Pada hari Jum’at, tepatnya malam ke sepuluh Ramadhan tahun 40 Hijriyah, seorang khawarij bernama Abdullah bin Muljam menikam khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib, ketika beliau sedang melakukan shalat shubuh di masjid Kufah. Karena kursi kekhalifahan kosong, para sahabat kemudian berembuk dan berdiskusi untuk menentukan siapa yang pantas menjadi suksesor kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib.
Akhir diskusi itu menyatakan bahwa anak Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pertama lah yang berhak menjadi Khalifah yaitu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, karena Hasan dilihat sebagai sosok yang cerdas, berwibawa dan sederhana. Qais bin Sa’ad, panglima perang pasukan Ali bin Abi Thalib, adalah orang pertama yang memba’iat Hasan sebagai Khalifah, kemudian diikuti oleh penduduk Kufah. Begitulah tren saat itu, khalifah dibai’at secara personal dan kemudian diikuti oleh bai’at berjamaah di masjid. Tidak ada pemilihan umum. Tidak ada pula pembatasan periode jabatan.
Barangkali, keluwesan dan sistem yang tidak pakem dalam penunjukkan pemimpin itu yang menjadi faktor terjadinya berbagai macam intrik kekuasaan, khususnya di fase terakhir Khulafaur Rasyidin. Terbukti, pasca bai’at Hasan itu terdengar sampai ke Syam, Mu’awiyah langsung murka. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Mu’awiyah telah lama berambisi menduduki posisi khalifah itu.
Tidak hanya sosok Mu’awiyah, mayoritas penduduk Syam yang mendengar bahwasanya Hasan bin Ali dibaiat menjadi khalifah tidak setuju dengan hal itu karena bagi mereka, Muawiyah bin Abi Sufyan lah yang pantas menjadi khalifah sepeninggal Khalifah Ali bin Abi.
Menurut sejarawan Islam, Ali Muhammad ash-Shalabi, sejak dulu keluarga Muawiyah bin Abi Sufyan (Bani Umayyah) yang dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdu Syams bin Abdi Manaf selalu ingin menyaingi apapun yang dimiliki oleh Hasyim bin Abdu Manaf (Bani Hasyim). Karena pada saat itu Hasyim bin Abdu Manaf memiliki posisi yang tinggi dimata penduduk Quraisy Makkah, di sisi lain Umayyah juga ingin menjadi orang yang terpandang di kalangan penduduk Quraisy Makkah. Hingga pada zaman Rasulullah pun anak cucu Umayyah ini masih berambisi ingin menyaingi anak cucu Hasyim bin Abdu Manaf, dari segi ekonomi dan pengaruh di masyarakat.
Ali bin Abi Thalib sebenarnya mengetahui bahwa umat Muslim sedang terpecah belah saat itu. Kubu Mu’awiyah yang masih memendam tuntutan darah atas kematian sepupunya, Utsman bin Affan dan umat Muslim Syam yang tidak terima dengan bai’at kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sebagai upaya untuk merangkul kelompok Mu’awiyah, Ali menulis surat kepadanya yang kurang lebih berisi sebagai berikut;
“Janganlah engkau terus-menerus terbenam di dalam kebatilan dan kesesatan. Bergabunglah dengan orang-orang yang telah menyatakan bai’at kepadaku. Sebenarnya engkau telah mengetahui, bahwa aku lebih berhak menempati kedudukan sebagai pemimpin umat Islam. Lindungilah dirimu dari siksa Allah dan tinggalkanlah perbuatan durhaka. Hentikanlah pertumpahan darah, sudah cukup banyak darah mengalir yang harus kau pikul tanggungjawabnya di akhirat kelak. Nyatakanlah kesetiaanmu kepadaku dan janganlah engkau menuntut sesuatu yang bukan hakmu, demi kerukunan dan persatuan umat Islam.”
