Festival Jazz Syuhada kembali digelar di Kotabaru, Yogyakarta secara full luring tahun 2022 dengan tema “Sayuk Rukun, Memperkokoh Keragaman Merajut Kemanusiaan”. Tema ini menjadi penting di tengah isu-isu intoleransi yang marak bermunculan saat ini. Jazz Syuhada dimotori oleh pemuda-pemudi lintas iman di Masjid Syuhada dan Gereja Santo Antonius Kotabaru.
Tema yang diangkat oleh Festival Jazz Syuhada menjadi krusial di fase transisi pandemi Covid-19. Sejenak Pandemi berhasil menyatukan umat manusia untuk fokus terhadap satu musuh utama, Covid-19. Namun, seiring pandemi berakhir, manusia kembali terpecah-belah. Manusia kembali kepada watak saling menyalahkan dan kembali antipati terhadap perbedaan.
Dalam acara pembukaan festival, Prof. M. Amin Abdullah melakukan orasi budaya sebagai perwakilan dari Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Terkait tajuk Jazz Syuhada, Amin Abdullah mengurai bagaimana cara memperkokoh keragaman dan merajut kemanusiaan.
“Ada empat cara untuk memperkokoh keragaman dan merajut kemanusiaan. Pertama adalah Pancasila. Itu penting sekali karena merupakan kalimatun sawa’ bainana wa bainakum,” terang Prof. Amin.
Ia menjelaskan bahwa Pancasila merupakan common platform antar berbagai suku, ras, dan agama yang berbeda-beda untuk bisa duduk dan hidup harmonis di Indonesia. Hal ini perlu diulang-ulang karena merupakan kontribusi Pancasila paling prinsipil, menjaga kemajemukan dari perpecahan.
“Maka Pancasila sebetulnya sedang diidamkan oleh bangsa luar negeri juga. Pancasila bukan hanya national heritage, tetapi juga world heritage,” lanjutnya.
Cara kedua, seperti yang dijelaskan pak Amin, adalah literasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Literasi keagamaan bisa dimaknai sebagai berpegang teguh pada agama masing-masing, sesuai doktrin masing-masing, namun harus berani menguji implikasi dan konsekuensi keyakinan serta keimanannya secara sosial budaya di ruang publik serta bertanggung jawab.
Prof. Amin hendak mengatakan bahwa seorang individu harus taat kepada agama yang diimaninya namun tidak abai bahwa taat kepada agama berarti juga harus mengimplementasikan nilai-nilai universal agama, seperti kasih sayang, welas asih, da saling menghormati.
“Yang ketiga, manusia beragama, apapun agamanya, tidak boleh menghakimi kepercayaan dan keimanan orang dan kelompok lain yang berbeda. Pantangan itu!” tegasnya.
Ia mengutip QS. al-Hujurat: 13 bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam ragam bangsa dan suku untuk saling mengenal, bukan saling menghakimi. Kesadaran ini, terang pak Amin, bisa dimulai dari bagaimana masing-masing tokoh agama menjelaskan kepada jamaahnya tentang urgensi kehidupan plural.
“Terakhir, menjunjung tinggi prinsip kesetaraan warga negara di depan hukum. Citizenship itu menjadi penting. Keamanan itu menjadi penting. Maka agama berperan besar memang di dalam ruang publik, tetapi para tokoh agama harus waspada terhadap potensi penyalahgunaan.” Tutur Prof. Amin.
Ia menggarisbawahi bahwa agama sangat penting, tetapi para elit agama harus bertanggungjawab mengawal jamaahnya agar tidak keluar dari koridor beragama yang sehat. Dalam hal ini, Amin Abdullah menyinggung soal perlunya bersikap moderat dalam beragama, artinya ia tetap menjadi religius dalam keyakinannya, namun tetap penuh penghormatan terhadap keyakinan umat agama lain.
“Akhirnya, mari kita gelorakan semangat untuk kerja sama lewat seni, lewat budaya, lewat musik untuk kemaslahatan publik. Kemaslahatan publik itu ada macam-macam. Kemaslahatan itu bisa kebaikan bersama, bisa ketertiban bersama, bisa keadaban publik, bisa keamanan publik.”
“Maka sayuk rukun merupakan modal sosial dan modal kultural bangsa Indonesia. Jadikanlah nilai-nilai fundamental agama dan nilai-nilai fundamental Pancasila secara bersama-sama sebagai ruh dan etos di dalam berpikir, berkarya, berkomunikasi, bekerja, dan beramal, oleh seluruh elemen masyarakat, terlebih generasi muda yang akan menyongsong tahun emas Indonesia, 2045.” Pungkas Prof. Amin.