Apa jadinya kalau konsep “azab” tidak pernah ada di dunia ini?
Besar kemungkinan kaum moralis konservatif akan kesulitan mendapat legitimasi untuk mencela kelompok di luar dirinya. Juga, program-program industri televisi barangkali akan lebih kreatif dalam mencari rating.
Kata “azab” belakangan ini seolah-olah telah menjelma jadi kekerasan bahasa. Betapa mudahnya orang menuduh gempa bumi atau erupsi gunung berapi atau angin topan yang mengobrak-abrik sebuah distrik sebagai azab. Tentu ini sangat ironi.
Azab merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Prof. Quraish Shihab dalam Ensiklopedia Al-Quran menyebut bahwa kata “azab”, salah satunya, berarti “segala sesuatu yang menimbulkan kesulitan, menyakitkan, dan memberatkan.”
Walau demikian, kata “azab” sendiri pada perkembangannya memiliki makna yang berbeda.
Azab dalam imajinasi masyarakat Arab sebelum masa pewahyuan Al-Quran berbeda dengan makna Azab setelah era pewahyuan Al-Quran.
Pada yang pertama, kata “azab” merujuk pada sebuah kerinduan hati seseorang terhadap kekasihnya. Bagi seorang perindu atau siapa pun yang pernah diterpa badai kerinduan terhadap kekasihnya pastilah merasakan betapa merindu itu berat, bahkan menyiksa.
Era selanjutnya adalah ketika makna “azab” dikonstruksi oleh Al-Quran sebagai siksaan terhadap pelanggaran aspek akidah dan ketentuan syariah. Di masa ini, cerita pembangkangan kaum durhaka kerap berakhir dengan turunnya azab kepada mereka yang mendustakan para nabi dan rasul terdahulu.
Tidak berhenti sampai di situ, kata “azab” terus mengalami perluasan makna, utamanya pasca pewahyuan Al-Quran. “Azab” bahkan merangsek hingga aspek sosial-politik dan, terutama, mendapat tempat istimewa di dalam budaya populer.
Indonesia barangkali memiliki kasus unik. Dalam hal memvisualisasi intervensi Tuhan ke dalam kehidupan sehari-hari, tak ada yang lebih bersemangat ketimbang serial FTV “Azab” di Indosiar dan “Dzolim” di MNC TV. Program-program populer ini terinspirasi dari majalah Hidayah, sebuah majalah agama yang juga mengeksploitasi imajinasi publik tentang keadilan.
Dengan judul-judul seperti “Jenazah Mandor Kejam Terkubur Coran Beton dan Tertimpa Meteor”, “Perebut Suami Orang Mati Dengan Perut Membengkak Disengat Ribuan Tawon, Keranda Jenazahnya Terkena Badai, dan Tercebur ke Adukan Semen”, “Penyalur Daging Kambing Culas Terpaksa Dimakamkan di Tanah Kandang Kambing”, “Juragan Tahu Bulat Mati Digoreng Dadakan dan Dikubur Hangat-hangat”, dan banyak lagi, program-program ini belakangan viral sebagai lelucon di media sosial.
Dalam lima tahun terakhir wacana “azab” seringkali (di)hadir(kan) mengiringi berbagai tragedi dan bencana yang menelan korban jiwa. Misalnya adalah medio 2018 ketika warganet Indonesia dihentak oleh komentar seorang politisi Partai Amanat Nasional di Twitter sejurus setelah tragedi jatuhnya pesawat Lion Air jatuh.
Dalam cuitannya, ia mengaitkan berbagai bencana yang belakangan terjadi dengan lengsernya Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kendatipun dia tak menyebut bagaimana aspek relasional antara pergantian pemerintahan politik dengan bencana alam, konteks komunikasi politik di media sosial belakangan cukup memberi gambaran yang sangat jelas, yaitu: azab.
Selanjutnya, narasi bahwa berbagai tragedi ini adalah “hukuman tuhan” atas pemerintahan Joko Widodo beredar lebih gencar lagi dalam konteks gempa di Palu, mulai dari pesan berantai WhatsApp hingga laman trending YouTube. Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Sobri Lubis menghubungkan gempa Palu dengan dipenjaranya Sugik Nur.