Namun, Mu’awiyah membalas ajakan itu dengan sebuah penolakan tegas,
“Jika aku yakin bahwa engkau lebih tepat menjadi pemimpin daripada diriku, dan jika aku yakin bahwa engkau sanggup menjalankan politik untuk memperkuat kaum Muslimin dan melemahkan kekuatan musuh, tentu kedudukan khalifah akan kuserahkan kepadamu.”
Bersama dengan penolakan itu, Mu’awiyah telah menyiapkan 60.000 pasukan untuk menggempur kekuatan Hasan sebagai khalifah. Mendengar ancaman itu, Hasan sebagai pemimpin sah umat Muslim saat itu secara terpaksa juga segera menyiapkan pasukannya dengan kekuatan 40.000 pasukan. Namun, sebelum peperangan benar-benar terjadi, tidak ada yang terlintas dalam pikiran Hasan kecuali bayangan akan korban yang lebih melimpah dalam pertempuran, sehingga apa yang terus dipikirkan Hasan adalah upaya untuk perdamaian.
Hasan akhirnya memilih jalur perdamaian sebagai jalan keluar dari sengketa kekuasaan. Ia memutuskan untuk memberikan jabatan khalifah pada Mu’awiyah selama hidupnya dengan klausul jika Mu’awiyah wafat, maka jabatan khalifah akan dikembalikan pada Hasan.
Setelah kesepakatan ditandatangani, Hasan naik ke atas mimbar dan memberitakan kepada orang-orang yang telah membai’at dan mendukung dirinya, dengan mengulangi ucapan yang sebelumnya pernah ia kemukakan,
“Kalian menyatakan janji setia padaku untuk mendengarkan aku dan taat padaku, juga memerangi orang yang aku perangi, juga berdamai dengan orang yang aku ajak damai.” Sekarang saya sungguh telah berdamai dan membai’at Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sekarang ucapkan ba’at untuknya.”
Sebab yang menjadi dasar kuat keputusan Hasan yang memilih berdamai dengan Mu’awiyah adalah menghindari konflik antara umat Islam. Hasan semacam mengalami trauma ketika umat Islam saling menumpahkan darah antara satu dengan yang lainnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 41 H, dan disebut dengan istilah amul jama’ah.
Khalifah Hasan akhirnya menghentikan tensi perang saudara yang sudah dimulai sejak Perang Jamal dan Perang Siffin dengan menyetujui mundurnya dari kursi khilafah. Imam Thabari mencatat Hasan mundur pada 6 Mei tahun 661 M. Hasan kemudian meninggalkan Kufah dan tinggal di Madinah.
Setelah sembilan tahun Hasan bin Abi Thalib menjalani hidup sebagai rakyat biasa, beliau wafat karena diracun pada 28 Safar tahun 50 Hijriyah dalam usia 46 tahun. Al-Hamid Al-Husaini, dalam bukunya Al-Husain bin Ali RA, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya, menerangkan bahwa sebagian besar para penulis sejarah meyakini bahwa yang meracun Hasan adalah istrinya, Ja’dah binti Al-Asy’ats, atas perintah Mu’awiyah dengan iming-iming uang sebesar 100.000 dinar. Salah satu alasan kekhawatiran Muawiyah yang menjadi khalifah pada usia 61 tahun adalah kalau ia wafat kemudian Hasan akan naik kembali menjadi Khalifah. Itu sebabnya banyak yang menduga wafatnya Hasan adalah sebuah peristiwa politik.
Nadirsyah Hosen mengatakan bahwa terbunuhnya Ali dan Hasan merupakan cerita kelam kekalahan keluarga Nabi dan mereka yang memperjuangkan politik moral oleh praktik politik praktis. Konfrontasi politik Ali dan Mu’awiyah menjadi prototipe politik atas nama agama yang masih terjadi hingga di generasi saat ini. Sebuah napak tilas politik yang membuka mata kita bahwa intrik politik akan tetap ada dalam sistem kekuasaan apapun, termasuk dalam khilafah.