Tiga ormas menerima tawaran izin tambang dari Pemerintah. Sementara dua lainnya menolak. Hal ini memicu perdebatan publik, baik yang menerima tawaran izin tambang maupun tidak. Tetapi tulisan ini berusaha untuk tidak membahas apakah sebaiknya menerima atau tidak, juga tidak membahas kasak-kusuk soal politik di balik penawaran izin tambang.
Semua itu merupakan hak setiap ormas untuk menerima maupun menolak dengan mekanisme masing-masing ormas. Tidak elok rasanya jika penulis menasihati ormas yang berusia sangat tua, berpengalaman, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang tidak diragukan lagi kapasitas serta kualitas pertimbangannya.
Desakan Menolak Tambang
Perdebatan beberapa bulan terakhir berkisar pada desakan menolak tambang. Hal ini bisa dipahami, mengingat dampak tambang yang merusak lingkungan. Selain itu, dampak sosial juga sangat nyata. Mulai dari permasalahan hukum, kekerasan, sampai perselisihan dengan masyarakat adat.
Tetapi jika ditinjau lebih jauh, sikap umat beragama cenderung mendua. Ini diungkap oleh survei PPIM UIN Jakarta yang dirilis pada 24 Juli 2024 berjudul Green Islam Setengah Hati?: Potret Muslim Ramah Lingkungan Indonesia. Di satu sisi, umat beragama menyadari bahwa tambang memiliki dampak lingkungan. Di lain sisi, umat beragama cenderung mendukung jika tambang dilakukan oleh ormas keagamaan.
Ini menandakan bahwa masyarakat dari kalangan umat beragama memahami bahwa tambang punya dampak buruk. Tetapi di sisi lain tampaknya masyarakat paham bahwa menolak tambang secara mentah-mentah tidak mungkin dilakukan. Ini karena kemajuan peradaban manusia difasilitasi, salah satunya oleh hasil olahan tambang.
Baca juga: Aktivis Lingkungan Muhammadiyah Kecewa atas Keputusan Kelola Tambang
Peningkatan kesejahteraan, kemajuan teknologi, sampai perbaikan kualitas manusia tidak terlepas dari olahan hasil tambang.
Contoh kecilnya adalah kendaraan, ponsel, dan jalanan. Kendaraan tersusun dari berbagai jenis logam hasil olahan tambang. Kendaraan bermotor memerlukan bahan bakar minyak yang berasal dari bahan tambang. Begitu pula dengan kendaraan bertenaga Listrik, baterai umumnya tersusun dari nikel, kadmium, atau litium, ketiganya merupakan hasil olahan tambang.
Ponsel yang saat ini diakses selama sepertiga hidup manusia memiliki bahan penyusun dari alam. Malah ponsel pintar juga tersusun dari logam langka, misalnya indium untuk layar sentuh, gallium untuk piranti elektronika ponsel, dan terbium untuk perangkat getar/vibration.
Baca juga: Melampaui Ideologi dan Fikih: Kritik atas Tulisan Ulil Abshar Abdalla soal Tambang
Sementara, jalan berbahan aspal berasal dari produksi turunan minyak bumi, dan bahan beton merupakan gabungan beragam material hasil tambang.
Bagaimana dengan batubara? Ini menjadi perbincangan di bagian selanjutnya.
Keseimbangan Pembangunan dan Lingkungan
Pembangunan tidak terlepas dari pertanian ekstensif dan industri (termasuk tambang) yang sangat dibutuhkan, tetapi di sisi lain merusak. Menurut Motel, dkk. (2014) Dilema ini telah dibahas sejak era 1970-an.
Dilema ini yang kemudian pada masa-masa setelahnya berusaha untuk diseimbangkan. Membangun tapi tetap menekan dampak lingkungan. Pendekatan yang semakin holistik kemudian menghasilkan apa yang kita kenal sebagai Sustainable Development Goals (SDGs), diterapkan di tingkat global sejak 2015.
Kembali ke persoalan tambang yang merupakan bagian tidak terhindarkan dari pembangunan, jika bahan tambang dihilangkan dari muka bumi, manusia akan kembali pada titik sebelum revolusi industri. Itu artinya kita akan hidup tanpa kendaraan bermotor, tanpa teknologi informasi, dan tanpa fasilitas kesehatan yang layak.
Oleh sebab itu, yang dapat dilakukan adalah menekan kerusakan seminimal mungkin. Kita beri contoh dalam kasus penggunaan batubara. Sampai saat ini, batubara dengan porsi 35% merupakan bahan bakar utama untuk listrik dunia.
Indonesia sendiri memiliki 23% pembangkit listrik tenaga uap yang bergantung pada pembakaran batubara. Tidak hanya untuk listrik, batubara masih sangat penting untuk industri.
Batubara dipilih karena murah, dapat diandalkan, dan dapat menghasilkan energi yang konstan dibanding pilihan bahan bakar lain. Energi baru-terbarukan (EBT) saat ini mulai dapat diandalkan dan cukup konstan dalam menghasilkan energi. Tetapi, dari sisi ekonomi EBT masih sangat mahal dibanding batubara.
Selain dari sisi energi, batubara juga merupakan komponen penting dalam produksi stainless steel, pemurnian aluminium, sampai produksi kertas. Hingga saat ini, dalam produksi stainless steel misalnya, hanya hidrogen yang menjadi alternatif. Itu pun masih sangat mahal sehingga perubahan belum dapat dilakukan dalam waktu dekat.
