Ittihadoel Oelama dibentuk pada tahun 1939 oleh beberapa ulama di Palembang, di antaranya KH. Abu Bakar Bastari, KH. Tjek Wan, dan Said Salim bin Ahmad bin Djindan. Perkumpulan ulama ini didirikan sebagai respon atas masalah sosial-keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Para pendiri organisasi ini merasa prihatin dengan perpecahan yang terjadi, baik di kalangan alim ulama ataupun masyarakat awam. Mereka sibuk bertengkar, berdebat, dan mempermasalahkan masalah furu’iyyah (cabang) di dalam Islam, yang sebetulnya bukan masalah pokok di dalam agama.
Tujuan pendirian Ittihadoel Oelama adalah untuk mempersatukan umat Islam, memperbaiki kedudukan ulama, mendamaikan masyarakat yang terpecah-belah, terutama pertikaian yang terjadi antara kaum yang dianggap “kolot”, atau “kaum tua”, dengan “kaum muda”. Ittihadoel Oelama juga akan mendirikan sekolah Islam, memperbaiki masjid dan tempat ibadah, serta mengusahakan pertolongan dan bantuan untuk masyarakat yang ditimpa musibah atau malapetaka.
Tjek Wan mengatakan, “Di saat perpecahan antara alim ulama kian menjadi, perselisihan kian tampak dan meluas, hingga pernah menceraikan perhubungan anak dan bapak, perhubungan suami dan istri. Ini muncul karena persoalan yang kecil yang terdapat dalam masalah furu’. Karena itu, kami dengan beberapa ulama di Palembang, dibantu juga oleh Said Salim bin Djindan, terbentuklah suatu badan, guna menyelesaikan segala yang kusut, menjernihkan yang keruh, dan mempersesuaikanlangkah alim ulama. Terbentuklah Ittihadoel Oelama.”
Pada tahun 1941, Ittihadoel Oelama mengadakan musyawarah dengan mengundang ratusan ulama dari berbagai daerah, khususnya Palembang dan Bengkulu. Menurut catatan Hoesin Moe’in Hasany, ada sekitar 472 ulama yang hadir, dari 513 undangan yang disebar. Musyawarah diadakan di Madrasah Nurul Falah 30 Ilir Palembang yang dipimpin oleh KH. Daud Rusdi. Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, dari tanggal 11 sampai 12 April 1941.
Kegiatan ini dipimpin langsung oleh KH. Abu Bakar Bastari dan KH. Tjek Wan. Dalam pembukaan musyawarah, KH. Tjek Wan menjelaskan bahwa diskusi ulama ini awalnya dipicu oleh buku yang diterbitkan Majelis Ilmi Bengkulu. Isi buku ini memancing perdebatan di tengah masyarakat, karena mengharamkan penggunaan bahasa Indonesia atau bahasa lokal dalam khutbah Jum’at. Alasannya, karena menyalahi perbuatan Rasulullah.
Selain masalah di atas, terdapat juga persoalan lain yang dibahas, seperti masalah zakat dan nikah. Rincian pertanyaannya sebagai berikut:
- Haruskah Khutbah Jum’at itu dibahasa-melayukan?
- Khutbah Jum’at selain rukun boleh diterjemahkan?
- Haruskah mewakilkan seorang menerima zakat?
- Kalau hari raya jatuh pada hari Jum’at wajibkah sembahyang Jum’at?
- Dalam suatu perkawinan, wali menikahkan anaknya dengan ta’liq bila laki-laki masuk Muhammadiyah jatuh talak tiga, apakah hukumnya ketika laki-laki itu masuk Muhammadiyah?
