Jalan hidup seringkali aneh dan tak mampu diprediksi. Ada suatu masa di mana kita menciptakan keinginan atau membangun harapan-harapan, namun dalam suatu kondisi tertentu akhirnya menjadi terpendam dan gagal diwujudkan.
Bertahun-tahun kemudian, ketika kita sepenuhnya sudah melupakan mimpi tersebut, sebuah kelokan takdir justru tiba-tiba membawa kita berhadapan dengan harapan masa silam yang secara ajaib menjadi kenyataan di masa sekarang. Persis sebagaimana dahulu kita pernah dambakan.
Mungkin analogi di atas terlampau dramatis untuk sekadar menggambarkan situasi tercapainya keinginan lama saya yang nyaris terkubur. Keinginan menulis catatan kecil mengenai tokoh pelukis A.D. Pirous.
Kira-kira 5-6 tahun lalu saya pernah silaturahim ke kediaman sekaligus studio galeri beliau yang bernama ‘Serambi Pirous’ di Bandung. Selama kunjungan tersebut saya bersama dua kawan lainnya asik mendengarkan kisah perjalanan kesenimanan seorang A.D. Pirous.
Seketika naluri antropolog saya berbisik agar merekam sebagian perbincangan itu, sebagai bekal bahwa suatu hari nanti catatan perjalanan tersebut dapat saya tuliskan. Beruntung, sekarang harapan lama itu dapat terwujud.
Ketegangan sebagai Seniman dan Desainer
Tahun ini, Abdul Djalil Pirous genap berusia 91 tahun. Pria berdarah Aceh tersebut merupakan ayah dari Iwan Meulia Pirous, salah seorang dosen saya di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia.
Saya memperoleh kesan mendalam saat pertama kali berkunjung ke rumah A.D. Pirous. Beliau merupakan sosok hangat yang penuh kedisiplinan, detail, konseptual, dan dalam kesehariannya terus-menerus mencari titik keseimbangan dalam cara hidup dan berkesenian.
Hal mengagumkan lain yang bisa disaksikan ialah ruang studionya yang walaupun tidak begitu besar, tapi luar biasa bersih dan tertata, dengan teras lebar menghadap perbukitan. Sungguh pemandangan cantik yang menyentuh hati, sekaligus menumbuhkan semangat dan inspirasi untuk berkarya.
“Gimana Sarah, suka? Mau tinggal di sini?” seloroh Pak Pirous.
“Mau banget kalau memungkinkan, pak!” sahut saya sambil tertawa.
Pirous bercerita, lembah perbukitan yang terhampar dari serambi studio lukis Pirous kala Subuh akan menggemakan lantunan suara azan yang saling bersahutan, seiring merekahnya semburat fajar yang memerah di kejauhan. Ini adalah momen magis yang selalu dinikmati Pirous saat memulai hari barunya.
Dalam aktivitas rutinnya, Pirous terbiasa melukis di pagi hari seusai menyantap sarapan bersama keluarga. Namun, aktivitas ini pun harus dibatasi maksimal hanya 2 jam untuk menyesuaikan dengan kondisi tubuh dan stamina di usianya yang tak seprima ketika muda.
Saat proses melukis, Pirous mengakui punya kebiasaan unik. Tangan kanan menggenggam kuas, lalu tangan kiri dan kaki secara bersamaan memegang kain lap agar tiap cat yang menetes ke meja atau lantai langsung bisa dibersihkan.
Jiwa seniman dalam diri Pirous mendorong luapan kreativitas dan kebebasan ekspresi yang tak dapat dikekang saat berkarya. Lebih dari itu, jiwa desainernya mengarahkan Pirous untuk mengkalkulasi, mengontrol bentuk, serta menata konsep dan ide agar pesannya mampu terkomunikasikan kepada publik.
Benturan, atau barangkali lebih tepat disebut pertemuan, dua arus jiwa itu melahirkan ketegangan antara karakter-karakter yang kontradiktif. Ada kecenderungan saling mendominasi, tapi juga berpotensi melahirkan inovasi.
