Dalam riwayat sejarah jawa-islam, Ki Ageng Sela dikenal sebagai salah satu ulama masyhur di tanah Jawa. Ki Ageng Sela merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga yang memiliki nama lain Kyai Ngabdurahman. Sampai hari ini, kemasyhuran Ki Ageng Sela masih diingat dan terus dibicarakan oleh masyarakat luas. Selain terkenal dengan Papali Ki Ageng Sela yang berisi petuah-petuah bijak untuk seorang muslim, Ki Ageng Sela juga dikenal karena karomahnya yang dapat menangkap petir.
Cerita Ki Ageng Sela menangkap petir bahkan melahirkan mitos kalimat “Gandrik, Aku iki putune Ki Ageng Sela” yang menyebar di sebagian masyarakat di Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Kalimat ini dijadikan semacam mantra untuk menangkal sambaran petir ketika hujan datang. Kisah ini diabadikan dalam ukiran Lawang Bledheng di Masjid Agung Demak yang masih bisa kita lihat sampai hari ini.
Kisah masyhur ini juga diceritakan dalam karya-karya sastra jawa, salah satunya dalam Serat Centhini jilid I. Diceritakan oleh Ki Pariwara, Cicit Ki Ageng Getaspandhawa di Desa Sela yang dulunya merupakan wilayah Demak dan Mataram Islam.
Ketika itu Ki Ageng Sela sedang menyamar menjadi seorang petani. Selepas menunaikan shalat ashar, Ki Ageng Sela bergegas menuju sawah untuk mencangkul sebagaimana petani pada umunya. Tak lama kemudian langit menjadi gelap dan disusul datangnya hujan rintik-rintik. Ki Ageng Sela terkejut karena melihat kilat dan disusul suara petir yang menggelegar.
“Subhanallah,” ucap Ki Ageng Sela.
Seketika, tampaklah seorang petani kakek-kakek di hadapan Ki Ageng Sela dengan posisi menukik di tanah (seperti petir menyambar). Namun, ia tidak begitu terkejut karena telah mengetahui siapa sejatinya kakek itu. Ya, kakek itu sebenarnya adalah penjelmaan dari petir yang barus saja muncul. Ki Ageng Sela langsung menangkapnya dan mengikatnya di pohon gandrik. Ditinggalkan begitu saja kakek tadi oleh Ki Ageng Sela untuk melanjutkan pekerjaannya.
Selepas semua pekerjaannya selesai, Ki Ageng Sela membawa kakek jelmaan petir tersebut menuju keraton Demak Bintoro untuk dipersembahkan kepada Sang Sultan. Syahdan, kakek tersebut dimasukkan ke dalam penjara. Tidak lama kemudian, datanglah seorang nenek-nenek membawa tempurung besi berisi air lalu memercikkan air tersebut ke arah sang kakek lalu keduanya, baik nenek dan kakek, menghilang begitu saja meninggalkan suara yang mengerikan.
Penjara besi rusak dan hancur lebur. Sejak saat itu Ki Ageng Sela terkenal digdaya. Pohon gandrik tempat mengikat penjemlaan petir masih menyala-nyala. Lalu Ki Ageng Sela memerintahkan kepada anak cucu dan pembantunya untuk mengambil api petir itu sebagai penerangan rumah karena petir akan takut.
Di Balik Kisah Ki Ageng Sela Menangkap Petir
Sekilas kisah itu hanya menyisakan warisan metafisik yang tak dapat dijangkau oleh akal kita. Bagaimana bisa petir menjelma menjadi seorang kakek-kakek di sawah dan ditangkap oleh manusia? Terlepas dari status Ki Ageng Sela sebagai kyai besar berdarah biru, mengambil pembelajaran dari kisah itu semata-mata terbatas pada kekaguman atas “karomah” atau kesaktian tidaklah cukup karena terlalu sempit.
Sebenarnya, ada pesan lain dalam cerita itu yang dapat ditelaah dalam sudut pandang sains atau melihatnya sebagai fenomena yang rasional. Hal itu dilandasi dari pemahaman bahwa cerita mengenai Ki Ageng Sela menangkap petir adalah semacam senepa atau perumpamaan yang mengandung pesan penting yang ingin disampaikan. Oleh karena itu, kita tidak bisa melihat kemampuan menangkap petir itu sebagai hal yang nyata dan benar sepenuhnya.
Berdasarkan kisah itu, setidaknya terdapat tiga pesan penting yang dapat kita gali lebih jauh berbasis rasionalitas.
