Sebagai kata-kata, “kemanusiaan” sungguh tampak adiluhung. Sebuah quote yang dianggap sebagai pernyataan Gus Dur, misalnya, berbunyi “di atas politik adalah kemanusian”. Ada juga adagium berbunyi “humanity (is) above religion”.
Namun demikian, kemanusiaan—sebagai sebuah gagasan, konsep, atau ideologi—ternyata tidak seindah yang saya bayangkan ketika SD merapal sila kedua Pancasila saban upacara bendera. Ya, butuh lebih dari dua dekade hingga saya menyadari hal ini, utamanya setelah membaca-temukan buku F. Budi Hardiman berjudul Humanisme.
Di tempat asalnya, gagasan tentang “kemanusiaan” pernah berada di fase ketika para mujahidnya justru menganggap agama sebagai sosok antagonis. Tentu saja, hal ini dapat dijelaskan. Salah satunya adalah dengan memahami konteks historis ketika orang Eropa baru saja mentas dari rasa traumatik keruhnya peradaban yang berlangsung lebih dari sepuluh abad.
Di masa itu institusi keagamaan, dalam hal ini adalah gereja dan segenap otoritas penjaganya, menjadi pihak yang paling dominan. Sedemikian kuatnya kontrol agama terhadap segala lini kehidupan, manusia dan kemanusian kini terpasung oleh obsesi kerumunan “saleh” yang sibuk melakukan teror politis atasnama Allah.
Barangkali di sini kita bisa membayangkan sejenak tentang kegilaan rezim Taliban yang menggilas hak-hak perempuan di ruang publik atasnama agama. Atau tentang Mahsa Amini di Iran yang meregang nyawa di bawah aliansi horor antara negara dan agama.
Baik rezim Taliban di Afghanistan maupun muasal kasus Mahsa Amini di Iran bukan saja ditopang oleh monopoli tafsir kebenaran atasnama Tuhan, tetapi juga segera mendapat respon kritis dari warga dunia.
Situasi ini agaknya berbeda dengan Abad Pertengahan Eropa yang jauh lebih gulita, utamanya dalam hal aksesbilitas. Kendatipun institusi agama sama-sama hegemonis di dalam kehidupan publik, Abad Pertengahan Eropa rupanya tidak memungkinkan penyelenggaraan respon kritis secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Maka cengkraman institusi agama pun semakin menghujam, sublim, dan sistematis.
Alih-alih melahirkan ketakwaan terhadap Tuhan, respons yang terjadi justru sangat radikal sehingga berkembanglah apa yang Hardiman sebut sebagai “humanisme ateistis”. Di masa ini ateisme dipandang sebagai gerakan emansipasi yang membebasakan orang dari sengkarut dogmatisme agama.
Salah satu tokoh paling terkemuka di antara barisan mujahid humanisme yang pada gilirannya memandang sinis keagamaan adalah Nietzsche. Mula-mula ia merupakan seorang pengiman Kristus yang sempat dinobatkan menjadi calon Pendeta, meneruskan tradisi keluarga besarnya.
Tapi di luar dugaan, Nietzsche belakangan memilih untuk putar-balik dan bahkan menjadi musuh nomor wahid kekristenan. Gerangannya adalah pikiran nakal Nietzsche yang hendak “membunuh” (gambaran) Tuhan (the image of God).
Untuk menghindari kesalahpahaman, kiranya di sini perlu dijelaskan. Asumsi dasarnya adalah terdapat dua Tuhan. Yang pertama adalah Tuhan pencipta alam semesta dan segala hal yang terhimpun di dalamnya. Yang kedua adalah “tuhan” ciptaan manusia dan karena itu ia merupakan gambaran (tentang) tuhan.
Melalui kerangka nubuat “der Wille zur Macht”, atau “The Will to Power”, atau “Kehendak untuk Berkuasa”, Nietzsche berupaya untuk membebaskan manusia, terutama dirinya, dari agama yang dianggap telah menyekat kodrat-kodrat dan kreativitas pikiran manusia dengan “gambaran tuhan” sebagai tolak ukur rezim kebenaran.
Yang menarik, laju peradaban dengan manusia-manusia tanpa (gambaran) Tuhan itu justru memacu pertumbuhan ilmu pengetahuan modern yang di dalam dirinya bersemayam fakultas sosial-humaniora, sains, dan tentu saja teknologi. Dalam pengertian ini, yang hendak dimatikan oleh Nietzsche pada dasarnya adalah berhala-berhala pikiran yang menghasilkan “gambaran tuhan”, alih-alih Tuhan itu sendiri.
Barangkali, ilustrasi mudahnya adalah film PK. Di babak akhir film produksi Amir Khan itu ada dialog yang sangat relevan dengan maksud Nietzsche.
