Merusak lingkungan hukumnya haram menurut mayoritas ulama. Tidak ada perdebatan ulama tentang masalah ini. Alasan pengharamannya pun juga mendapat banyak dukungan dari sumber hukum Islam: al-Qur’an, hadis, fikih, dan fatwa ulama. Di Indonesia sendiri, fatwa tentang larangan merusak lingkungan sangatlah banyak, baik yang dikeluarkan lembaga fatwa ataupun personal.
Majelis Ulama Indonesia, salah satu lembaga fatwa otoritatif di Indonesia, setidaknya sudah beberapa kali mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan lingkungan. Tahun 2011, MUI menerbitkan fatwa tentang pertambangan ramah lingkungan. MUI menyatakan haram hukumnya merusak lingkungan, termasuk aktivitas pertambangan yang tidak berorientasi pada penghijauan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Beberapa tahun berikutnya, MUI juga masih mengkaji masalah lingkungan. Kali ini berkaitan dengan pengelolaan sampah. Dalam fatwa no. 41 tahun 2014, MUI menyatakan setiap muslim wajib menjaga kebersihan lingkungan, memanfaatkan barang-barang guna untuk kemaslahatan dan mengindarkan diri dari penyakit, dan menjauhkan diri dari perbuatan mubadzir. Membuang sampah atau barang yang masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri ataupun orang lain hukumnya haram.
Pada tahun 2016, MUI mengeluarkan fatwa tentang hukum pembakaran hutan, lahan, dan pengendaliannya. MUI memfatwakan bahwa melakukan pembakaran hutan dan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan, pencemaran lingkungan, kerugian orang lain, gangguan kesehatan, dan dampak buruk lainnya, maka hukumnya haram. Melakukan pembakaran hutan dan lahan merupakan kejahatan dan pelakunya dikenakan sanksi sesuai tingkat kerusakan dan dampak yang ditimbulkannya.
Tidak diragukan lagi ada banyak landasan di dalam Islam untuk mendiskusikan laranhan merusak lingkungan. Pandangan ini juga diakui oleh banyak lembaga fatwa dan ulama. Hanya saja masalahnya, fatwa tentang larangan merusak lingkungan ini tidak terlalu populer. Fatwa ini masih kalah populer dengan fatwa lainnya, sebut saja fatwa penyesatan terhadap kelompok tertentu.
Masyarakat kita tampaknya lebih tertarik untuk mengurus keyakinan orang lain. Bahkan tak jarang ditemukan fatwa MUI terhadap aliran tertentu digunakan untuk menyerang kelompok lain. Sementara fatwa larangan merusak lingkungan, sampai saat ini, tidak banyak yang mengawal dan mengarusutamakan di tengah masyarakat. Padahal, kerusakan lingkungan menjadi ancaman nyata bagi semua orang. Tidak hanya bagi yang merusak, yang tidak merusak pun juga bakalan kena imbasnya.
Dilihat dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2021, volume sampah di Indonesia tercatat 68,5 juta ton. Sedangkan untuk tahun 2022 naik mencapai 70 juta ton. Sampah ini kemudian yang membuat lingkungan kotor dan tercemar. Sementara berdasarkan laporan Environmental Performance Index 2022 (EPI), pelestarian lingkungan di Indonesia tergolong buruk di skala global dengan skor 28,2 dari 100 (di peringkat ke 164 dari 180 negara), bahkan di skala regional Asia Pasifik berada ditingkat terbawah (posisi 22 dari 25 negara Asia Pasifik). Di tingkat ASEAN, Indonesia berada di peringkat ke-8 dari 10 negara ASEAN.
Dalam penilaian, EPI mengukur tingkat keberlanjutan lingkungan pelbagai negara melalui puluhan indikator yang terangkum dalam tiga pilar besar. Pertama dalam kesehatan lingkungan yang mencakup kualitas udara, pencemaran air, kualitas pengolahan limbah. Dalam hal ini Indonesia mendapat skor 25,3 dari 100. Kedua, dalam bidang iklim, kebijakan mitigasi perubahan iklim, dan emisi gas rumah kaca, mendapatkan skor 23,2. Ketiga, daya hidup ekosistem yang meliputi kualitas biodiversitas, keberlanjutan perikanan, pertanian, dan sumber daya air, berada di skor 34,1. Artinya dalam segala bidang, Indonesia terbilang masih rendah.
Ini tentu merupakan ironi, di negara ini pencemaran dan kerusakan lingkungan masih kerap terjadi. Untuk itu dibutuhkan strategi jitu untuk menangani kerusakan lingkungan tersebut, terlebih di tengah isu pemanasan global (global warming) yang menjadi kekhawatiran global.
Mengawal bersama-sama fatwa keagamaan tentang lingkungan hidup, merupakan keniscayaan dalam menanggulangi kerusakan lingkungan. Selama ini, fatwa keagamaan yang dicetuskan oleh lembaga keagamaan dan ulama hanya sebatas fatwa. Tidak banyak sosialisasi yang massif, sehingga gaungnya tidak begitu terdengar.
Dengan mengawal bersama fatwa, diharapkan pengambil kebijakan mendengar opini publik yang begitu luas. Dengan begitu, kampanye yang marak dan dikawal bersama-sama, diharapkan mampu mengubah pola pikir terhadap gaya hidup yang bisa mengurangi kerusakan terhadap lingkungan. Pun dengan maraknya kampanye fatwa tentang lingkungan hidup diharapkan masyarakat dan pengambil kebijakan mampu memanfaatkan energi dan material yang ramah lingkungan, agar kerusakan tak kian marak.