Tidak sedikit berita dan riset yang menyebutkan bahwa banyak anak-anak muda di Indonesia memiliki kecenderungan intoleran dan bahkan radikal. Benarkah demikian?
Menyoal isu ini, saya merangkum setidaknya 12 riset yang membahas keberagamaan anak-anak muda dan bagaimana mereka menanggapi keberagaman.
Saya menemukan banyak informasi menarik sekaligus pelik (aneh, rumit, tidak biasa) mengenai klaim tingkat intoleransi di kalangan anak muda yang disebut cukup tinggi ini.
Sejauh yang saya ketahui, riset paling awal (dan paling banyak dikutip) mengenai cara beragama anak-anak muda di Indonesia dilakukan tahun 2010-2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) dan Maarif Institute.
Temuan riset ini menyebutkan bahwa anak muda memiliki pemahaman agama yang cukup keras karena hampir 50% siswa SMA di daerah Jakarta dan sekitarnya yang menjadi responden mereka mendukung penggunaan cara-cara ‘garis keras’ dalam menangani konflik agama.
LaKIP dan Maarif Institute juga menyoroti bagaimana paham radikal memengaruhi anak-anak muda melalui institusi pendidikan (kampus dan sekolah).
Bergser ke tahun 2016, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menguatkan temuan LaKIP dengan menyebutkan bahwa anak muda di indonesia memang semakin intoleran. Menurut LIPI, kelompok garis keras bukan hanya masuk ke dalam institusi pendidikan, tetapi mulai mengambil ‘kontrol’ di kampus-kampus negeri ternama di Indonesia.
Selanjutnya, pada tahun 2017 Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta dan Wahid Institute lagi-lagi juga menemukan simpulan yang hampir sama. Dalam riset ini diketahui 43.88% anak SMA yang menjadi responden survei cenderung mendukung intoleransi, 6.56% di antaranya bahkan mendukung radikalisme keagamaan.
Lagi dan lagi, tahun 2018 CONVEY menemukan bahwa 51.1% anak-anak muda responden mereka juga cenderung intoleran, dan 58.5% cenderung radikal (hampir 10x lebih besar dibandingkan temuan PPIM).
Di tahun yang sama, Alvara Research Center merilis temuan yang lebih mengejutkan. Dalam survei yang mereka lakukan terhadap 4.200 mahasiswa dan anak SMA, disebutkan bahwa 25% responden siap untuk berjihad (perang bersenjata) dan menegakkan khilafah.
Dari 12 riset yang saya rangkum, hanya ada dua riset yang melihat anak muda sebenarnya toleran. Pertama, dilakukan oleh INFID melalui riset berjudul “Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Millenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebhinekaan, dan Kebebasan Beragama (2021)”.
Kedua, oleh IDN Research Media melalui laporan tahunan mereka mengenai “Indonesia Gen Z dan Milennial report 2022”. Dalam riset-riset ini disebutkan bahwa mayoritas anak muda di Indonesia memiliki toleransi yang tinggi, mendukung pembangunan tempat ibadah untuk minoritas, dan menyetujui bahwa apa pun agama yang dimiliki seseorang, mereka berhak memiliki hak yang sama.
Mendudukkan Intoleransi Pada Anak Muda
Toleransi menurut KBBI didefinisikan sebagai sifat atau sikap yang menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Sebaliknya, intoleransi adalah bentuk kontras dari toleransi, yaitu sifat atau sikap yang menentang (menghalangi, atau mengganggu orang lain) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Dalam riset-riset mengenai tingkat intoleransi anak muda, tidak banyak dibahas mengenai sifat/sikap/perilaku apa sebenarnya yang membuat anak muda terbilang intoleran. Apakah mereka merundung, menolak untuk bergaul, dan mengisolasi kelompok yang berbeda? Atau jangan-jangan ‘sekadar’ tidak mengucapkan selamat pada hari keagamaan kelompok yang berbeda?
Label intoleran—apalagi radikal—adalah label yang buruk dan menghasilkan banyak stigma. Ketika label tersebut dilekatkan pada anak-anak muda, terkesan bahwa mereka memusuhi, membenci, dan tidak ingin hidup berdampingan kelompok yang berbeda agama.