“Kupikir ada dua tuhan. Yang pertama adalah Tuhan pencipta kita semua. Yang kedua adalah tuhan yang kita ciptakan. Kita sebaiknya beriman pada yang pertama, sedangkan pada yang kedua, musnahkanlah!!”
Demikianlah seorang agamawan korup justru diceramahi oleh alien yang secara kritis menggugat kengerian the image of God.
Selain Nietzsche, mereka yang juga cukup getol membenamkan aspek kebertuhanan dari kesadaran manusia adalah Kant, Feurbach, Sartre, dan sebagainya yang, kalau disebut satu per satu namanya, niscaya sangat tidak ramah dengan lidah masyarakat Indonesia. Ini sekaligus menjelaskan bahwa wacana kemanusiaan atau humanisme yang kita kenal hari ini sangatlah bias Barat.
Termasuk dalam hal ini adalah diskursus antroposentris yang berpusat pada otonomi kehendak manusia. Jauh sebelum Nietzsche lahir, Ma’bad al-Juhani bahkan telah mengkampanyekan gagasan tentang free will yang menegasi keterlibatan Tuhan dalam kehidupan manusia.
Rupanya, biang kerok dari itu semua adalah kolonialisme. Penjajahan bangsa Eropa, salah satunya, turut dimotivasi oleh gagasan humanisme. Selain didorong oleh motif ekonomi-politik tentu saja, para penjajah ternyata juga berniat melakukan pemeradaban bangsa lain di luar Eropa.
Pada gilirannya, apa yang disebut manusia adalah terbatas pada mereka yang seiman, berkulit putih, aristokrat, makan dengan tangan kiri, dan sebagainya yang dianggap sesuai dengan standar rezim kebudayaan Barat. Hardiman menyebut “kemanusiaan” jenis ini sebagai “humanisme eksklusif” yang justru menyingkirkan manusia konkret dengan segala keragaman kultural, ras, gender, maupun kelas-kelasnya.
Puncak dari “humanisme eksklusif” itu mengejawantah dalam tragedi kemanusiaan seperti Auschwitz, Hiroshima, Killing Fields, Sebrenica, dan puluhan tempat pembunuhan masal lainnya di abad ke-20.
Pertanyaannya, kemanusiaan seperti apa yang sesungguhnya layak dibela jika pada akhirnya humanisme itu sendiri memiliki dampak destruktif?
Sebuah sub-bab khusus ditulis oleh Hardiman di bagian paling pamungkas untuk menengahi dua kutub ekstrem antara humanisme ateistis dan humanisme eksklusif. Namanya adalah “humanisme lentur” yang membuka diri terhadap kemungkinan adanya kebenaran agama, tetapi juga tidak berpegang pada kebenaran kaku filsafat (antroposentrisme).
Pendeknya, “humanisme lentur” adalah bingkai pengetahuan yang menginsyafi bahwa Tuhan bukanlah objek yang dapat ditemukan di bawah mikroskop penelitian empiris sebagaimana lazim dilakukan para pemuja (kepongahan) nalar di Abad Pencerahan Eropa. Upaya untuk menggambar-objektifkan Tuhan justru akan mereduksi Ke-Maha-Besaran-Nya.
Terhadap aspek kebertuhanan, seorang humanis hanya perlu menggunakan nalar untuk membuka diri terhadap sesuatu yang melampaui dunia ini tanpa harus menyangkal keberartian aspek duniawi dari seorang manusia.
Itulah kenapa doa sapu jagad dalam tradisi teologi Islam berbunyi “Rabbana aatina fid-dunya hasanah wa fil akhirati Hasanah.” Jadi, hal-hal duniawi itu sungguh teramat penting dan, barangkali, untuk alasan itulah ia mendahului kata “akhirat” yang tentu tak kalah penting.
Intinya adalah proporsionalitas. Perlu diinsyafi bahwa khazanah pengalaman keimanan terhadap Tuhan tidak dapat seluruhnya dirasionalisasi dan disekularisasi. Membela kemanusiaan kini tidak dapat dilakukan dengan menihilkan agama. Mahatma Gandhi adalah contoh yang menjelaskan bagaimana perjuangan membela kemanusiaan justru berangkat dari palung terdalam keyakinan religius.
Sebaliknya, pengalaman kebertuhanan juga tidak selayaknya menghempaskan potensi besar dari nalar manusia. Ayat pertama dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW menegaskan hal itu. Dan, hanya dengan iqra-lah nalar kritis manusia bisa mengenali penyalahgunaan agama untuk kepentingan kekuasaan segelintir orang.
Data Buku
Judul : Humanisme dan Sesudahnya, Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : KPG
Tahun Terbit : 2020 (Cetakan Kedua)