Jika orang ingin mempunyai banyak wawasan tapi tidak membaca buku maka ia bagai si pungguk merindukan bulan. Jika seseorang tidak peduli dengan membaca buku, maka kemungkinannya ada tiga. Ia adalah orang yang sombong, pemalas garis keras, dan (atau) ia tidak mempunyai visi untuk hidup.
Jika seseorang membaca buku maka ia sebenarnya sedang menggunakan otak orang lain untuk berpikir tentang sesuatu. Misalnya, kita ingin berpikir soal bagaimana realitas keislaman di Indonesia, maka ia bisa membaca buku Gus Dur berjudul “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”.
Dalam konteks ini, kita sedang meminjam otak Gus Dur untuk berargumentasi soal Islam sebagai realitas sosial di Indonesia. Namun, kondisi ini menjadi tidak ideal jika dilakukan terus menerus. Yang baik adalah bagaimana caranya agar buku (otak orang lain) itu hanya kita jadikan sebagai kendaraan untuk menghasilkan kemandirian intelektual kita masing-masing.
Tulisan ini hadir dalam rangka memperingati Hari Buku Sedunia yang diperingati setiap 23 April. Peringatan tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada penulis buku terkenal, seperti Miguel de Cervantes, Inca Garcilaso de la Vega serta William Shakespeare yang meninggal pada 23 April.
Pengajuan tanggal 23 April itu dilakukan dalam Konferensi Umum UNESCO yang diadakan di Paris pada 1995. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan penghormatan kepada buku serta penulis pada 23 April dan mendorong semua orang untuk membaca buku. Sejumlah negara pun mempunyai cara masing-masing dalam merayakan Hari Buku Sedunia.
Tulisan ini menyoroti soal kesadaran pentingnya untuk tidak membaca satu buku saja. Dengan hanya membaca satu perspektif, seseorang akan terjebak dalam satu sudut pandang saja, tidak bisa mengembangkan nalarnya, dan berakhir menjadi individu yang kolot.
Soal khilafah, misalnya. Para radikalis terjebak pada literatur yang mengakomodir keyakinan mereka saja. Mereka tidak (mau) berusaha membaca perspektif lain. Ini yang kelak melahirkan fanatisme sekaligus menyalah-nyalahkan mereka yang berbeda dengan dirinya.
Membaca banyak versi buku juga bisa mengantisipasi dari berbagai kecerobohan intelektual yang disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Banyak buku yang seolah menyajikan data menarik, namun faktanya ia tak lebih dari pseudo-science. Tak hanya itu, membaca ragam perspektif bisa menjauhkan kita dari kebodohan.
Yap, esensi dari membaca buku adalah menghindarkan kita dari kebodohan. Kebodohan adalah hal yang sangat dianjurkan untuk dihindari dalam ajaran Islam. Itu karena kebodohan sangat berbahaya dan dapat membawa manusia ke dalam kemaksiatan. Maka dari itu, umat Islam harus selalu membaca dan menuntut ilmu agar terhindar dari kebodohan atau kejahiliyahan.
Kebodohan di sini bisa bermacam-macam bentuknya. Salah satu manifestasi yang muncul di era media baru ini adalah kebodohan dalam hal mengkonsumsi pengetahuan. Dalam bahasa lain, berita yang melimpah mengaburkan pandangan sebagian masyarakat kita untuk melihat mana yang benar mana yang salah. Realitas ini sudah disinggung Allah dalam QS. al-Hujurat: 6.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِن جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓا۟ أَن تُصِيبُوا۟ قَوْمًۢا بِجَهَٰلَةٍ فَتُصْبِحُوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Di era modern ini, frase “membaca buku” bermakna konotatif. Ia bisa diartikan apa saja. Membaca buku bisa ditafsirkan sebagai membaca pengetahuan yang ada di sekitar kita. Dalam al-Qur’an, muatan yang disebut ilmu pengetahuan adalah informasi-informasi tentang ilmu ketuhanan dan agama, tentang manausia, binatang, tumbuh-tumbuhan langit, bumi, matahari, planet-planet dan lain-lainnya.
Semua penjelasan atau informasi tersebut di atas tidak akan dapat dipahami seluruhnya kecuali dengan membaca, menela’ah meneliti dan memahami apa yang dihadapi. Untuk mencari informasi apa dan di mana saja, tidak dapat tidak dengan membaca, kiranya inilah sebabnya Allah lebih awal menurunkan perintah membaca kepada manusia.
Hal ini, dalam kajian filsafat disebut dengan filsafat iqra’ sebagaimana yang dituangkan oleh M. Quraish Shihab dalam kitabnya Membumikan al-Qur’an, bahwa iqra’ tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Arti iqra’ itu bermacam-macam, bisa berupa menelaah, mendalami, meneliti, dan lain-lain.
Hari Buku Sedunia bisa menjadi momentum bagi umat Muslim untuk mengeksternalisasi pesan-pesan al-Qur’an tentang pentingnya membaca dan memverifikasi pengetahuan. Dua senjata ini setidaknya bisa membentuk kita menjadi pribadi yang intelek, toleran, berwawasan, dan tidak gemar menyalah-nyalahkan orang lain.