Jika punya waktu cukup senggang, cobalah untuk mengetik kata kunci “fatwa” di mesin pencarian google. Dua teratas hasilnya berisi informasi dengan sumber wikipedia (hasil penelusuran mungkin berbeda sesuai algoritma platform dan lokasi gps pencarian). Yang ketiga barulah berisi konten fatwa dari MUI dan Kementerian Agama RI.
Dari sekian fatwa-fatwa yang beredar di ruang internet rupanya kebanyakan isinya adalah tentang larangan, stop, atau minimal haram. Umpamanya adalah fatwa haram mengucapkan salam lintas-agama, yang secara kebudayaan padahal telah menjadi bagian dari ekspresi kultural masyarakat atau pejabat di Indonesia.
Dengan kata lain, sedikit sekali kita menjumpai di ruang media, terutama internet, hasil fatwa yang berisi tentang kebolehan terhadap sesuatu. Misalnya, fatwa kebolehan perempuan menjadi pemimpin yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Kerap kali produk fatwa yang dikeluarkan, baik oleh lembaga atau pakar agama, memicu ketegangan di ruang-ruang (media) sosial. Tentu hal ini tak lepas dari bagaimana agen-agen media melakukan framing terhadap suatu informasi.
Walau demikian, di era serba media seperti sekarang ini, hal itu mungkin telah menjadi fenomena sehari-hari, bagaimana media dan netizennya berkompetisi menciptakan percakapan atau opini dengan teknik framing.
Kembali ke fatwa. Akhir-akhir ini kita seringkali meributkan fatwa, sehingga masyarakat muslim dan non-muslim menjadi ribut karena fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga atau perseorangan. Begitu kurang lebih yang dituturkan Husein Ja’far Al-Hadar, atau akrab disapa Habib Ja’far.
“Bahkan terkadang umat non-muslim ikutan ribut karena fatwa yang dikeluarkan terkait langsung dengan keberadaan mereka,” katanya dalam konten Youtube di kanal Jeda Nulis.
Bagi Habib Ja’far, fatwa itu seharusnya memancing diskusi, alih-alih keributan. “Keributan akibat fatwa justru menunjukkan ketidak-dewasaan kita sebagai umat di Indonesia lantaran masih menganggap lawan diskusi sebagai musuh, bukan mitra dalam berpikir.”
Fatwa, secara bahasa, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dan ulama lainnya, bermakna jawaban atas pertanyaan tentang berbagai problem.
Fatwa juga berarti respons terhadap suatu peristiwa yang ada di tengah umat yang tidak secara spesifik atau tersurat kita temukan jawabannya, baik di dua sumber utama dalam Islam, Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad, maupun dua sumber hukum Islam lainnya yang disepakati oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu qiyas (analogi) dan ijmak (kesepakatan).
Tidak Mengikat
Fatwa tidak bersifat mengikat secara mutlak. Pasalnya? Fatwa adalah produk hukum dalam Islam yang mengikat siapa saja yang dengan sadar mengikatkan diri dengan otiritas tertentu yang mengeluarkan fatwa.
Karena itu, fatwa, di Indonesia maupun di dunia, tidak hanya muncul dari satu kelompok atau satu orang saja. Fatwa bisa muncul dari berbagai ulama dan lembaga keislaman. Misalnya, di Indonesia ada lembaga fatwa MUI, lalu ada juga lembaga Bahtsul Masail NU, dan Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Atau ilustrasi mudahnya begini:
Bisa jadi dalam satu perkara seseorang ikut pada fatwa satu lembaga dan pada perkara lain mereka ikut lembaga yang lainnya.
“Ini diperbolehkan asalkan pilihan itu bukan bersumber dari nafsu, melainkan berbasis pada ketaatan yang bersumber dari pengetahuan, sehingga menyebabkan kita percaya dan yakin atas produk hukum yang dikeluarkan dalam fatwa tersebut karena menurut kita itulah yang tepat dan sesuai dengan konteks yang meliputi kita,” ujar Habib Ja’far.
Satu Kebaikan
Habib Ja’far menjelaskan di dunia ini ada banyak lembaga fatwa. Misalnya di Mesir ada Dar al-Miftah al-Misriyah. Kemudian di Yaman, ada Syaikh Ba’adun yang merupakan mufti atau pakar di bidang hukum Islam yang menjadi rujukan untuk mengambil fatwa tentang berbagai hal yang terjadi di mayarakat setempat.
Fatwa tidak seharusnya menimbulkan keributan, apalagi permusuhan. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, sikap kita terhadap perbedaan di antara kita dengan yang lainnya terkait satu masalah karena sumber fatwanya berbeda adalah lana a’maluna wa lakum a’malukum (bagimu apa yang kamu yakini dan amalkan dan demikian pula bagi kami, akan kita pertanggungjawabkan sendiri-sendiri di hadapan Allah, kelak di akhirat).
“Toh, fatwa, salahnya pun termasuk kebaikan, karena bersumber dari ilmu dan dijalankan dengan penuh kehati-hatian. Dalam Islam, seorang yang memiliki kapasitas keilmuan dan telah berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, maka ia tetap diganjar satu pahala jika terdapat kekeliruan dalam mengambil kesimpulan,” jelas Habib Ja’far. “Ini merupakan bentuk apresiasi dari Islam kepada upaya yang tulus dan berbasis pengetahuan. Karena Islam menilai prosesnya, bukan hasilnya.”
