Dear Redaktur Islami yang baik dan bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya sebagai orang yg awam tentang keislaman…
Menyambung pertanyaan pekan lalu, ada dua hal yang saya kira masih perlu untuk ditanyakan terkait pasal zakat. Semoga pertanyaan ini juga berguna buat orang lain karena biasanya banyak muslim yang membagikan zakat di bulan Ramadhan…
Pertanyaan pertama, bolehkah zakat diberikan kepada seorang kiai dengan memakai dalil bahwa apa yang dilakukan oleh seorang kiai tersebut masuk dalam kategori ‘fii sabilillah’? Sebabnya, saya melihat ada perbedaan pendapat.
Ada yg bilang boleh dengan memakai dalil di atas. Ada yang bilang harus dilihat dulu kiainya, kalau sudah kaya tidak perlu, tapi kalau untuk kiai-kiai di kampung-kampung atau di daerah terpencil yang kekurangan, maka itu dibolehkan.
Meskipun demikian, ada juga yang menyatakan tidak boleh. Sebab ‘fii sabilillah’ itu, menurut yang berpegang pada pendapat ini, tidak perlu tafsir lain.
Dengan kata lain, dalil ‘fii sabilillah’ dianggap sudah final merujuk pada mereka yang berperang di jalan Allah. Perang dalam makna yang sesungguhnya alias harfiah. Nah, mana pendapat yang lebih valid dan solid menurut Redaktur Islamidotco?
Pertanyaan kedua, sebetulnya ini polemik lama namun perlu disegarkan lagi ke publik, dan saya juga belum mendapatkan jawaban yang kokoh. Bagaimana dengan hukum zakat profesi? Banyak ulama yang bilang boleh, tapi banyak pula yang menentang.
Kalau boleh, ia masuk kategori zakat apakah? Apakah zakat mal?
Jika masuk kepada zakat mal, haul dan nisabnya bagaimana? Mohon pencerahan dari Redaktur Islami yang budiman.
Terimakasih banyak, semoga ini berguna bukan hanya buat saya dan umat Muslim lainnya, tetapi juga menjadi ladang ibadah buat para redaktur Islami. Amin…
Puthut EA, Kepala Suku Mojok.co
Jawab
Kepada Mas Puthut yang semoga selalu sehat dan berlimpah rezekinya.
Pertama, ayat yang menjadi landasan berzakat tertuang dalam Surah At-Taubah ayat 60. Allah SWT berfirman, begini:
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.
Nah, terkait sebarapa jauh batasan tafsir “fii sabilillah”, para ulama memiliki pendapat yang berbeda. Meskipun demikian, perbedaan ini sama-sama valid secara dalil, karena para ulama yang beda pendapat itu berpangku pada teks yang sama, yaitu sebuah hadis riwayat Imam Abu Daud:
فرضَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ زَكاةَ الفطرِ طُهرةً للصَّائمِ منَ اللَّغوِ والرَّفثِ وطعمةً للمساكينِ
Rasulullah SAW mewajibkan menunaikan zakat Fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dan makanan bagi orang-orang miskin (HR. Abu Daud, sahih menurut Ibnu Mulaqqin)
Imam Malik dan Imam Ahmad Bin Hanbal berpendapat bahwa hadis di atas sangatlah tegas membatasi kepada siapa zakat itu harus diberikan. Keduanya berpandangan bahwa hadis tersebut mengkhususkan (takhshis) keumuman ayat zakat.
Sebaliknya, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hadis tersebut bukan mentakhshis ayat zakat. Dua ulama ini menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW, melalui hadis tersebut, justru hendak menegaskan status keumuman ayat zakat.
Kata طعمة للمساكين (makanan bagi mereka yang miskin) itu, misalnya, hanya menunjukkan keutamaan. Dengan demikian, zakat akan lebih utama jika diberikan kepada orang miskin atau fakir ketimbang golongan yang lain.
Di sini bisa diambil kesimpulan bahwa zakat kepada kiai atau guru ngaji jelas tidak boleh menurut Imam Malik dan Imam Ahmad Bin Hanbal, kecuali mereka termasuk golongan miskin sehingga boleh menerima zakat.
Sebaliknya, jika melihat pendapat dari imam Syafi’i dan Abu Hanifah, maka masih terdapat kemungkinan untuk berzakat kepada guru ngaji atau kiai, kendatipun mereka tidak termasuk golongan miskin.
Hanya saja, ulama dari mazhab Syafi’i sendiri ternyata berbeda pendapat menyikapi tafsir “sabilillah” ini.
Sementara Imam Syafi’i menyebut jika makna “fii sabilillah” hanya terbatas pada mereka yang berjihad dengan cara berperang di jalan Allah SWT, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab Mafatihul Ghaib berpendapat bahwa bahwa kata “sabilillah” bisa diarahkan kepada seluruh hal-hal yang dianggap mengandung nilai kebaikan, seperti mengkafani mayat, bangun benteng, bangun masjid, dan lain sebagainya.
“Ketahuilah bahwa zahirnya ayat في سبيل الله tidak bisa hanya dikhususkan kepada orang-orang yg berperang di jalan Allah saja, berdasarkan pemahaman inilah imam Qoffal meriwayatkan pendapat sebagian ahli fiqh yang membolehkan memberikan zakat kepada seluruh jalan2 kebaikan seperti mengkafani mayat, membangun benteng, dan masjid. Karena lafadz Sabilillah adalab lafadz umum.” (Tafsir Ar Razi Juz 16)
Senada dengan itu, dalam catatan kaki kitab Jawahirul Bukhori terbitan Darul Fikr 2008 disebut bahwa kata “fii sabilillah” tidak hanya terbatas kepada orang-orang yang berperang.