Hasil dari rapat ini kemudian dibukukan oleh Hoesin Moe’in Hasany dengan judul Risalah Kepoetoesan Moesjawarat Ittihadoel Oelama. Dalam buku ini selain merekam notelunsi persidangan, hasil sidang, juga terdapat pengantar dan sambutan dari Said Salim bin Ahmad bin Jindan. Berikut salinan naskah sambutan Said Salim bin Ahmad bin Jindan:
Beberapa tahun berselang…
Matahari persatuan kaum muslimin dan umat Islam di seluruh Indonesia hampir tidak nampak lagi, bahkan barangkali bayang-bayangnya pun tidak, karena diselubungi oleh kabut pertikaian, oleh udara silang sengketa, ditutupi awan khurafat, jumud, fanatik, dan ta’assub.
Demikianlah pula hanya keadaan di daerah lembah Bukit Seguntang Mahameru ini, menurut berita yang sampai ke telinga saya, menurut pengalaman dan penyelidikan saya tatkala mula pertama saya menginjak kota ini.
Laksana kota Palembang terbelah dua oleh sungai Musi, dan di sebelah menyebelahnya, tercerai-berai pula menjadi beberapa kampung oleh anak-anak sungai, begitu pulalah mulanya kaum muslimin yang mendiami kedua tepian sungai Musi yang mengandung sejarah zaman gemilang itu. Bertikai-tikai, berjenis-jenis, saling-sengketa yang menghambat kemajuan dan persatuannya, sedang yang diberebutkan itu hanyalah selera dan daun ranting belaka.
Masa berjalan terus, dan sampailah kepada tahun 1939, di tahun mana Allah SWT menutunkan taufik hidayahnya kepada kaum muslimin di sini. Betapa tidak, karena di tengah kota Sriwijaya, dengan disaksikan oleh alim ulama serta kaum cerdik pandai, demikian pula saya sendiri. Lahirlah Ittihadoel Oelama yang membawa obor dan suluh untuk menerangi umat Islam dan kaum muslimin, menuju ke jalan pesatuan dan bahagia.
Saya merasa bangga, tidak oleh karena saya ikut melahirkan persatuan ini, akan tetapi yang terutama dan teristimewa, karena memandang rasa keinsafan kaum muslimin buat melaksanakan suatu organisasi untuk kesempurnaan masyarakat umat seluruhnya.
Bahtera persatuansedikit masa setelah itu tertegun kembali, adakalanya disebabkan karena siur ular yang berbisa, karena saura katak di bawah tempurung. Langit kebahagiaan umat nampaknya kembali diliputi awan khurafat dan jumud, bahkan di seluruh kepulauan Indonesia, karena masalah khutbah Bahasa Indonesia. Sesuai dengan pendapat saya, adalah pihak Ittihadoel Oelama tetap memegang konsekuensi selaku penerang kepada golongan awam, dengan membentuk suatu konferensi pada tanggal 11 sampai 13 April 1941 untuk membicarakan beberapa soal dan masalah. Di antara yang menjadi perundingan adalah soal khutbah Bahasa Indonesia.
Betapa ribut dan kelam babutnya setengah golongan kaum muslimin setelah soal ini ditengahkan, lebih lagi tatkala terdengar oleh mereka, bahwa hukumnya harus, boleh dipakai, maka suara katak di bawah tempurung sebagaimana yang saya kayakan di atas jadi bertambah menggemuruh oleh karenanya.
Saya punya konklusi, saya punya pendapat, saya punya paham, sesuai dengan keterangan para ulama yang terbanyak, sesuai pula dengan putusan pihak Ittihadoel Oelama yang telah direkamnya dalam kitab kecil ini. Nash-nash yang diambil, keterangan yang dipetik dan dinukil, adalah nash dan keterangan yang shahih pula.
Kalau orang yang suka mengerti dan mau mengerti, kalau umat Islam tidak hendak berpegang kepada tali yang rapuh, maka isi kitab ini memadailah untuk menjadi pedoman dan petujunjuk di jalan dalam soal tersebut.
Demikianlah sedikit kata pembimbing dari saya, perihal isi kitab kecil ini, terutama dalam soal khutbah bahasa Indonesia dan sebagai kata penutup saya sampaikan kepada sidang pembaca.