Ia berkaos hitam lengan panjang dan perlahan menaiki tangga menuju kafe yang terletak di lantai dua. Celingukan, ia terlihat mencari seseorang. Tidak berselang lama, ia berhasil menemukan orang yang dicarinya. Tepat setelah saya melambaikan tangan kepadanya. Namanya Reza Aven.
Bagi Reza, ia menemukan toleransi yang dicarinya selama ini justru dari kampus yang berjarak 756 KM dari tempatnya menimba ilmu di SMA. Tepatnya di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya mengenalnya sejak kami berdua mengikuti kegiatan kunjungan ke komunitas agama Baha`i beberapa bulan silam. Sebuah kunjungan yang membuat sikapnya terhadap agama menjadi lebih terbuka.
Bertemu yang Berbeda
Reza duduk di meja dan sesekali tersenyum. Sembari menunggu makanan dan minuman yang telah dipesan. Ia bercerita, dirinya sudah tahu tentang toleransi dari SMA. Tetapi hanya sekadar tahu, bukan memahami.
Keberagaman individu itu, katanya, dijumpainya ketika masih menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang. Di situlah awal mula dirinya menyadari pentingnya toleransi. Uniknya, sebelum memiliki kesadaran tersebut, ia justru lebih dulu berkenalan dengan kelompok yang intoleran.
“Saya pernah gabung fanpage (grup) mereka di Facebook gitu,” tuturnya.
Reza menceritakan, hal yang membuatnya tertarik untuk bergabung ke grup media sosial kelompok itu adalah konten-konten yang disajikan oleh mereka cukup memikat hati. Ia cukup beruntung karena bisa menyadari bahwa kelompok seperti itu tidak layak diikuti.
Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Reza mengambil program studi Sosiologi, salah satu program studi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Sembari menikmati Nasi Goreng Aceh yang tersaji di hadapannya, ia kerap menyebut nama-nama Sosiolog beserta pemikiran masing-masing.
“Pernah waktu itu ada materi tentang toleransi. Tentang diskriminasi juga,” ungkapnya.
Dalam pandangan Reza, mayoritas dosen yang mengajar di program studi Sosiologi merupakan lulusan dari universitas-universitas ‘Barat’ ternama. Dari mereka, ia belajar bahwa dalam memandang setiap fenomena sosial yang terjadi, hendaknya tidak boleh langsung menghakimi. Karena di balik setiap fenomena, terdapat banyak faktor yang melatarbelakanginya.
“Kalau di kelas, saya belajar ilmu-ilmu ‘Barat’. Tapi, kalau lagi di pesantren (pesantren mahasiswa, ganti jadi belajar ilmu-ilmu ‘Timur’. Jadinya seimbang,” ucapnya dengan penuh percaya diri.
Bagi Reza, menjadi seorang yang moderat itu penting. Dan untuk menjadi seperti itu, tidak cukup hanya dengan belajar teori-teori yang ada di buku. Hal yang tak kalah penting adalah membangun dialog antar individu atau kelompok yang beragam.
“Kalau saya pribadi, yang pengen banget itu berdialog bersama kelompok Islam yang ekstrem gitu. Jadi nggak cuma dialog dengan kelompok agama lain,” jelasnya.
Di mata Reza, membangun dialog jauh lebih penting dibandingkan dengan melibatkan diri ke dalam perdebatan remeh yang tidak produktif. Yaitu dialog yang berdasarkan pada sikap terbuka terhadap perbedaan yang ada.
Dukungan Pimpinan Lewat Kebijakan
Penjelasan Reza tentang pengalamannya bergabung ke dalam sebuah grup media sosial kelompok intoleran mengantarkan kami menuju kisah perjalanan hidup yang sama. Kami berdua pernah berada di fase merasa paling benar serta mudah menghakimi dan menyalahkan orang lain.
“Mereka (kelompok intoleran) pakai cara yang halus banget. Sampai kita terkadang nggak sadar kalau udah terpengaruh mereka,” ulasnya.
Tidak dapat dipungkiri, berada di fase pencarian jati diri membuat remaja seperti kami saat itu mudah dipengaruhi oleh tontonan atau bacaan yang dikonsumsi. Di sinilah peran lingkungan keluarga menjadi sangat penting ketika seorang remaja berada di rumah. Sedangkan, ketika remaja berada di sekolah maupun kampus, institusi pendidikanlah yang bertugas mengisi peran tersebut.