“Sabilillah adalah orang-orang yang berperang dan berjihad dengan sukarela walaupun mereka kaya, karena untuk membantu jihad. Dan, termasuk dalam kategori Sabilillah yaitu mereka yang mencari ilmu, orang-orang yang menyampaikan kebenaran, orang yang menegakkan keadilan, serta orang-orang yang membela agama (Islam).” (Jawahirul Bukhori Syarh Al Qostholani)
Jika mengacu pada pandangan yang terakhir maka pemberian zakat kepada guru ngaji itu boleh-boleh saja, walaupun akan lebih baik dan utama bila tetap diberikan kepada orang yang fakir dan miskin.
Zakat Profesi
Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-mal al-mustafad) memang tidak terdapat di dalam literatur fikih klasik. Meski demikian, para ulama belakangan mulai menyadari pentingnya merespons dinamika zaman dengan zakat profesi sebagai salah satu pasal yang dianggap penting.
Hal itu seperti dilakukan oleh Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf al-Qaradlawi. Kedua ulama kontemporer ini telah melakukan upaya untuk memecahkan persoalan zakat profesi dengan mencari rujukan dalam literatur fikih klasik.
Intinya, zakat profesi adalah kewajiban yang melekat pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nisab (batas minimum untuk wajib zakat).
Kendati begitu, hukum zakat penghasilan sendiri tetap memunculkan perbedaan pendapat antar ulama fikih.
Mayoritas ulama mazhab-empat tidak mewajibkan zakat penghasilan, kecuali telah mencapai nisab (takaran) dan sudah sampai setahun (haul).
Hanya saja, para ulama kontemporer seperti Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Muhammad Abu Zahra, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qardlowi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili, serta hasil kajian Majma’ Fiqh dan fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib.
Status hukum wajib zakat profesi ini mengacu pada firman Allah SWT: “… ambilah olehmu zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah 9:103)
Juga, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik…” (QS. Al-Baqarah. 2:267)
Selain itu, ada pula sebuah hadis sahih riwayat Imam Tirmidzi yang menjadi landasan zakat profesi.
Rasulullah SAW bersabda: “Keluarkanlah olehmu sekalian zakat dari harta kamu sekalian.”
Selain itu, dalil wajib zakat ini juga mengacu pada sebagian sahabat Nabi Muhammad seperti Ibnu Abbas, Ibnu Masud, dan Mu’awiyah. Juga, generasi tabi’in seperti Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan pendapat Umar bin Abdul Aziz, serta beberapa ulama fikih lainnya. (Lihat, Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh)
Seorang ulama sekaligus penulis terkenal dari Mesir, Muhammad al-Ghazali dalam Al-Islam wal Audl’ Aliqtishadiya menulis begini:
“Sangat tidak logis kalau tidak mewajibkan zakat kepada kalangan profesional seperti dokter yang penghasilannya sebulan bisa melebihi penghasilan petani setahun.”
Dari sekian keterangan di atas maka zakat profesi pada dasarnya termasuk bagian yang wajib dilakukan oleh umat Muslim.
Lalu, bagaimana dengan haul dan nisab zakat profesi?
Zakat profesi bisa disetarakan dengan zakat mal. Seseorang bisa dikatakan wajib menunaikan zakat prfesi apabila penghasilannya telah mencapai nisab sebesar 85 gram emas per tahun.
Hal itu tertuang dalam SK BAZNAS Nomor 01 Tahun 2023 Tentang Nisab Zakat Pendapatan dan Jasa.
“Nisab zakat pendapatan / penghasilan pada tahun 2023 adalah senilai 85 gram emas atau setara dengan Rp 81.945.667,- (Delapan puluh satu juta Sembilan ratus empat puluh lima ribu enam ratus enam puluh tujuh rupiah) per-tahun atau Rp 6.828.806,- (Enam juta delapan ratus dua puluh delapan ribu delapan ratus enam rupiah) per-bulan,” bunyi SK BAZNAS, dikutip Islami.co.
Nah, dalam pelaksanaannya zakat profesi sebetulnya bisa dilakukan setiap bulan. Adapun nilai nisab perbulannya adalah setara dengan nilai seper-duabelas dari 85 gram emas (seperti nilai yang tertera di atas) dengan kadar 2,5%.
Jadi, apabila penghasilan setiap bulan telah melebihi nilai nisab bulanan, maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah sebesar 2,5% dari penghasilan tersebut
Sebaliknya, jika penghasilan dalam 1 bulan tidak mencapai nisab, maka hasil pendapatan selama 1 tahun itu bisa dikumpulkan atau dihitung, kemudian ditunaikan jika penghasilan bersihnya sudah mencapai nisab.
Contoh:
Ade adalah seorang karyawan swasta. Gaji perbulannya sebesar Rp. 10.000.000. Jika dikalikan 12 (bulan), maka besaran gaji Ade dalam setahun adalah sebesar Rp120.000.000.
Itu berarti penghasilan Ade termasuk yang sudah wajib zakat karena telah mencapai nisab zakat profesi dalam satu tahun, yaitu sebesar Rp 81.945.667 (jika harga emas pada hari ini senilai Rp964.066/gram).
Dengan demikian, zakat profesi atau penghasilan yang Ade wajib tunaikan adalah sebesar Rp250.000/bulan, atau Rp. 3.000.000 setahunnya.
(Rumus : 2,5% x Jumlah Penghasilan dalam Satu Bulan)
Wallahu a’lam
(AK/HF)