Pada umumnya, sebuah kongres selalu diramaikan dengan pemilihan ketua. Bursa pencalonan sudah ramai dibicarakan jauh-jauh hari. Ketika kongres pun, ia menjadi titik klimaksnya. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tidaklah demikian.
KUPI adalah gerakan sosial, kultural, intelektual, dan spiritual Ulama Perempuan Indonesia untuk mewujudkan peradaban yang berkeadilan. Peradaban ini ditandai dengan mendudukkan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai manusia seutuhnya dan subjek sepenuhnya dalam sistem kehidupan.
Disebut sebagai gerakan sosial karena KUPI terdiri dari ulama perempuan yang bergerak di komunitas masing-masing untuk mengubah cara pandang dan praktik-praktik sosial sehari-hari, menata ulang lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dan menjadi pemimpin melalui tindakan yang bisa diteladani oleh masyarakat, demi terwujudnya peradaban yang berkeadilan. Juga, karena berbasis kesukarelaan, merupakan insiatif masyarakat, bersifat cair, dan tidak formal.
Disebut sebagai gerakan kultural karena KUPI bersifat non struktural, non birokratis, organik, dan non mekanik. Juga, karena gerakan ini berakar pada kultur/tradisi, baik tradisi keindonesiaan maupun tradisi pemikiran Islam yang sudah berlangsung lama. Tradisi mempunyai posisi unik dalam gerakan KUPI. Di satu sisi, ia dipandang sebagai sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan dalam merumuskan keadilan, namun di sisi lain, ia juga disikapi secara kritis agar tidak zalim pada perempuan.
Disebut sebagai gerakan intelektual karena dalam mewujudkan peradaban yang berkeadilan, KUPI juga membangun sistem pengetahuan keislaman yang mendudukkan laki-laki dan perempuan sebagai manusia seutuhnya dan subjek sepenuhnya. Juga, karena KUPI mengembangkan tiga pendekatan, yaitu Mubadalah yang menekankan persamaan antara laki-laki dan perempuan, Ma’ruf yang menekankan konteks spesifik Indonesia, dan Keadilan Hakiki Perempuan yang mengintegrasikan pengalaman kemanusiaan khas perempuan.
Disebut sebagai gerakan spiritual karena semua ikhtiyar yang dilakukan oleh KUPI didasarkan pada keyakinan bahwa ikhtiyar mewujudkan peradaban berkeadilan adalah panggilan iman sebab iman pada Allah mesti dibuktikan dengan prilaku baik (amal shaleh) pada sesama makhluk-Nya. Juga, karena ikhtiyar ini diyakini sebagai cara untuk menjalankan amanah melekat manusia sebagai Khalifah fil Ardl yang bertugas mewujudkan kemaslahatan seluas-luasnya di muka bumi.
Bukan Lembaga
Sebagai sebuah gerakan, Kongres Ulama Perempuan Indonesia tidak melembaga sehingga tidak memiliki perangkat kelembagaan, termasuk ketua. KUPI mungkin menjadi satu-satunya kongres yang tidak memilih ketua sehingga semua pihak yang terlibat dalam kongres dapat fokus sepenuhnya pada persoalan umat yang sedang diikhtiyarkan untuk diatasi bersama.
Fungsi kelembagaan KUPI dilaksanakan oleh 3 lembaga inisiator KUPI-1 yaitu trio ARAFAH (Alimat, Rahima, dan Fahmina). Fungsi kelembagaan KUPI pasca kongres-1 diserahkan ke Alimat dan akan bergilir pada lembaga lainnya.
Selain tiga lembaga di atas, terdapat beberapa lembaga yang secara intensif terlibat dalam perhelatan KUPI bahkan sejak KUPI pertama, yaitu AMAN Indonesia yang menggawangi Konferensi Internasional, baik KUPI-1 maupun KUPI-2, dan Gusdurian yang menggawangi urusan media, baik di KUPI-1 maupun KUPI-2.