“Musuh”, apalagi “Benci” adalah ekspresi ketidaksukaan yang sangat kuat. Sesuatu yang saya yakini tidak merepresentasikan hubungan yang dimiliki anak-anak muda di Indonesia meskipun mereka memiliki perbedaan agama.
Membela Anak-Anak Muda
Di sini terdapat tiga hal yang laik untuk diperdebatkan terkait kesimpulan yang mendudukan anak muda dengan kecenderungan intoleransi di Indonesia.
Pertama, penggunaan metode survei yang dilakukan untuk mencari data. Tanpa bermaksud untuk menggugurkan temuan yang didapatkan dalam riset-riset terdahulu, saya pikir penggunaan survei sebagai metode untuk mengukur tingkat intoleransi pada anak-anak muda saat ini perlu diragukan untuk mendapatkan kesimpulan yang valid.
Selain karena pernyataan sikap yang diukur dengan angka sulit menjadi cerminan nyata perasaan responden, pertanyaan survei yang sifatnya close-ended juga sering kali berisi pertanyaan-pertanyaan yang bias, penuh kepentingan, dan tidak fair.
Dan, yang paling tricky dari survei tersebut adalah pengisian survei yang tidak dapat dipastikan dilakukan secara serius (sering kali orang malas mengisi survei), jika orang mengisi survei dengan jawaban yang asal, maka kesimpulan yang ditarik dari survei tersebut dapat menjadi kacau/tidak representatif.
Kedua, berbagai penjelasan yang diberikan terkait alasan mengapa anak muda menjadi intoleran biasanya menyangkut hal-hal struktural, atau bahkan kultural. Misalnya adalah menguatnya ajaran Islam konservatif di lingkungan kampus dan sekolah, serta faktor pengajaran yang diberikan oleh guru dan orang tua.
Jika demikian maka yang perlu menjadi catatan dan evaluasi mestinya adalah orang dewasa (guru dan orang tua), alih-alih anak-anak muda yang hanya mewarisi sifat dan sikap ekskulsif terhadap kelompok keagamaan lain.
Orang-orang dewasa itulah yang seharusnya mendapatkan label intoleran dan mereka juga yang seharusnya segera mendapatkan intervensi agar tidak lagi menyebarkan pengaruh buruk terhadap generasi yang lebih muda.
Ketiga, argumen paling penting yang saya ajukan adalah, mengapa dalam setiap survei terkait tingkat intoleransi anak-anak muda, agama—yang jelas sangat prinsipil, zero sum—selalu ditonjolkan sebagai identitas tunggal anak-anak muda tersebut?
Atau, kenapa dalam riset-riset tersebut tidak ada upaya untuk menginterogasi identitas lain yang dimiliki anak muda? Identitas yang sebenarnya adalah titik temu antara mereka dengan kelompok yang berbeda agama/keyakinan.
Ketika agama menjadi identitas tunggal, perbedaan dihukumi sebagai sebuah kesalahan. Akhirnya, yang terlihat adalah (orang-orang yang berbeda ini) seolah-olah bermusuhan, seperti “tidak bisa didamaikan”, seperti mustahil untuk dapat hidup berdampingan.
Padahal, manusia adalah entitas yang multi identitas. Manusia menjadi makhluk yang unik karena masing-masing dari mereka memiliki beragam identitas/afiliasi/keanggotaan dalam suatu komunitas secara simultan.
Keragaman identitas yang dimiliki manusia itulah yang pada gilirannya menciptakan kesadaran bahwa tidak ada satu orang pun yang persis sama, tetapi juga tidak akan ada yang sepenuhnya berbeda.
Dalam pengertian ini, identitas manusia pada dasarnya tidaklah monolitik. Maka ketika membahas isu (in)toleransi, asumsi dasar yang mendudukkan anak muda dengan identitas tunggal—apalagi menyeragamkan bahwa identitas tertentu adalah identitas utama yang mereka punya—menjadi tidak relevan.
Saya pikir, generalisasi identitas keagamaan sebagai identitas tunggal itulah yang kerap bermasalah ketika dihadapkan dengan dinamika anak muda yang justru memiliki ragam preferensi kultural dan selera di tengah dunia yang semakin terkoneksi seperti hari ini.