Qushay bin Kilab merupakan kakek buyut Rasulullah SAW dan leluhur dari Suku Quraisy. Dalam catatan sejarah, ia dikenal sebagai tokoh pertama pembangun kebesaran Makkah sebelum Nabi Muhammad SAW membawa peradaban Makkah ke dalam peradaban akhlak.
Meskipun, catatan sejarah mengungkap bahwa Qushay bin Kilab merebut Makkah dengan cara yang kontroversial. Namun, model kepemimpinannya patut diperhatikan. Bukan hanya karena ia yang mempersatukan, tetapi juga merawat dan menjamin eksistensi tradisi para suku di sekitarnya.
Qushay bin Kilab dilahirkan pada tahun 400 M, nama aslinya adalah Zaid bin Kilab. Ia digelari Mujammi (pemersatu) karena berhasil menyatukan kabilah-kabilah Quraisy di Makkah.
Sebelumnya, kabilah ini tinggal terpisah-pisah, mereka membentuk koloni-koloni kecil di puncak bukit. Kekuatan mereka pudar. Terpojok oleh orang-orang Khuza’ah yang saat itu memiliki kuasa besar atas daerah Makkah. Kemudian Qushay bin Kilab menghimpun anak keturunan Fihr (Suku Quraisy) yang tercerai berai ini, hingga menjadi kekuatan baru di Makkah.
Intrik Akuisisi Makkah oleh Qushay bin Kilab
Dalam proses pembentukan itu, Qushay bin Kilab sadar bahwa untuk menguasai Makkah tidak cukup hanya sekedar mempersatukan koloni saja, namun juga sembari menyingkirkan kelompok-kelompok lain, di antaranya adalah komunitas Shufah, Suku Khaza’ah, dan Bani Bakar.
Qushay memandang bahwa dirinya paling berhak untuk mengelola Ka’bah dan menjadi penguasa Makkah daripada Khuza’ah dan Bani Bakar. Ia kemudian melobi tokoh-tokoh Quraisy dan Kinanah, dan memprovokasi mereka untuk mengusir Khuza’ah dan Bani Bakar dari Makkah. Tokoh-tokoh Quraisy dan Kinanah merespon positif seruannya.
Shufah adalah komunitas yang memegang kuasa peribadatan di sekitar Ka’bah. Bagi para orang-orang yang berhaji pada waktu itu, Shufah menjadi pihak yang paling otoritatif dalam memimpin peribadatan.
Misalnya, para jemaah haji tidak akan melempar jumrah sebelum Shufah melemparnya terlebih dahulu. Para Shufah kemudian menjelma bak ‘iman’ yang dikultuskan dan tidak boleh ditentang pendapatnya.
Pada musim haji masa itu, para Shufah melakukan kebiasaannya memimpin para jemaah haji. Qushay dan para pendukungnya dari suku Quraish, Kinanah, dan Qudha’ah mendatangi Shufah di Aqabah dan menyatakan bahwa mereka lebih berhak memimpin para jemaah haji daripada para Sufah. Perang pun tidak terhindarkan dan kemenangan diraih oleh Qushay bin Kilab.
Berbeda dengan Shufah, Khuza’ah adalah suku yang telah menguasai Makkah dan terhitung suku terkuat saat itu. Kebetulan, mertua Qushay bin Kilab adalah tokoh Bani Khuza’ah terakhir yang menguasai Makkah. Sedangkan Bani Bakar adalah suku yang sempat berafiliasi dengan Khuzaah.
Kedua suku ini juga tidak tinggal diam. Bersama Shufah, mereka bersatu untuk menggagalkan upaya Qushay menguasai Makkah. Pertempuran pun terjadi kembali, korban dari kedua belah pihak sangat banyak. Hingga pada akhirnya mereka memilih gencatan senjata dan memilih melakukan perjanjian damai.
Dalam catatan Sirah Nabawiyah yang ditulis Ibnu Hisyam, perjanjian dalami itu ditengahi oleh seorang hakim bernama Ya’mur bin Auf. Secara tak terduga, Ya’mur pun memutuskan dengan keputusan yang juga sangat kontroversi waktu itu.
Dia memberi tiga keputusan; pertama, bahwa Qushay bin Kilab diputuskan menjadi penguasa yang sah di Makkah. Kedua, Qushay dan para sekutunya tidak akan mengganti kerugian yang dialami Suku Khuzaah dan Bani Bakar. Ketiga, Khuzaah dan dan para sekutunya harus mengganti kerugian yang dialami Qushay bin Kilab selama pertempuran
Kebijakan Pluralis Qushay bin Kilab
Kepemimpinan Qushay juga menandai persatuan Suku Quraisy. Sejak masa Qushay, masyarakat Quraisy mengalami transformasi dari masyarakat nomaden menjadi masyarakat berperadaban secara gradual.
Qushay bin Kilab berkuasa atas Ka’bah dan Mekkah. Ia memboyong para pengikutnya dari negeri mereka ke Mekkah. Ia menjadi raja bagi kaumnya dan penduduk Mekkah. Namun demikian, ia tetap member izin pada orang-orang Arab mengerjakan apa yang telah biasa mereka kerjakan, karena ia menganggapnya sebagai agama yang tidak seharunya diganti. Ia mengizinkan keluarga Shafwan, Adwan, An-Nasa’ah, dan Murrah bin Auf mengerjakan apa yang biasa mereka kerjakan.
Karena kebijakannya yang pluralis itu, Qushay bin Kilab menjadi orang pertama dari Bani Ka’ab bin Luay yang menjadi pemimpin yang ditaati kaumnya. Penjagaan Ka’bah, penguasaan Sumur Zamzam sekaligus pemberian jamuan makan dan minum jemaah haji dengan air Zamzam, pengelolaan Dār an-Nadwah dan komando perang Quraisy sepenuhnya berada di tangan Qushay bin Kilab. Ia memangku seluruh kehormatan Makkah, menjadi pemimpin Makkah, dan menempatkan setiap kaum dari Quraisy pada posisinya di Makkah sebagaimana sebelumnya.
Jika mengacu pada perspektif saat ini, cara Qushay menguasai Makkah memang sangat kontroversial, namun sebenarnya model penaklukan semacam itu memang sangat lazim di Arab, khususnya pra-Islam. Di luar itu, cara kepemimpinan Qushay bin Kilab bisa dikatakan pluralis dan mengedepankan persatuan dengan menjamin tradisi-tradisi mereka.
Semangat kepemimpinan pluralis Qushay bin Kilab kemudian dilanjutkan oleh keturunannya, Rasulullah Muhammad. Piagam Madinah menjadi bukti kepemimpinan pluralis yang dipraktikkan oleh Rasulullah di Madinah. Nabi menjamin eksistensi tradisi dan agama yang terlebih dahulu sudah ada di Madinah serta melarang diskriminasi di antara mereka.