Orang yang beriman tentu meyakini bahwa segala ketetapan Allah dalam hidupnya adalah yang terbaik baginya. Kadang ketetapan itu menyenangkan, kadang pula menyedihkan. Misalnya, dari segi ekonomi, ada yang ditakdirkan menjadi orang kaya, ada yang ditakdirkan menjadi orang miskin.
Menjadi kaya atau miskin merupakan cobaan dari Sang Pemilik Kehidupan. Si kaya diuji, apakah ia mampu mensyukuri kekayaan yang dimiliki? Si miskin diuji, apakah ia mampu bersabar atas kemiskinan yang dihadapi? Di antara orang kaya, ada yang memiliki kemampuan untuk mensyukuri kekayaan yang dimilikinya. Demikian pula orang miskin, di antara mereka ada yang memiliki kemampuan untuk bersabar atas kemiskinan yang diderita.
Lalu, mana yang lebih baik, si kaya yang bersyukur atau si miskin yang bersabar?
Kaya dan Miskin
Kaya dan miskin, bagi Ibnu Taimiyyah, merupakan nasib yang dihadapi oleh seseorang, yang terkadang didapatkan karena sudah takdir, dan terkadang karena usaha (perbuatan) sendiri. Sebagaimana sehat dan sakit, orang bisa sehat karena ditakdirkan sehat atau bisa juga karena usahanya dalam menjaga kesehatan, dan begitu sebaliknya orang sakit.
Menjadi kaya tidak selalu merupakan sebuah keberuntungan. Sebaliknya, menjadi miskin juga tidak selalu merupakan sebuah kemalangan. Kekayaan bisa menjadi sebuah keberuntungan jika itu mampu membuat pemiliknya lebih bersyukur. Sebaliknya, kekayaan bisa menjadi sebuah malapetaka jika itu membuat pemiliknya terjatuh dalam jurang kesombongan.
Demikian pula menjadi miskin, itu tidak selalu merupakan sebuah kemalangan. Kemiskinan akan menjadi sebuah kemalangan ketika menimbulkan rasa dengki di dalam hati si miskin, atau yang paling parah adalah mengutuk takdir. Kemiskinan justru bisa menjadi sebuah keberuntungan tatkala itu membuat si miskin terhindar dari kesombongan, dan ia memperoleh pahala besar atas kesabarannya dalam menghadapi kemiskinan.
Karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu Taimiyyah dalam Fiqh at-Tashawwuf mengatakan bahwa terkadang menjadi kaya itu lebih baik bagi seseorang, dan terkadang justru menjadi miskin itu lebih baik baginya. Artinya, ketika seseorang menjadi kaya, bisa jadi Allah sedang menyelamatkannya dari suatu keburukan jika ia miskin. Sebaliknya, ketika seseorang menjadi miskin, bisa jadi Allah sedang menyelamatkannya dari suatu keburukan jika ia kaya.
Hal ini sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah dari Anas bin Malik berikut.
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, meriwayatkan dari Allah SWT: Sesungguhnya ada sebagian dari hamba-Ku yang tidak menjadi baik kecuali dengan kekayaan. Dan jika Aku membuatnya miskin, maka kemiskinan itu akan merusaknnya. Sebaliknya, ada sebagian hamba-Ku yang tidak menjadi baik kecuali dengan kemiskinan. Dan jika Aku membuatnya kaya, maka kekayaan itu akan merusaknya.”
Mana yang Lebih Baik?
Kembali ke pertanyaan awal, mana yang lebih baik antara si kaya yang bersyukur atau si miskin yang bersabar? Menurut Ibnu Taimiyyah, ada pendapat yang menganggap orang kaya yang bersyukur itu lebih baik, dan pendapat lain menganggap orang miskin yang bersabar itu lebih baik.
Pendapat yang menganggap orang kaya yang bersyukur itu lebih baik biasanya dipopulerkan oleh Abu al-Abbas ibn ‘Atha al-Adami. Sedangkan, pendapat yang menganggap orang miskin yang bersabar itu lebih baik biasanya dipopulerkan oleh kalangan sufi dan orang-orang miskin.
Di samping dua pendapat yang saling berhadapan itu, ada pendapat lain yang menurut Ibnu Taimiyyah lebih tepat. Dalam pendapat itu dikatakan bahwa yang lebih baik itu bukan orang kaya atau orang miskin, melainkan orang yang lebih baik di antara keduanya adalah mereka yang lebih bertakwa. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.s. Al-Hujurat [49] ayat 13, inna akramakum ‘inda Allahi atqakum, sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah ia yang paling bertakwa.
Memang ada hadis yang menyebutkan bahwa orang miskin masuk surga 50 tahun lebih dulu daripada orang kaya. Namun, menurut Ibnu Taimiyyah, hal itu disebabkan ringannya hisab mereka lantaran sedikitnya hartanya. Akan tetapi, cepat atau tidaknya hisab seseorang itu juga ditentukan dengan ketakwaannya. Dengan kata lain, hisab juga tergantung seberapa banyak amal kebaikan yang dikerjakan.
Jika si kaya itu bertakwa, bersyukur, dan melakukan banyak kebaikan dengan kekayaannya, maka bisa jadi ia lebih baik dari si miskin. Sebaliknya, jika si miskin itu bertakwa, bersabar atas kemiskinan yang dihadapi, dan tetap berusaha berbuat kebaikan dengan segala keterbatas yang dimiliki, maka bisa jadi ia lebih baik dari si kaya. Wallahu a’lam.