapitalisme kolonial inilah yang membuat orang Melayu dijuluki sebagai pemalas” (hlm. 72). Alih-alih mengakui kritik dan perlawanan pribumi terhadap tatanan imperialis yang sedang naik daun, penjajah dengan percaya diri meyakinkan diri mereka bahwa masalahnya terletak pada kemalasan pribumi yang menjadi ciri rasial, bukan pada kekejaman perkebunan dan tambang yang mereka awasi. Mata kolonial hanya melihat patologi, bukan perlawanan.
Yang dipertaruhkan di sini adalah pemikiran-pemikiran yang tidak bisa—atau tidak mau—dipertimbangkan oleh elit politik. Seperti yang ditulis oleh Trouillot, “Mengakui perlawanan sebagai fenomena massal berarti mengakui kemungkinan bahwa ada sesuatu yang salah dengan sistem” (hlm. 83). Pengakuan semacam itu mustahil bagi para elit dan politisi yang melayani sistem itu.
Semua contoh ini menunjukkan bahwa badai kebingungan media tentang motif psikologis di balik protes pro-Palestina bukanlah taktik baru, melainkan daur ulang kiasan kolonial yang sudah usang. Dengarkan para psikolog: budak buronanpasti menderita drapetomania; pengunjuk rasa mahasiswa pasti kekurangan seks. Karena apa lagi yang ada untuk mereka lawan secara rasional?
Tentang kesadaran borjuis imperialis, Césaire menulis: “Otaknya berfungsi seperti sistem pencernaan yang sangat sederhana. Ia menyaring. Dan saringan hanya membiarkan masuk apa yang dapat menutrisi kulit tebal dari hati nurani borjuis yang tercinta” (hlm. 52). Ketika dihadapkan pada kekerasan kolonialisme dan fakta-fakta perlawanan terhadapnya, kesadarannya hanya memiliki satu jalan keluar: “Nyalakan mesin pelupaan!” (“Start the forgetting machine!”).
Contoh-contoh yang dibahas di atas menyoroti satu cara umum di mana “mesin pelupaan” ini berfungsi untuk menyaring setiap kebenaran buruk yang mungkin dapat menyalahkan kolonialis itu sendiri. Jika semua tindakan perlawanan disaring melalui lensa patologi individual, maka tidak ada kesalahan yang menodai proyek kolonialisme itu sendiri.
Penting bagi kita untuk melihat wacana ini sebagaimana adanya, untuk tidak membiarkan delusi para kolonialis (demi pembebasan diri mereka sendiri dari rasa bersalah) lolos dari pandangan kritis kita, dan untuk tetap fokus pada Gaza serta menjadi saksi kekerasan kolonialisme yang sedang berlangsung.
**Sawyer Martin French (@WharfScenery) adalah mahasiswa doktoral bidang Anthropologi dan Sosiologi Agama di Universitas Chicago, dan ikut mengelola The Suryakanta, forum Indonesia untuk ulasan buku akademik.
Esai ini pernah diterbitkan di https://themaydan.com/2024/07/pathologizing-resistance-colonial-self-absolution-from-the-plantation-to-palestine/ pada 24 Juli 2024