Belakangan, konsep dan program Moderasi Beragama (MB) yang digagas Kementerian Agama sejak 2019 silam terus giat dipromosikan hingga hari ini. Orientasinya adalah merespon problem keagamaan kontemporer di Indonesia, misalnya untuk menekan tingginya angka diskriminasi, intoleransi, kekerasan serta konflik atas nama agama.
Sekilas, kerangka konsep tata kelola keagamaan ini secara ideal dapat meminimalisasi masalah di atas. Namun, ketika dihubungkan dengan hak dan jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), celah-celah ketimpangan MB justru muncul berhamburan. Sebagai contoh, ide untuk menjadikan umat beragama agar berpaham moderat, bagaimanapun alasannya, secara tidak langsung telah masuk pada ranah tafsir keagamaan seseorang, yang dalam perspektif KBB haram untuk diintervensi.
Implikasi dan kontradiksi konseptual seperti itulah yang dikuliti Zainal Abidin Bagir, Jimmy M.I. Sormin, dan penulis-penulis lainnya dalam Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama: Suatu Tinjauan Kritis (2022)\ untuk meninjau sejauh mana program MB mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dirumuskannya, terutama dalam kaitannya dengan hak KBB. Buku yang berisi dua bagian ini mengasumsikan bahwa MB bukanlah model pengelolaan keragaman yang sepenuhnya ideal. Sebaliknya, ada banyak kekurangan yang perlu ditambal, yang orientasinya adalah menghargai kesetaraan dan hak setiap umat beragama tanpa diskriminasi atas dasar apapun.
Jalan Tengah yang Setengah-setengah
Dalam bagian pertama yang , salah satu fokus pembahasan yang didedah adalah beberapa dokumen yang dijadikan rujukan utama program MB, yaitu buku Moderasi Beragama (2019) dan Peta Jalan (Roadmap) Penguatan Moderasi Beragama. Contoh kritik yang diajukan berkaitan dengan sengkarutnya tiga posisi imaginer model keberagamaan yang dikonsepsikan MB, yaitu ekstrem kanan, jalan tengah, dan ekstrem kiri. Posisi MB sendiri diklaim berada di tengah.
Problemnya, perihal apa dan bagaimana definisi dari ketiga model tersebut pemaknaannya cenderung tidak jelas. Misalnya, MB mengkerek pandangan fanatik-konservatif dengan tindakan kekerasan dan terorisme pada satu kategori yang sama; ekstrem kanan. Padahal, dalam konteks tertentu, sikap fanatik terhadap ajaran agama tidak secara otomatis mengandaikan bahwa dia secara pasti sepakat melakukan tindakan terorisme ataupun kekerasan.
Kerancuan serupa juga terjadi ketika MB berupaya mengidentifikasi kelompok ekstrem kiri pada sarjana muslim yang dianggapnya menggunakan tafsir liberal guna menghalalkan seks di luar nikah, tanpa memberikan penjelasan yang memadai mengapa mereka dikategorikan demikian. Ketika ditarik lebih luas, problem generalisasi definisi yang termuat dalam dokumen MB ini sekilas terilhami oleh kerancuan yang juga ada dalam UU penodaan agama, yaitu mensimplifikasi kompleksitas atau keragaman pemahaman keagamaan, terutama dari kelompok minoritas, sebagai kasus penodaan.
Sebagai gantinya, MB kemudian memberikan tawaran berupa “jalan tengah” yang diklaim lebih dinamis dan mampu menjadi titik-temu kedua paham ekstrem tersebut. Namun, alih-alih memoderasi, tawaran MB tersebut justru lebih mengarah pada upaya pemenjaraan tafsir keagamaan seseorang dengan memaksa mereka agar bersikap moderat.
Bahkan, dalam upayanya, untuk tidak mengatakan usaha pemaksaan, Kemenag menganggap MB sebagai keharusan bagi setiap masyarakat karena menjadi kunci lahirnya toleransi dan kerukunan(?). Tak tanggung-tanggung, Lukman Hakim Saifuddin sebagai misal dalam “Sambutan” buku babon MB itu turut mengaksentuasikan agar MB “harus menjadi cara pandang setiap umat beragama”.
Problemnya, jika memang benar bahwa MB dapat menjadi jalan alternatif untuk membangun Indonesia yang lebih rukun dan toleran seperti dikonsepsikan Lukman, maka timbul pertanyaan lanjutan; apakah untuk membangun Indonesia yang lebih toleran dan rukun umat beragama harus berpaham moderat terlebih dahulu?