Tak mengherankan, Pirous yang tengah diamuk imajinasi saat melukis akan tetap khawatir catnya tumpah di tempat yang tidak tepat. Semacam proses kreatif yang “wild, yet clean”.
Bagi Pirous, melukis bukan semata soal kebebasan, spontanitas, dan imajinatif. Melainkan juga harus efektif, efisien, dan fungsional. Ketiga prinsip terakhir itu adalah fondasi dalam desain.
Perpaduan dua karakter sebagai seorang seniman dan desainer sekaligus dapat ditelusuri dari latar belakang Pirous yang menempuh studi awal pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lalu, pada tahun 1969-1971 Pirous memperoleh beasiswa Rockefellar untuk mempelajari studi seni dan desain grafis di The Departemen of Arts Rochester Institute of Technology, New York, Amerika. Ilmu yang sekarang bernama Desain Komunikasi Visual (DKV).
Sepulang dari Amerika, Pirous dan beberapa pengajar lain menginisiasi pendirian jurusan tersebut di ITB sebagai yang pertama di Indonesia.
Dalam praktik sehari-hari, ketegangan lain yang termanifestasikan antara menjadi seniman yang penuh spontanitas dan daya cipta harus beriringan dengan kontrol dan disiplin terhadap agenda-agenda kehidupan.
Saya belum pernah menyaksikan seniman selain A.D. Pirous yang mencatat jadwal kegiatannya begitu detail di setiap tanggal dalam kalender rumahnya. Pirous menjadikan itu sebagai arsip sejarah yang bisa dibaca ulang agar momen-momen berharga dari tiap tanggal tersebut bukan sekadar dapat menghidupkan memori, tetapi juga mampu menumbuhkan percik insipirasi dalam proses kreatif berkeseniannya.
Berkarya adalah Berguna bagi Manusia
Dalam kancah seni rupa global, A.D. Pirous dikenal sebagai tokoh pelukis kaligrafi pertama dan utama di Indonesia. Meskipun demikian, menyebut Pirous semata menggunakan kaligrafi sebagai suatu kekhasan seni adalah keliru.
Pirous pada dasarnya berupaya membangun identitas diri yang lebih luas, sebagai seorang seniman, seorang Muslim dari tanah Aceh, dan sebagai bangsa Indonesia. Perjalanan studi di Amerika Serikat membawa Pirous mengunjungi berbagai museum dan galeri seni.
Di Metropolitan Museum of Art itulah mata Pirous terbuka akan khazanah seni Islam dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, tapi belum mencakup apa yang ada di Asia Tenggara, terutama wilayah Nusantara.
Kesadaran akan identitas ini muncul karena pengalaman menyaksikan museum dan sejarah seni di Barat. Pengalaman tersebut sebagai ‘AHA moment’ yang melahirkan daya pantik di mana Pirous kemudian merekonstruksi ulang gagasan-gagasannya dalam berkarya dan menjadi seorang seniman.
Di masa awal 1960-an, karya-karya Pirous bersifat formalistik dengan abstraksi geometris yang kuat karena pengaruh tren awal seni rupa modernis. Namun memasuki tahun 1970-an, ciri khasnya mengarah ke transformasi yang lebih eksploratif terhadap khazanah budaya Indonesia, contohnya lukisan totem.
Selain itu, Pirous juga semakin serius menggali tema-tema spiritualitas Islam yang menggabungkan kekayaan hikayat tradisi dengan keindahan nuansa alam semesta dalam ornamen kaligrafi. Latar belakang tersebut membuat para pengamat dan kritikus seni seringkali mengkategorikan Pirous sebagai seniman spesialis seni Islam.