Selain itu terdapat pula kisah tentang Lili Ali, seorang calon legislatif dari partai Nasdem yang menjadi korban gempa. Dia dianggap pernah menyatakan dalam status Facebook bahwa ia akan tetap memilih Jokowi walau gempa menggoyang Palu. Cerita ini belakangan ketahuan merupakan hoaks dan penyebar utamanya telah dipidana polisi.
Bukan hanya soal politik, azab juga dihubungkan dengan narasi-narasi lain: mulai dari “peningkatan” jumlah LGBT di Palu, maraknya praktik perjudian, hingga perayaan festival Nomoni yang dipandang syirik.
Malahan belum lama ini, ketika pandemi Covid-19 menerjang umat manusia sedunia di awal tahun 2020, beberapa ustadz di Indonesia juga mengaitkan makhluk renik ini sebagai tentara Allah untuk menghukum rezim pemerintahan yang zalim.
Termasuk bencana yang tidak selamat dituduh sebagai “azab” adalah ketika Cianjur, Garut, Jember, dan Pacitan diguncang gempa bumi. Ini belum termasuk Erupsi Gunung Api Semeru yang sudah tentu menambah daftar bencana alam di Indonesia pada penghujung tahun 2022.
Bukan Khas Indonesia, Juga Bukan Milik Tradisi Islam Semata
Ada sebuah ungkapan menarik berbunyi: Believing that hurricanes, floods, and earthquakes are “God’s punishment” reduces the divine to human terms. (Menganggap angin topan, banjir, dan gempa bumi sebagai “azab Tuhan” adalah sebuah tindakan reduksionis yang mempersempit aspek ilahiah ke dalam istilah manusia.)
Ungkapan itu merupakan refleksi kontemporer dari filsuf Dewi Zephaniah Phillips. Menurutnya, adalah keliru untuk mengasosiasikan perasaan manusia seperti marah kepada Tuhan. Sebab, Tuhan melampaui realitas manusia.
Di belahan bumi Amerika, ada beberapa orang yang juga berpikir bahwa wacana kebencanaan berkelindan dengan pembalasan ilahi atas dosa umat manusia.
Misalnya adalah mantan aktor cilik sekaligus seorang Evangelist bernama Kirk Cameron. Dalam sebuah video di Facebook dia pernah mengatakan bahwa Badai Harvey dan Irma adalah “pertunjukan spektakuler dari kemarahan Tuhan” yang dikirim agar manusia dapat menyesali dosa-dosa mereka.
Sebelumnya, setelah melihat kehancuran Badai Harvey, pendeta Kristen konservatif John McTernan juga mencatat bahwa “Tuhan secara sistematis menghancurkan Amerika” karena marah atas “agenda homoseksual”.
Serupa tapi tak sama, beberapa pihak berasumsi bahwa bencana alam itu boleh jadi merupakan kemurkaan sesuatu di luar diri manusia, kendatipun tidak selalu berarti Tuhan sedang marah. Aktris Hollywood Jennifer Lawrence, misalnya, menyebut bahwa Badai Irma adalah “kemarahan dan kemurkaan alam” di Amerika karena kebanyakan warganya memilih Donald Trump.
Betapapun, perdebatan tentang apakah sebuah bencana merupakan azab atau bukan itu tidak akan pernah ada habisnya. Seorang Kaisar Romawi, Markus Aurelius, pernah mengatakan bahwa “segala hal yang kita dengar hanyalah pendapat, sedangkan yang kita lihat adalah perspektif.”
Jadi, proses memberi makna terhadap sebuah bencana (alam) itu sepenuhnya bergantung pada seberapa sering manusia mendengar pendapat dan melihat perspektif. Semakin sering orang berteriak “azab”, besar kemungkinan konstruksi Tuhan yang dia imajinasikan adalah Tuhan yang “Pemarah” atau “Pendendam”, tetapi sekaligus “Maha Penyelamat” jika apa yang diyakini sebagai “azab” itu ternyata terjadi di daerahnya sendiri.
Walau demikian, hal itu bisa dipahami ketika industri media justru kerap mendengungkan wacana azab yang disponsori oleh gaya dakwah marah-marah dan, di saat yang sama, budaya literasi kebencanaan kita masih senantiasa jalan di tempat.