Belum lama saya mengenal K.H. Zulfa Mustofa, Wakil Ketua Umum PBNU (2022-sekarang), secara lebih dekat, meskipun saya sebenarnya sudah lama mendengar nama besarnya dan mengagumi keilmuannya dan kemampuannya dalam menggubah syair dalam Bahasa Arab.
Secara fisik saya pertama kali bertemu beliau saat beliau menyampaikan ceramah keagamaan di Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Bulan Ramadan 1445 H. Layaknya seorang kyai, beliau menyapa kami dengan senyuman yang penuh keakraban; seakan-akan kami berdua sudah lama saling mengenal dan bersahabat. Saat itu, kami berbincang-bincang di ruang transit tentang banyak hal dan di sela-sela perbincangan kami itu, beliau memberikan hadiah kepada saya dua kitab yang beliau tulis sendiri.
Kyai, yang terlahir pada tanggal 7 Agustus 1977, ini memiliki kontribusi besar kepada Nahdlatul Ulama (NU) dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) karena sejak tahun 2010 hingga sekarang beliau mengabdikan dirinya untuk kedua lembaga tersebut. Di MUI beliau berkiprah untuk pertama kalinya sebagai Ketua MUI Kota Administrasi Jakarta Utara pada tahun 2010-2013. Sejak tahun 2013 hingga lima tahun kemudian beliau dipercaya sebagai Sekretaris Umum MUI Provinsi DKI Jakarta. Pada tahun 2018 beliau diberi amanah sebagai Ketua Bidang Fatwa di MUI tersebut dan dijalaninya dengan sangat baik hingga sekarang. Pemberian amanah ini tentu didasarkan pada kapasitas dan otoritas keiilmuannya dalam bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh.
Keahliannya dalam bidang istinbath al-ahkam (penetapan hukum Islam) didapatkannya secara bertahap, mulai dari pendidikannya di Pesantren Mathali’ul Falah, Kajen, selama enam tahun (1990-1996) hingga praktik langsung bagaimana melakukan pengambilan dan penetapan hukum Islam di lembaga-lembaga otoritatif, seperti NU dan MUI.
Ketika menggali keilmuan Islam di pesantren tersebut, beliau mempelajari berbagai macam kitab, termasuk kitab-kitab dalam bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh, seperti al-Waraqat dan Ghayat al-Wushul. Istinbath al-ahkam dilakukannya ketika beliau aktif di dua organisasi sosial keagamaan tersebut. Kontribusi pemikiran hukumnya di MUI bisa dilihat dari jabatan dan posisi yang dimilikinya di lembaga itu. Adapun kontribusi keilmuan hukum Islam di PBNU dapat dilihat dari posisi strategis dalam pembahasan dan penetapan hukum Islam di organisasi sosial keagamaan Islam terbesar tersebut, seperti Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (2010-2015) dan Katib Syuriah (2015-2021). Bahkan, sejak tahun 2023 beliau dipercaya untuk menjalankan tugas mulia sebagai Ketua Komite Fatwa Produk Halal di Kementerian Agama RI.
Pemikiran dan kontribusi ilmiah dalam bidang hukum Islam dituangkannya dalam kitab-kitabnya yang sangat berbobot. Kitab Diqqat al-Qannash (2020) mengupas secara jelas pandangan al-Imam al-Syafi’i tentang tata cara penetapan hukum fiqh. Teori-teori Ushul al-Fiqh dan implementasinya dalam pembuatan fatwa dielaborasi olehnya dengan sangat gamblang dan komprehensif dalam karyanya, al-Fatwa wa-ma Yanbaghi li al-Mutafaqqih Jahluhu (2020). Karyanya yang juga sangat penting adalah Dlawabith Bahtsil Masa’il wa al-Ifta’ ‘inda Nahdlatil ‘Ulama’ (2022). Kitab ini mengupas kaidah-kaidah yang digunakan oleh para kyai NU dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan dalam Bahtsul Masa’il dan pembuatan fatwa.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh Kyai Zulfa, dan sangat jarang dimiliki oleh kyai-kyai di Indonesia, adalah kemampuannya dalam menggubah syair-syair Arab. Di dalam kitab-kitab yang ditulisnya termuat sya’ir-sya’ir Arab yang sangat indah dan bermakna.
Sebagai contoh, dalam kitab Tuhfat al-Qashi wa al-Dani fi Tarjamat al-Syaikh Muhammad Nawawi ibn ‘Umar al-Bantani (2021), yang berisi biografi lengkap al-Syaikh Nawawi, Kyai Zulfa yang merupakan cucu keponakan tokoh besar tersebut menyajikan syair-syair Arab yang menggambarkan berbagai aspek dari al-Syaikh Nawawi.
Lebih dari itu, karyanya berjudul Majmu‘at al-Asy‘ar (2023), sepenuhnya berisi syair-syair yang mendeskripsikan dan mengapresiasi para kyai NU dan memuat nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi kehidupan. Yang menakjubkan lagi adalah bahwa beliau sering membuat syair Arab secara spontan dalam berbagai kesempatan. Hal ini menunjukkan bahwa Kyai Zulfa tidak hanya menguasai tata Bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan ‘Arudl, serta koleksi kosakata (mufradat), tetapi juga memiliki salah satu bentuk kecerdasan emosional yang dengannya beliau mampu memahami dan merasakan realita serta mengekspresikan pemahaman dan perasaannya itu dalam bentuk puisi Arab yang sangat indah dan mampu membangkitkan emosi positif para pendengarnya.
Artikel singkat ini hanya mendeskripsikan sekelumit sumbangsih Kyai Zulfa dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah keilmuan Islam, khususnya Ushul al-Fiqh dan syair Arab yang bernuansa keislaman. Artikel ini tentunya belum dapat menggambarkan sosok beliau secara utuh. Masih sangat banyak hal tentang beliau dan pemikirannya serta puisi Arab-nya yang dapat diteliti dan dibahas oleh para peneliti yang tertarik pada kajian Islam Keindonesiaan.