Peristiwa terjadi pada sebuah pagi 14 Mei tahun 1962. Sebuah tembakan yang diarahkan ke Bung Karno, menyasar ke tubuh KH Zainul Arifin, seorang ulama, pejuang dan panglima Laskar Hizbullah. Peristiwa terjadi para rakaat kedua Salat Iduladha.
Cucu KH Zainul Arifin, Ario Helmi, di situs resmi NU, mengisahkan peristiwa berdarah itu.
Saat itu, ulama asal Barus tersebut sengaja memosisikan diri di samping kiri Bung Karno untuk mengantisipasi segala hal. Samping kanan Bung Karno adalah Jenderal Abdul Haris Nasution.
Dikisahkan, keheningan khusyuk berlangsung khidmat, melingkupi umat saat memuji Sang Maha Agung dalam rukuk mereka pada rakaat kedua Iduladha tersebut.
“Sami’allahu liman hamidah (Aku mendengar orang yang memuji-Nya),” ucap imam KH Idham Chalid, yang jadi imam saat itu.
Belum sempat jamaah menyahuti seruan imam, dari barisan ketiga jamaah bagian kiri, tiba-tiba pecah teriakan lantang seorang jamaah, “Allahu Akbar...!”, seraya tangannya mengacungkan pistol yang diambil dari betis kanannya.
Ia adalah seorang sniper alias penembak jitu. Mestinya, sasaran tembaknya tidak bakal luput dari muntahan pelurunya: menuju Bung Karno. Namun, anggota pengawal presiden berhasil menepiskan tangan orang itu dan berpindah.
“Dor…!”
Orang-orang, termasuk imam, bertiarap. Lalu, suasana pun berubah kacau balau.
KH Zainul Arifin tersungkur. Tubuhnya lunglai rebah di atas sajadah.
Bahu kirinya terasa basah. Ketika dia mencoba meraba bagian tubuhnya yang terasa hangat, didapatinya simpul dasinya sampai terputus. Darah segar merembesi kemeja putih hingga ke jas luarnya. Sedikit lagi peluru bisa mengenai jantungnya.
“Saya kena…,” ucap tokoh NU tersebut pasrah, di antara kekacauan di sekelilingnya.
“La haula wa la quwwata illa billahil aliyyil adzim… (Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung…),” ucapnya.
Bung Karno selamat, KH Zainul Arifin Pohan dilarikan ke rumah sakit. Setelahnya, ia pun sakit-sakitan dan berpulang 10 bulan kemudian.
Rosihan Anwar, aktivis dan jurnalis senior, dalam bukunya Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik, 1961-1965 mengisahkan peristiwa itu.
“Percobaan pembunuhan dilakukan para rakaat kedua dengan tembakan pistol beberapa kali dari jarak kurang lebih 5-6 meter,” tulisnya di halaman 14.
Dikisahkan oleh Rosihan Anwar, Bung Karno tidak mengalami cedera apa-apa. Percobaan itu dilakukan orang-orang DI/TII yang mendapat tugas dari Kartosuwiryo.
Bung Karno memang tak kurang suatu apa. Namun, orang yang melindungi dirinya, yakni KH Zainul Arifin, harus meregang nyawa.
Pada pada 2 Maret 1962, KH Zainul Arifin Pohan pun berpulang.
Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 35/tahun 1963 tanggal 4 Maret 1963.