Baca juga: Surat Terbuka Kepada PBNU: Dampak Tambang Tidak Main-main, Setiap Hari Ada Konflik
Setidaknya, saat ini pembangkit listrik tenaga uap dengan pembakaran batubara terus ditekan jumlahnya. Tetapi, ini berlaku untuk pembangkit baru, di mana negara-negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, hingga Indonesia telah memutuskan untuk menghentikan pembukaan PLTU baru. Sementara itu, PLTU yang telah beroperasi masih dibutuhkan.
Mayoritas negara sedunia berkomitmen untuk net zero carbon (antara lain dengan menghapus atau mengurangi penggunaan batubara) pada 2060 atau paling cepat 2040. Aktivis lingkungan ingin kebijakan yang lebih agresif dan net zero carbon lebih cepat, tetapi ancaman krisis energi tuntutan ini tidak mudah untuk diterapkan.
Urusan Kompleks
Ulasan di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan hasil olahan tambang termasuk batubara masih ada, maka tambang pun masih sangat dibutuhkan. Karena jika tidak ada tambang, listrik padam. Teman-teman boleh tidak peduli dengan hal ini, tapi pengalaman pribadi penulis dan jutaan penduduk Indonesia lainnya berbeda.
Penulis menghabiskan masa kecil di Sumatera dengan listrik byar-pet. Mati listrik terjadi setidaknya dua kali sepekan, di daerah yang lebih terpencil listrik bahkan belum ada. Saat itu pilihan kendaraan juga terbatas. Lalu ketika teknologi komunikasi bernama ponsel hadir, penulis dan keluarga sangat senang dan menyambut baik. Teman-teman di Pulau Jawa seumuran penulis mungkin tidak banyak merasakan penderitaan ini, tetapi inilah realita jutaan masyarakat di Indonesia dan dunia.
Menghadapi permasalahan kompleks semacam ini, kita tidak dapat berharap untuk asal menolak atau menerima. Kita juga tidak dapat memaksakan apa yang kita harapkan dapat terjadi. Karena tidak seperti itu dunia bekerja. Permasalahan yang kompleks memerlukan pertimbangan yang kompleks dan berkelanjutan.
Baca juga: Polemik Pemberian Izin Tambang, Ketua Umum PBNU: Memanfaatkan Batu Bara itu Tidak Otomatis Haram
Jika teman-teman khawatir menghadapi kenyataan ini, penulis termasuk memilih untuk optimis. Ini karena manusia telah membuktikan dari waktu ke waktu dapat menghadapi permasalahan eksistensial. Manusia purba menghadapi bencana dengan bermigrasi di muka Bumi. Manusia modern menghadapi permasalahan kesehatan dengan obat-obatan, vaksin, dan terobosan kesehatan lainnya. Saat ini, manusia abad 21 menghadapi masalah eksistensial berupa krisis iklim, yang sedang diupayakan bersama solusinya.
Menghadapi masalah yang kompleks, menunjukkan bahwa kita perlu bersama-sama memunculkan upaya kolektif dan solutif. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah kampanye-kampanye simpatik yang lebih masif. Hal ini berdasarkan pada penelitian PPIM UIN Jakarta yang telah disebutkan di awal, disorot pula fakta bahwa istilah-istilah dalam isu lingkungan terkini tidak dipahami masyarakat.
Ini artinya, masalah lingkungan tidak sampai ke masyarakat secara umum. Kita berdebat sampai energi habis melalui medsos tetapi nyaris tidak ada upaya nyata yang kita lakukan. Maka ini saatnya untuk memperkuat awareness sekaligus memunculkan solusi di tengah masyarakat.
Alih-alih menghabiskan waktu dan tenaga untuk berdebat, akan lebih efektif kita serahkan masalah izin tambang yang dilematis ini pada pemangku kebijakan dalam ormas. Mari fokus mengalihkan perhatian untuk berdakwah dan mengedukasi masyarakat secara langsung, dengan cara-cara paling sederhana. Misalnya, dimulai dengan menjawab permasalahan lingkungan di masyarakat.
Pemanasan global beberapa decade terakhir akan terasa dampak paling parahnya dalam jangka panjang. Maka, tuntutan untuk “memperbaiki keadaan sekarang juga” perlu dilengkapi dengan upaya perlahan dan berorientasi jangka panjang.
Penulis ingin menutup tulisan ini dengan kata-kata dari Presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat Barack Obama. “Better is really good,” kata Obama. Pernyataan ini muncul dalam sebuah wawancara dengan Hasan Minhaj. Harapan teman-teman saat ini barangkali tidak sepenuhnya terpenuhi oleh Ormas penerima izin tambang, tapi setidaknya muncul komitmen lingkungan dan sosial yang kuat. Ini sudah lebih baik daripada tidak ada komitmen sama sekali. Tak ada rotan, akar pun jadi.
Mari kita awasi dan pantau semoga komitmen ini dijalankan dengan baik. Semoga di masa depan pengambil kebijakan di lingkungan Pemerintah maupun Ormas mengusahakan pilihan-pilihan yang semakin mendukung kelestarian lingkungan.
Penulis adalah CEO IBTimes.ID. Alumni S1 Geografi dan Ilmu Lingkungan UGM.