Cendekiawan muslim Indonesia, Dr. Haidar Bagir, menyampaikan bahwa Generasi Z (Gen Z) membutuhkan agama yang lebih inklusif. Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam seminar yang bertajuk “Pengalaman Religius dan Tantangan Zaman” yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sadra Jakarta pada Selasa (21/2).
Seminar yang diselenggarakan di Auditorium Al-Mustafa STAI Sadra tersebut menghadirkan dua narasumber. Selain Haidar Bagir, satu pembicara lainnya adalah Dr. Kholid Al Walid, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Gen Z dan Kekeringan Spiritual
Haidar Bagir memulai pemaparannya dengan menjelaskan pengertian Tuhan, pengertian agama, serta maksud dari istilah pengalaman religius. Ini merupakan sebuah pengantar menuju persoalan yang ingin dibicarakannya, yakni cara anak muda memandang agama.
Menurut Direktur Utama Kelompok Mizan itu, pendefinisian agama yang kental akan institusi dan idelogi mungkin bisa diterima oleh generasi sebelumnya. Namun, ia menyadari bahwa pemaknaan terhadap agama yang seperti itu menjadi kurang menarik bagi anak muda kekinian, terutama bagi Gen Z. Pemaknaan yang seperti ini membuat agama menjadi begitu eksklusif karena sifatnya yang kekelompokan.
Bagi Haidar, anak muda hari ini hidup dengan kompleksitas dan keberagaman identitas. Apalagi internet membuat seseorang melihat dunia yang luas lepas dari lingkungan di sekitarnya dan dapat menjangkau hal-hal yang bahkan tak disangkanya.
Oleh sebab itu, anak muda mudah merangkul perbedaan dalam circle (lingkaran) pergaulannya, baik itu di dunia virtual maupun di dunia aslinya. Mereka bebas berteman dengan siapapun yang mereka inginkan, terlepas dari gender, ras, maupun agama. Tak jarang pula anak muda dapat menikmati humor yang berkaitan dengan agama.
Di sisi lain, wajah agama yang konservatif kian muncul memenuhi linimasa. Apalagi doktrin agama sering menyebutkan jika Tuhan dan agama begitu menyeramkan dengan ancaman dan hukuman. Bukannya merasa terwakili dengan kelompok itu, anak muda justru menganggap jika konservatisme yang bahkan menyebabkan tindakan intoleransi justru membuat mereka jenuh dengan agama, bahkan dengan agamanya sendiri.
Efeknya, anak muda mencari pelarian. Di satu sisi, mereka tetap memegang akidah agamanya. Namun di sisi lain, mereka penasaran dengan bentuk spiritualitas yang lebih inklusif dan membebaskan. Bagi mereka, opsi yang tersedia ialah spiritualitas timur, baik itu dari Hindu, Buddha, ataupun Taoisme.
Haidar Bagir menemukan adanya anak muda yang mengaku jika dirinya adalah seorang Islam-Hindu, Islam-Buddha, dan semacamnya. Secara akidah mereka seorang muslim namun mereka tak segan mempraktekkan ajaran spiritualitas timur, seperti yoga.
Perlu di sini saya sampaikan bahwa bentuk spiritualitas dari tradisi lain juga mendapatkan perhatian dari anak-anak muda, seperti Stoa. Didasarkan pada ajaran kebijaksanaan dari Yunani Kuno, anak muda hari ini kerap menjalankan laku hidup stoikisme. Bahkan, tak sedikit pula yang mengklaim bahwa dirinya merupakan seorang Stoic. Pertanyaannya, apakah Islam tak memiliki bentuk spiritualitas yang semacam itu?
Spiritualitas Islam Sebagai Basis Agama yang Inklusif
Sebagai seorang yang tekun di bidang tasawuf dan mistisisme secara umum, Haidar Bagir menyatakan jika pengalaman religius, pengalaman mistik, atau secara lebih luas disebut dengan pengalaman spiritual dapat ditemukan di dalam berbagai tradisi dan agama.
Menurut Haidar, pengalaman spiritual tidaklah dibatasi pada agama tertentu, apalagi semakin dikecilkan hanya didasari pada jenis ajaran tertentu. Fenomena ini dapat dirasakan oleh setiap individu, bahkan oleh seorang ateis dengan munculnya fenomena spiritualitas tanpa agama. Individu dapat merasakan pengalaman yang luar biasa, seperti menyadari adanya kebersatuan dirinya dengan alam semesta atau realitas.
Melihat fenomena banyaknya anak muda yang memilih bentuk spiritualitas timur, Haidar Bagir menyampaikan jika bentuk spiritualitas seperti itu ditemukan dalam Islam, tepatnya dalam tasawuf.
Dalam ajaran Tasawuf, pemaknaan akan Tuhan, agama, dan pengalaman religius begitu luas bahkan tak terbatas. Definisi yang eksklusif akan ketiga hal itu malah membuat anak muda dibatasi karena menguatkan individualitas dan kekelompokan. Sebaliknya, spiritualitas yang membebaskan justru lebih sesuai dengan cara berpikir anak muda hari ini.
Tasawuf sendiri merupakan ajaran yang dapat merangkul berbagai kelompok, mazhab, hingga agama. Sehingga, menurut Haidar, dengan spiritualitas Islam ini, anak muda bisa menjaga akidahnya sekaligus menerapkan nilai-nilai agama yang inklusif dan sesuai dengan gaya hidupnya.
Lebih dari itu, Haidar Bagir juga menekankan bahwa amal saleh yang bersifat sosial juga diutamakan untuk dikerjakan. Dengan begitu, agama tak lagi eksklusif hanya untuk kalangan elit yang menjaga ibadah personalnya. Agama juga terbuka bagi semua orang terutama bagi anak muda yang hidup dalam keberagaman. [NH]