Sebelum melangkah ke dalam pembahasan terkait penulisan sejarah Islam, alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengetahui definisi sejarah itu sendiri. Ibnu Khaldun di dalam kitab Mukaddimahnya memberi dua definisi untuk sejarah (tarikh), yang terdiri atas definisi eksternal dan internal.
Menurut Ibnu Khaldun, Secara eksternal (umum), sejarah didefinisikan sebagai “kisah tentang hari-hari yang telah berlalu atau kisah tentang suatu negeri-negeri terdahulu.” Apapun yang terjadi di masa lalu, serta masih diperbincangkan atau dijadikan sebagai pedoman untuk masa kini, hal itu termasuk ke dalam definisi eksternal ini.
Sedangkan, secara internal (khusus), sejarah didefinisikan sebagai upaya pencarian, pengamatan, dan penelitian tentang sebab akibat dari segala sesuatu yang mencakup seluruh makhluk hidup dari awal mula mereka diciptakan. Sehingga dapat diketahui secara seksama kejadian yang sebenarnya dan segala sesuatu yang menjadi penyebabnya.
Sejarah menjadi kajian khusus serta menarik untuk selalu dibahas di dalam khazanah keilmuan Islam. Orang-orang yang senang mempelajari sejarah, biasanya akan menemukan kepuasan batin atas kegemarannya mencari pengetahuan. Mereka juga menjadikan pengalaman orang lain sebagai pelajaran hidup dan obyek perenungan.
Manusia yang cerdas adalah manusia yang bisa mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang menimpa orang lain. Dan manusia yang berpengalaman adalah manusia yang dapat melampaui malapetaka yang dijatuhkan kepada orang lain.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat muslim telah memberikan perhatian lebih mengenai sejarah. Sebagaimana yang diketahui bahwa salah satu kandungan Al-Quran adalah kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu. Perlunya Al-Quran dengan detail menceritakan keadaan serta akibat yang mereka rasakan, tidak lain agar bisa diambil hikmah untuk dijadikan pelajaran hidup.
Allah SWT berfirman “Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunya akal.” (Q.S. Yusuf: 111).
Al-Quran juga memberikan perhatiannya terkait perubahan kondisi alam semesta. Sehingga mampu mendorong umat muslim supaya merenungi setiap perubahan yang terjadi dan membuka tabir garis sunnatullah. Allah SWT berfirman, “Dan (penduduk) negeri itu telah kami binasakan ketika mereka berbuat dzalim.” (Q.S. Al-Kahfi: 59). “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (Q.S. Al-Imran: 140).
Penulisan sejarah Islam telah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab. Waktu itu Umar membentuk panitia untuk mencatat dan mengabadikan nama-nama para mujahid berdasarkan kabilah maupun keturunan. Peristiwa ini telah melahirkan ahli nasab yang mampu mendata hampir seluruh kabilah di Negeri Arab. Selanjutnya, data-data tersebut dengan sendirinya menjadi salah satu bagian dari ilmu sejarah itu sendiri. Sebelumnya, ketika Abu Bakar menjadi khalifah, nasab-nasab itu hanya dihafal oleh dirinya sendiri.
Para pemimpin Islam setelah masa Khulafaur Rasyidin berupaya menghimpun dan mencatat seluruh peperangan yang pernah terjadi. Selain itu, juga ada upaya pencatatan perjalanan hidup para raja dan khalifah dengan cara mendorong para ahli nasab dan ahli sejarah untuk membukukan semua pengetahuan mereka.
Di antara para pemimpin Islam yang memperhatikan ilmu sejarah adalah Muawiyah. Beliau memanggil Ubaid bin Syaryah dari Shana untuk dijadikan narasumber tentang kisah para raja Arab maupun luar Arab. Lalu memerintahkan para ajudannya untuk menuliskan kisah-kisah yang dituturkan oleh Ubaid itu pada setiap sore hari.
Penulisan sejarah Islam memiliki akar yang kuat dalam perjalanan peradaban Islam. Keterkaitan penulisan sejarah dengan ilmu kritik hadis (naqd al-hadis) yang di dalamnya terdapat pembahasan khusus menganai kajian sanad, sangatlah menarik untuk dibahas. Sebab tidak hanya ilmu hadis, ilmu fiqih atau ilmu tauhid yang ditempuh melalui periwayatan sanad. Ilmu sejarah atau penulis sejarah juga membutuhkan hal ini.
Kaidah ilmu hadis memang tidak mudah untuk diterapkan dalam menyeleksi sumber sejarah Islam. Akan tetapi, penulisan sejarah Islam dengan menggunakan ilmu kritik hadis bukan berarti tidak dapat diupayakan. Ketika sudah dilakukan pemeriksaan terhadap suatu sejarah, lalu di sana terdapat riwayat yang tidak memenuhi syarat shahih, maka tidak secara otomatis harus dihilangkan sama sekali untuk dijadikan sumber sejarah.
Pasalnya, periwayatan yang menggunakan sanad meski tidak shahih, menurut ilmu sejarah itu sendiri diangggap lebih baik, daripada kisah yang tidak menggunakan sanad. Karena, dengan menggunakan sanad, sebuah kisah dapat diketahui asalnya, serta dapat lebih mudah dinilai dengan sebuah analisis atau verifikasi.
Selain itu untuk menanggapi permasalahan di atas, kita dapat menggunakan salah satu kaidah ilmu hadis bahwa hadis dhoif tidak boleh digunakan sebagai landasan hukum syariat dan permasalahan akidah, seperti halnya sifat-sifat Allah SWT. Tetapi hadis dhoif dapat digunakan untuk fadloilul amal dan kisah.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan pembahasan mengenai akidah dan syariat agama. Keduanya harus berdasarkan riwayat yang shahih. Hadis-hadis yang telah memenuhi syarat shahih akan dianggap lolos dan diterima oleh ahli hadis untuk permasalahan akidah dan syariat agama Islam.
Memang para ahli hadis sangat ketat dalam menentukan syarat shahih tersebut. Mereka telah menyelidiki secara mendalam para periwayatnya, serta memperhatikan perjalanan sebuah riwayat dan cara mendapatkannya. Lalu, apabila ada suatu riwayat sejarah sudah setingkat dengan kaidah ahli hadis, maka riwayat tersebut dapat diterima secara unggul dan utama.
Ibnu Khaldun pernah mengatakan bahwa ilmu sejarah mengharuskan seseorang untuk memiliki sejumlah referensi dan pengetahuan yang luas. Para ahli sejarah harus baik dalam menelaah dan membuktikan. Karena keduanya akan mengarahkan orang tersebut pada kebenaran dan menghindarkannya dari kesalahan dan kekeliruan.
Menurut Ibnu Khaldun, sebagian kesalahan besar yang dilakukan oleh ahli sejarah, ahli tafsir, atau ahli riwayat adalah ketika mengutip cerita dan kejadian masa lalu yang sering kali terlalu bersandar pada riwayat tersebut, mereka hanya mengutipnya saja. Tujuannya agar riwayatnya menjadi lebih banyak dan bukunya telihat tebal.
Mereka tidak menyaring riwayat-riwayat itu berdasarkan kaidah yang jelas, serta tidak membandingkan dengan riwayat lain, tidak menilainya dengan penuh kebijaksanaan, dan membiarkan begitu saja para pembaca untuk menilai riwayat-riwayat tersebut. [NH]
Wallahu’alam bishowab