Pertama, penjelmaan petir menjadi seorang kakek petani dengan posisi menukik (menyambar) di sawah. Ini merupakan sebuah pesan dari Ki Ageng Sela bahwa petir memiliki manfaat bagi para petani, utamanya dalam dunia pertanian.
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Guru Besar pada Kelompok Keahlian (KK) Teknik Ketenagalistrikan, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB Reynaldo Zoro bahwa selain dapat menghasilkan ozon untuk menutupi sinar ultraviolet, petir dapat menghasilkan nitrat yang dibawa oleh hujan dan baik untuk tumbuhan.
Selain itu riset juga membuktikan jika petir dapat secara signifikan membantu kesuburan tanah. Ketika petir menyambar, terjadi berbagai macam reaksi-reaksi kimia antara udara dengan air hujan yang sedang turun. Misalnya nitrogen dengan air sehingga saat air sampai dibumi menjadikan tanah lebih subur karena mendapat pasokan nitrogen lebih banyak berupa unsur hara. Bukan tidak mungkin jika pengelolaan petir untuk pertanian dapat dikembangkan lebih jauh lagi.
Patut pula diketahui bahwa Ki Ageng Sela juga meninggalkan berbagai macam pengetahuan pertanian tradisional kepada masyarakat Jawa. Sebagai contoh, Ki Ageng Sela mengajarkan pengukuran tanah sawah, analisis kesuburuan tanah dan kesesuaiannya dengan tumbuhan tertentu, membuat bleng air atau kolam air yang mengandung garam untuk menanam tumbuhan yang dapat digunakan sebagai pewarna batik, dan masih banyak lagi.
Kedua, percikan air dan rusak serta hancurnya penjara. Sebagaimana kita ketahui bahwa petir mengandung muatan listrik yang sangat besar. Dapat dikatakan jika listrik dan air berstatus vis a vis. Artinya, sebagaimana yang diungkapkan para ahli, bahwa air seolah menjadi musuh bagi listrik karena apabila keduanya bertemu akan menciptakan kondisi yang merugikan bagi makhluk hidup di sekitarnya. Oleh karena itu, melalui seorang nenek-nenek yang datang dengan memercikan air kepada sang kakek, Ki Agel Sela ingin menyampaikan pesan bahwa listrik dapat merugikan dan merusak bila bertemu dengan air.
Ketiga, “Ambilah api petir untuk penerangan.” Melalui perintah ini, nampaknya Ki Ageng Sela ingin menuyuruh anak cucu dan pembantunya untuk memahami lebih jauh mengenai makna api dalam petir. Jauh sebelum Ki Ageng Sela, api sudah dijadikan sebagai medium penerangan masyarakat di Jawa. Tentu saja makna api dalam petir tidaklah bermakna sama dengan api sebagaimana biasanya.
Api dalam petir lebih merujuk pada sesuatu yang terkandung dalam petir yang memiliki asosiasi dengan penerangan. Jelas bahwa maksud Ki Ageng Sela adalah mengambil atau mengelola listrik (kandungan petir) sebagai sumber penerangan masyarakat. Lebih jelasnya, ada dua hal penting dalam pesan ini. Pertama, Ki Ageng Sela ingin menyampaikan jika listrik dapat menjadi sumber penerangan masyarakat menggantikan api.
Kedua, petir memungkinkan untuk dapat dijadikan sumber energi listrik bagi penerangan atau penunjang aktivitas lain bagi masyarakat. Diskursus mengenai sumber listrik dari petir untuk kehidupan masyarakat bahkan meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Menurut para ahli, listrik dalam petir dapat digunakan untuk menyalakan bola lampu 100watt dalam waktu tiga bulan lebih. Artinya, salam sekali sambaran saja energi listrik petir dapat digunakan untuk menerangi ratusan rumah sekaligus. Energi listrik petir yang sangat besar ini berpotensi dikembangkan sebagai pembangkit listrik alternatif.
Dengan demikian, kisah Ki Ageng Sela menangkap petir memiliki makna ilmiah dan juga bersifat futuristik. Tidak berlebihan bila mengatakan jika Ki Ageng Sela, melalui kisah tersebut, mencoba mengenalkan pengetahuan ilmiah kepada masyarakat Jawa dengan cara bercerita dan ber-sanepa.
Akhirnya, Ki Ageng Sela adalah simbol sosok ulama lokal yang sangat cerdas. Bukan hanya Michael Faraday pada tahun 1821 atau Benjamin Franklin pada tahun 1750 yang memiliki pengetahuan dan menemukan listrik. Ki Ageng Sela juga menemukan listrik dan telah mengemukakan manfaatnya bagi kehidupan manusia di tanah Jawa meskipun secara implisit. (AN)