(K)erukunan atau (P)erukunan
Untuk menjawab pertanyaan di atas, Donald Q. Tungkaki meragukan bahwa MB dapat menggaransi lahirnya kerukunan umat beragama. Ia melihat belum ada keberpihakan yang memadai terhadap umat yang lemah dan minoritas. Yang tampak justru lebih menonjolkan kepentingan pemerintah dan negara (state-heavy) ketimbang kepentingan rakyat (society-heavy) sendiri.
Tungkaki khawatir program MB justru sama nasibnya seperti program Trilogi Kerukunan yang juga didiseminasikan Kemenag pada masa Order Baru. Dengan mengutip istilah Trisno S. Susanto (2011), Tungkaki menilai bahwa program tersebut, alih-alih menciptakan “kerukunan” yang terjadi justru “perukunan”.
Konsep perukunan di sini sederhananya dapat dipahami sebagai regulasi politis yang terjadi ketika negara, sebagai pengambil keputusan yang bersifat top-down, secara asertif memaksa menciptakan kerukunan, yang, pada saat bersamaan diimbangi dengan upaya untuk merestriksi hak kebebasan beragama individu. Misalnya, pada masa Orba, negara melakukan politik penyingkiran (exclusionary politics) terhadap penghayat kepercayaan dengan memperlakukan mereka sebagai pihak yang “belum beragama”. Politik perukunan juga terjadi ketika negara secara simplistik mendefinisikan agama berikut tafsir-tafsirnya dengan merujuk pada UU No.1/PNPS/1965.
Dan tampaknya, embrio politik perukunan ini juga tersamai dalam kebijakan MB, yang salah satunya terlihat dalam penilaian sejauh mana interpretasi keagamaan suatu komunitas dianggap moderat (poinnya persis seperti di UU No.1/PNPS/1965 dengan sedikit parafrase), seraya menyesuaikan dengan apa-apa yang mereka promosikan. Praktik tebang-pilih demikian, dalam implementasinya, cenderung menguntungkan kelompok pendukung program tersebut, untuk tidak menyebutnya “proyek”, seraya merugikan mereka yang tidak sepakat.
Melampaui Moderat
Bagir dan Sormin menutup rangkaian diskusi buku ini dengan menyebut bahwa menjadi moderat bukanlah hal yang sepenuhnya cukup. Keikutsertaan negara dalam persoalan keagamaan tidak selamanya dapat menyelesaikan persoalan, bahkan dapat saja memperunyam.
Misalnya dalam beberapa regulasi yang ada negara justru tetap memberi proporsi lebih besar kepada kelompok-kelompok non-moderat untuk tetap mempraktikkan eksklusivisme beragama, seperti UU Penodaan Agama dan beberapa pasal terkait dalam KUHP. Masih digunakannya UU tersebut sampai hari ini justru menjadi kontradiksi interminus tersendiri dalam kebijakan pemerintah soal moderasi beragama; ada yang tidak moderat dalam moderasi itu sendiri.
Idealnya, dalam penyelesaian konflik keagamaan, seperti dipertegas Bagir dan Sormin, yang lebih penting adalah kemampuan untuk bekerja sama serta sikap dan perilaku umat beragama, bukan pandangan moderat atau tidaknya. Lagipula, “orang moderat” tidak menjamin bahwa ia bisa bekerja sama dan untuk bisa bekerja sama seseorang tidak diharuskan menjadi moderat.
Sebabnya, lebih penting daripada gagasan MB, sebaiknya negara fokus pada upaya memberikan jaminan atas ruang bebas semua warga negara untuk beragama, baik untuk mereka yang moderat atau tidak. Lagi pula, persoalan apakah seseorang harus bersikap moderat atau tidak, merupakan bagian dari forum internum yang tak dapat diintervensi oleh siapapun, termasuk di dalamnya Kemenag.
Secara umum, diskusi yang disajikan dalam buku ini berkontribusi terutama untuk mempertegas hak KBB dari individu atau kelompok sebagai amanat dari konstitusi kita. Dibanding MB, KBB lebih memperjelas posisi kemanusiaan seseorang agar tidak diremehkan ataupun direndahkan hanya karena pilihan paham keagamaan yang berbeda. Lagi pula, perlindungan terhadap model keberagamaan seseorang, seperti yang diamanatkan KBB, tidaklah didasarkan pada argumen bahwa ia moderat atau tidak melainkan karena statusnya sebagai manusia.