Di samping itu, ada banyak sekali lembaga yang ikut mendukung penyelenggaraan KUPI, seperti IAIN Syekh Nurjati Cirebon pada KUPI-1 dan UIN Walisongo Semarang. Pada KUPI-2, Rumah Kitab juga berperan penting dalam mengupayakan penerbitan ulang Majalah Gatra Edisi Khusus Ulama Perempuan yang sudah terbit saat Idul Fitri lalu.
Manusia Utuh dan Subjek Penuh
Peradaban berkeadilan yang dicita-citakan KUPI mensyaratkan cara pandang atas setiap orang, termasuk perempuan, sebagai manusia seutuhnya dan subjek sepenuhnya. Manusia seutuhnya berarti bahwa setiap orang, laki-laki dan perempuan, mempunyai kesadaran dan dipandang sebagai makhluk fisik, intelektual, sekaligus spiritual. Nilai keduanya sama-sama tergantung pada semaksimal apa ia menggunakan akal budi agar setiap tindakan dapat berdampak maslahat bagi diri sendiri sekaligus pihak lain.
Peradaban ini menolak cara pandang atas laki-laki hanya sebagai makhluk ekonomi, sehingga nilainya hanya tergantung pada sebanyak apa harta dia miliki. Peradaban ini juga menolak cara pandang atas perempuan hanya sebagai objek seksual sehingga nilainya hanya tergantung pada daya tarik seksualnya bagi laki-laki, atau hanya sebagai mesin reproduksi yang nilainya hanya tergantung pada kemampuannya untuk hamil dan melahirkan anak. Laki-laki dan perempuan sama-sama dinilai dari akhlak mulianya sehingga mampu menjadi anugerah bagi diri sendiri sekaligus pihak lain, semampunya!
Subjek sepenuhnya berarti bahwa setiap orang, laki-laki dan perempuan, mempunyai kesadaran dan dipandang sebagai subjek penuh sistem kehidupan. Hal ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama bertanggungjawab untuk mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah keburukan sekaligus dilindungi darinya, di manapun berada, baik di ruang domestik maupun publik.
Peradaban ini menolak cara pandang bahwa perempuan hanya makhluk domestik yang boleh berkutat di rumah. Juga, menolak siapa pun dipandang lebih rendah sebagai subjek sekunder, apalagi rendah sebagai objek dalam sistem kehidupan, termasuk cara pandang pada perempuan sebagai objek seksual laki-laki!
Menuju Terang
Berislam diyakini sebagai penyerahan diri secara mutlak hanya pada Allah dengan tunduk pada kebaikan bersama. KUPI berikhtiar untuk menggerakkan sistem kehidupan yang masih zalim agar lebih adil, semakin adil, hingga seadil mungkin sesuai dengan kemampuan yg dimiliki.
Salah satu ikhtiyar penting KUPI sebagai gerakan adalah melahirkan pengetahuan keislaman yang adil pada perempuan. Proses panjang sejak sebelum kongres hingga akhirnya dibahas di Musyawarah Keagamaan. Sikap dan Pandangan Keagamaan KUPI kemudian menjadi basis untuk melakukan perubahan secara kultural dan advokasi secara struktural.
Sejak pra-Kongres, Jaringan KUPI diwarnai dengan pertemuan demi pertemuan untuk mendiskusikan masalah-masalah krusial perempuan, baik sebagai isu, perspektif, maupun aktor perubahan. Setelah disepakati, halaqah demi halaqah digelar untuk membahasnya secara mendalam dengan mengundang penyintas, pendamping, ahli, dan pemerintah.
Menjelang kongres, topik-topik yang sudah cukup matang kemudian dihalaqahkan kembali di 3 region: barat, tengah, dan timur. Lalu ditutup dengan 1 halaqah nasional. Selama kongres pun dibahas dua kali, yaitu di diskusi paralel pra-Musyawarah dan puncaknya adalah pembahasan di Musyawarah Keagamaan. Sikap dan pandangan keagamaan KUPI diharapkan menjadi cahaya yang menyinari jaringan KUPI untuk bergerak menuju peradaban berkeadilan.
Semoga kita bisa mengambil peran untuk membuat denyut KUPI semakin terasa di mana-mana agar peradaban berkeadilan bisa semakin nyata mewujud. Aamiin yaa rabbal alamin …