“Sepanjang pengetahuan saya, UIN Jakarta termasuk kampus yang cenderung moderat,” ungkap Muchtadlirin, peneliti di Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta.
CSRC UIN Jakarta merupakan lembaga yang dipercaya oleh Rektor UIN Jakarta untuk menggawangi program moderasi beragama di kampus ini. Meskipun lembaga ini tidak aktif lagi menjalankan program itu dalam dua tahun terakhir, saya menilai pengalaman mereka selama bertahun-tahun tetap layak disimak.
“Kalau nggak salah, (sekarang) program moderasi beragama ditangani oleh Pusat Kajian Moderasi Beragama,” tambah sosok yang biasa dipanggil Dlirin ini.
Dlirin menuturkan, dalam membentengi mahasiswa dari pengaruh-pengaruh paham ekstremisme, CSRC menggunakan pendekatan penguatan resiliensi. Ada tiga kerangka yang digunakan, yaitu Social Bonding, Social Linking, dan Social Bridging.
“Social Bonding adalah upaya memperkuat identitas UIN Jakarta sebagai kampus moderat,” paparnya.
Upaya ini dilakukan dengan cara mengenalkan identitas tersebut kepada para mahasiswa baru melalui kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) yang wajib diikuti oleh mereka.
“(Selanjutnya) Social Bridging adalah upaya menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada di kampus maupun di luar kampus,” terangnya.
Sasaran dari kerangka yang satu ini adalah seluruh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di UIN Jakarta. Secara khusus, Dlirin menyebutkan UKM Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Sebagai UKM yang bergerak di bidang dakwah Islam dan berafiliasi dengan kelompok di luar kampus, potensi penyebaran paham ekstremisme melalui UKM ini perlu diwaspadai.
“Alhamdulillah teman-teman LDK pada saat itu mulai mengenal moderasi beragama dan ekstremisme melalui workshop dan pelatihan,” bebernya.
Berdasarkan keterangan Dlirin, pada saat workshop, para anggota UKM dikenalkan dengan narasi ekstremisme. Pengenalan ini penting dilakukan mengingat banyaknya mahasiswa yang kerap tidak menyadari adanya narasi ekstremisme tersebut.
“Pengenalan tentang ekstrimisme agar mahasiswa memiliki daya tahan atau resiliensi dilakukan dengan memperkenalkan narasi ekstrimisme dan cara mengcounternya atau melawannya,” ucapnya.
Dengan mengenal narasi ekstremisme, serta mampu membedekannya dengan narasi moderat, mereka akan memiliki ketahanan dan tidak mudah terpengaruh dengan narasi itu. Menurut Dlirin, keberhasilan upaya ini dapat dicapai berkat dukungan penuh dari pimpinan kampus, termasuk melalui kebijakan.
“Ini (dukungan dari pimpinan) sangat penting. Karena implementasi moderasi beragama akan menjadi semakin kuat dan menyebar luas dengan dukungan kebijakan dari pihak yang berwenang,” pungkasnya.
Hal yang perlu diketahui adalah upaya UIN Syarif Hidayatullah melahirkan generasi moderat dilakukan dengan tidak melalui paksaan. Karena salah satu indikator moderasi beragama adalah bersikap toleran terhadap pihak yang berbeda. Itu terlihat dari cara yang dipilih untuk melahirkan generasi moderat, yaitu dengan menjembatani perbedaan, alih-alih menghilangkan perbedaan itu.
Karena, dengan lingkungan yang inklusif bagi setiap mahasiswa, akan lahir para agent of change yang inklusif pula. Saya pun teringat pada sabuah pengakuan dari (Alm.) Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah periode 1998 s.d. 2006. Ia mengaku bahwa dirinya tidak membubarkan suatu UKM hanya karena mereka terindikasi memiliki pemahaman keagamaan yang ekstrem.
“Alasannya karena kelompok kanan itu bisa menjadi penyeimbang bagi kelompok kiri. Dari situlah nanti lahir moderasi atau sikap tengah,” ujarnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan beberapa tahun lalu.
Baca Juga: Angin Segar Moderasi Beragama di Masjid Al-Jami’ah UIN Jakarta