Salah satu fondasi agar agama agar bisa disebut sebagai agama adalah keberadaan pengikut atau jamaah. Dua tahun lalu, wabah Covid-19 menyerang sehingga menyebabkan transformasi luar biasa dalam kehidupan sosial keagamaan kita. Salah satu dampaknya adalah pembatasan sosial besar-besar, termasuk regulasi penutupan ibadah, dan larangan orang berkumpul. Salah satu yang hilang adalah jamaah-jamaah agama. Masjid menjadi kosong. Kajian keagamaan menjadi sepi. Para muballigh kehilangan jemaat.
Dari sudut pandang sosiologis, pandemi bisa dikatakan menyerang salah satu komponen penting dalam agama. Komponen paling esensial itu bukan kepercayaan, keimanan, atau ketundukan pada Tuhan, melainkan keberadaan jamaah. Pertanyaannya, apakah agama bisa hidup tanpa adanya jamaah? Apakah agama kehilangan relevansinya di tengah krisis?
Merujuk sebuah film dokumenter bertajuk Agama Dalam Karantina, peran agama rupanya tidak mati. Film tersebut menunjukkan bahwa agama tidak kehilangan relevansi ketika pandemi datang. Agama justru pada dasarnya merupakan respon dari sebuah krisis. Agama lahir salah satunya adalah untuk merespon krisis kemanusiaan dan krisis sosial.
Kita tentu ingat bagaimana kondisi Arab pra-Islam pada waktu itu. Darah umat manusia sangatlah murah. Pertempuran antar suku sudah sangat lumrah terjadi. Perempuan diposisikan sangat rendah bahkan sampai dianggap sebagai objek yang memalukan. Para laki-laki akan membunuh bayi perempuan yang lahir karena dianggap membawa aib.
Islam kemudian datang melalui Nabi Muhammad dengan membawa ajaran yang damai. Tradisi saling membunuh antar suku tersebut dibenahi oleh Nabi dengan mendirikan negara Madinah berbasis Piagam Madinah yang merangkul semua suku dan agama secara damai, tanpa ada tendensi saling menguasai. Objektifikasi terhadap perempuan pelan-pelan dikurang dengan menerapkan sistem poligami. Satu laki-laki yang dulu beristri belasan bahkan puluhan, dibatasi hanya boleh menikah dengan maksimal empat perempuan. Sedikit demi sedikit, problem kemanusiaan itu mulai hilang dari tanah Arab.
Dengan karakter seperti itu, ketika krisis terjadi, agama bukannya kehilangan relevansi, tapi justru relevansi agama menjadi semakin penting. Ketika Islam kehilangan jemaat, misalnya, Islam mempunyai cara lain untuk menjaga relevansinya.
Salah satu topik yang ditampilkan dalam film tersebut adalah semakin solidnya relasi lintas agama ketika pandemi terjadi. Misalnya, Pastoran Gereja St. Antonius Padua Kotabaru Yogyakarta memiliki agenda bernama Sego Mubeng berupa bagi-bagi sembako kepada orang yang kurang mampu.
Aksi sosial tersebut kemudian melibatkan Masjid Syuhada Yogyakarta agar jangkauan aksinya lebih luas, terutama ketika masyarakat diterpa krisis ekonomi akibat pandemi. Aksi kolaborasi lintas agama tersebut menampilkan salah satu relevansi dan salah fungsi agama yang paling esensial, yaitu sisi-sisi kemanusiaan.
Jika kita membincang tentang pandemi, maka salah satu topik yang harus dibahas adalah soal new normal. Dengan munculnya banyak regulasi terutama mengenai pembatasan ke masjid, umat Muslim tidak kehilangan cara untuk bertemu dengan Tuhannya. Selain melakukan peribadatan dari rumah, mereka tetap mengadakan kajian keagamaan secara virtual. Artinya, dengan segala pembatasan akibat krisis, agama tidak kehilangan relevansi, dalam konteks ini, agama tetap menemukan relevansinya dalam ruang-ruang digital, paling tidak melalui umat-umatnya sendiri.
Beberapa kelompok umat Muslim ada yang pernah mengadakan sholat Jumat virtual. Meski kemudian, sholat Jumat tersebut dinyatakan tidak sah oleh Sekjen Komisi Fatwa MUI, Asorun Niam Sholeh lewat Fatwa MUI Nomor 28 Tahun 2021, hal itu menunjukkan bahwa Islam tetap mempunyai agen-agen yang tidak berhenti berijtihad untuk beradaptasi dengan situasi krisis. Sebuah upaya menemukan relevansi Islam dalam era digital di tengah terpaan krisis.
Saat ini, kita mungkin sedang berjalan keluar dari fase lama ke fase yang baru. Di era pandemi yang nampak sudah mereda ini, kita bisa melihat riak-riak transformasi kehidupan sosial kita, yang notabene sedang bergerak progresif.
Seorang sastrawan, aktifis, dan pemikir dari India yang pernah mendapat penghargaan Booker Prize, Arundathi Roy, mengatakan bahwa wabah corona adalah bencana besar yang mengubah tatanan dunia yang sudah mapan. Dalam tulisannya, The Pandemic is a portal, ia mengatakan bahwa dalam sejarah, wabah selalu memaksa manusia untuk memutuskan masa lalunya dan membayangkan dunia dengan cara yang baru. Tak ada bedanya dengan wabah ini. wabah adalah portal, suatu lorong atau jembatan, antara satu dunia dan dunia berikutnya.
Mengacu pada tesis Arundathi, saya melihat bahwa Islam nampak sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi jagad yang baru. Setidaknya ada dua relevansi yang masih terjaga dalam krisis pandemi ini, yaitu sisi-sisi kemanusiaan dan adaptasi dengan teknologi informasi. Saya percaya bahwa dua elemen itu mampu menjadi bekal Islam untuk terus hidup dalam berbagai kondisi, baik dalam situasi damai maupun krisis.
Pandemi Covid-19 bisa dikatakan menjadi pemicu lahirnya kepekaan jamaah lintas agama untuk saling membantu satu sama lain. Nilai kebaikan dan kemanusiaan dalam agama membantu mereka menemukan kesadaran bahwa kita semua hidup bersama, menghirup udara yang sama, merasakan krisis yang sama.
Kepekaan sosial ini akan bertandem dengan digital awareness yang akan menjadikan peran agama semakin kuat di era pasca pandemi. Faktanya, agama tidak kehilangan jamaah. Para jamaah itu hanya mencari cara-cara baru untuk menemukan kembali fungsi agama dalam kehidupan mereka.