Meskipun demikian, istilah “seni Islam” sendiri secara hakikat cukuplah problematis, mengingat Islam tidak bisa dan tidak akan pernah bisa didefinisikan secara tunggal. Akan tetapi, Pirous dengan basis kultural sebagai seorang Aceh terus mendayagunakan posisinya sebagai Muslim untuk menghidupkan kembali warisan nilai dari tanah leluhurnya sebagai sumber inspirasi ilahiah.
Jika diperhatikan seksama, lukisan-lukisan Pirous hampir selalu dihiasi dengan motif atau simbol tertentu yang mengambil ilham berupa relief bebatuan alam dari bumi Aceh.
Pasca tragedi tsunami, Pirous yang juga hobi fotografi sempat pulang berziarah ke kota kelahirannya. Di sana ia memotret beberapa momen dari sisa-sisa bencana pada pola dan lapisan bebatuan, corak dan tekstur tanah, atau reruntuhan nisan tua. Hasil foto tersebut lalu disarikan secara imajinatif dan kontemplatif ke wujud ornamen karyanya.
Di awal melukis kaligrafi, Pirous tidak mau mengukung diri dengan penggunaan rangkaian huruf-huruf Arab menjadi kalimat bermakna sebagaimana karya kaligrafi pada umumnya. Pirous bermaksud membedakan diri sebagai seniman, bukan kaligrafer.
Dengan demikian, abjad atau silabel teks Arab yang ia gunakan biasanya berdiri sendiri, semata untuk kebutuhan artistik. Namun seiring waktu, Pirous mengalami kegelisahan atas banyak kritik dari khalayak seni yang berkeinginan memahami karyanya secara utuh, yakni mereka yang melihat lukisan Pirous sebagai teks yang dapat dibaca.
Di titik itulah, Pirous bergulat dalam permenungan mencari titik pijak keseimbangan baru sebagai seniman dan desainer.
Pirous menyadari jika pergeseran karya seninya dari sekadar ekspresi abstrak huruf-huruf Arab ke teks kaligrafi yang mengguratkan ayat-ayat Tuhan akan menimbulkan beban filosofis dan humanis yang lebih besar.
Sebagai seniman, Pirous akan terbatasi daya ungkap kreatifnya, namun sebagai desainer ia justru menemukan tujuan mulia dari aktivitas berkeseniannya itu. Titik tolak bahwa sebuah karya seni harus bisa berbicara kepada publik menjadi perspektif dan sikap berkesenian yang baru bagi Pirous.
Ia lalu merumuskan fungsi dari karya lukis yang diciptakan, sifat yang sesungguhnya melekat pada desain grafis, bukan seni murni. Dengan demikian, dalam eksekusi kreatif, Pirous akan merancang terlebih dahulu detail substantif apa yang ingin ia sampaikan melalui ayat-ayat al-Qur’an, baru kemudian mengolah bagaimana mengungkapkan itu lewat visual formatif estetiknya.
Kitab suci umat Muslim Pirous posisikan sebagai sumber pesan universal yang melalui kesucian dan kegunaannya telah mengejawantah dalam kehidupan konkret umat manusia.
Lukisan-lukisan Pirous menampilkan wajah semesta kecil dari semesta besar di mana kalam Tuhan terbentang di seluruh alam raya. Tinggal bagaimana pesan dalam karya lukis tersebut sanggup dibaca dan ditafsirkan oleh publik yang menikmati karya seninya.
Secara sadar maupun tidak, eksplorasi seni Islam berupa karya lukis kaligrafi yang dilakukan oleh Pirous telah menjembatani ketegangan dua jiwa sebagai seorang seniman dan desainer, sekaligus memberikan makna hidup lebih dalam bahwa dengan berkarya ia dapat menjadi berguna bagi manusia-manusia lain dengan cara menyampaikan pesan Ilahiah dari al-Qur’an dan hadis.
Sebagaimana hadis nabi yang tersirat dalam lukisan di atas berbunyi khairukum anfauhum linnas, goresan kuas Pirous seolah menegaskan kembali pesan, “sebaik-baiknya kalian adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”