Karena itu, seorang yang berijtihad atau menggali hukum Islam untuk menghasilkan sebuah fatwa, meskipun salah dia tetaplah dianggap baik.
Yang tidak baik, itu adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu Islam tapi sok berfatwa atau sok mengomentari fatwa, apalagi jika statusnya hanya netizen.
Fatwa Harusnya Memudahkan
Fatwa secara dalil, salah satunya, bersumber dari peristiwa ketika shabat Muadz bin Jabal hendak bepergian dan ditanya oleh Nabi Muhammad SAW (bisa dibaca di sini).
Habib Ja’far menegaskan fatwa itu seharusnya memudahkan umat dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan masalah-masalah barunya sebagai seorang muslim.
“Dengan demikian, fatwa tidak seharusnya membuat umat Muslim semakin rumit karena keributan lantaran fatwa yang ada. Fatwa, paling jauh, adalah untuk didiskusikan, bukan diributkan,” kata dia.
Mengapa demikian? Karena sebuah fatwa, sekali lagi, tidak seharusnya dimutlakan, sehingga terhadap orang yang tidak setuju atau tidak mengikuti satu fatwa, kita tidak boleh memberi judge negatif. Boleh jadi dia sedang mengikuti fatwa lain tentang peristiwa atau pertanyaan yang sama dari lembaga atau perseorangan lain yang mengeluarkan fatwa.
“Oleh karena itu, pemutlakan terhadap fatwa itu seharusnya dihindari. Hal ini pernah ditulis oleh K.H. Sahal Mahfud dalam buku “Nuansa Fikih Sosial”. Beliau menolak pemutlakkan fatwa, apalagi jika sampai diangkat menjadi UU Hukum positif dalam kehidupan bernegara,” Habib Ja’far menjelaskan.
Selain Kiai Sahal Mahfud, penolakkan untuk memutlakkan fatwa juga pernah dilakukan oleh tokoh Islam yang lebih awal, Imam Maliki, salah satu imam mazhab dalam Islam.
Imam Malik pernah menolak permintaan Khalifah Al-Mansur (salah satu khalifah dari Dinasti Abbasiyah) untuk menjadikan kitab Al-Muwaththa’ sebagai sumber hukum Islam utama dan bahkan satu-satunya di kekhalifaahan Abbasiyah pada saat itu.
“Kurang lebih jawaban Imam Malik begini: Biarkan orang merujuk Al-Quran dan As-Sunnah secara langsung bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukaknnya dan melahirkan fatwa-fatwanya sendiri sesuai dengan analisa mereka secara tekstual dan sesuai dengan konteks yang melingkupi kehidupan mereka,” tutur Habib Ja’far.
Beda Fatwa Itu Biasa
Para imam hukum dalam sejarah Islam, bahkan bukan hanya berbeda dalam produk hukumnya atau fatwa, tetapi juga dalam metodologi pengambilan hukum dalam Islam, atau yang disebut sebagai istinbath.
Habib Ja’far memberi contoh yang paling populer, yaitu Imam Abu Hanifah (founder Mazhab Hanafi) dan Imam Malik (pendiri Mazhab Maliki). Keduanya memiliki perbedaan yang sangat kentara.
“Imam Abu Hanifah disebut sebagai Ahlu al-Aql. Mazhabnya disebut sebagai mazhab fikih rasional karena beliau sangat menekankan aspek rasionalitas sebagai salah satu instrumen dalam menggali hukum Islam,” jelasnya.
Hal itu tentunya sangat bisa dipahami karena Imam Abu Hanifah hidup di kota Bashrah yang saat itu merupakaan wilayah kosmopolit dengan berbagai problematika modernnya, sehingga kecenderungan hukum itu juga berbasis pada metode yang juga rasional.
Apa yang dijumpai Imam Malik bisa lain cerita. Imam Malik hidup di Madinah yang saat itu kecenderungan masyarakatnya berbasis pada teks atau hadist. Ini juga sangat bisa dipahami karena Madinah merupakan Ibu Kota peradaban Islam pertama, sehingga secara kultur tidak memiliki kontras tajam dengan sumber tekstual umat Muslim.
“Maka meskipun derajat sebuah hadist itu adalah ahad, atau hadis yang secara sanad hanya bersumber dari satu orang, ia tetap bisa menjadi basis argumen untuk berfatwa,” jelas Habib Ja’far.
Yang menarik, walaupun Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berbeda secara metodologi dan tentu saja juga dengan produk hukumnya, ketika Imam Malik ditanya bagaimana pendapatnya tentang Imam Abu Hanifah, jawabnya kurang lebih begini:
“Imam Abu Hanifah adalah seorang cerdik cendekia yang begitu cerdasnya beliau sehingga seandainya engkau bertanya dan meminta dalil tentang satu kayu itu apakah bisa diyakinkan kepada seseorang bahwa itu adalah emas, beliau bisa dengan baik melakukannya tanpa keraguan sedikitpun dengan argumentasi rasionalnya,” pungkas Habib Ja’far merujuk pada literatur keislaman yang ada, seperti Kitab Tahzib at-Tahzib karya Ibn Hajar al-Asqallany.