Barangkali sebagian atau mungkin lebih, dari kita, generasi overthinking Abad 21 sedang mengalami mumet, cemas, stress, bahkan depresi menjalani hidup. Beberapa mungkin disebabkan oleh persoalan gamang mengenal diri, hubungan yang tidak kunjung terhubung, karir mentok, sampai permasalahan keluarga misalnya, dan segudang permasalahan lain yang kebetulan atau tersengaja mampir. Masalah-masalah tadi seakan tidak berujung, tidak pernah ketemu dimana titik purnanya. Mengutip dari Iventure-Alvara, dataindonesia.id mengatakan bahwa tingkat stress generasi Millenial dan gen Z pada Januari 2022 berada di angka 54%.
Akibat saking overthinking dan bergumulnya masalah dihidup kita, mungkin kita merasa putus asa dengan keadaan, memilih untuk menghindar dan memilih untuk lari dari garis ketuhanan. Mau sejauh apapun kita lari dari masalah, masalah itu akan tetap mengikuti. Ibarat bayangan, mau kemanapun kita lari, dia selalu ada di belakang kita. Karena di balik bayangan kita, pasti terdapat cahaya, meskipun itu agak redup. Berlaku pula pada masalah-masalah yang mengitari hidup kita, di balik itu semua pasti terdapat cahaya yang siap menyinari kita.
Nah, ngomongin putus asa, secara definitif, Fakhruddin HS dalam Ensiklopedia Al-Quran (1992) menuliskan bahwa putus asa mengandung pengertian hilangnya harapan. Hal itu disebabkan tenaga, pengharapan, dan kemampuan seseorang menjadi lemah, serta tidak ada lagi kemauan untuk melakukan pekerjaan yang digelutinya.
Lazimnya, putus asa disebabkan gagal berkali-kali. Ia kemudian menyalahkan diri sendiri, keadaan, atau lingkungan sekitarnya. Kendati demikian, sebenarnya penyebab sikap putus asa bukan karena faktor eksternal (kegagalan), melainkan bagaimana seorang individu menyikapi kegagalan yang ia alami, sebagaimana dinyatakan Anthony Robbins dalam Awaken The Giant Within (2017).
Sebagai tamsil, kita mungkin gagal untuk masuk universitas yang kita idam-idamkan, gagal keterima di perusahaan yang sangat kita dambakan, atau gagal meminang pujaan hati kita, karena dia lebih memilih masa lalunya. Alhasil, di hadapan masalah itu kita menyerah begitu saja, dan lebih memilih untuk berpaling. Kita tidak lagi memperjuangkan kegagalan yang telah merobohkan espektasi kita. Sementara, di belahan dunia lain, orang-orang belajar dari masa lalunya, belajar dan memperbaiki diri atas kegagalan-kegagalan yang telah mereka lalui.
Putus asa hanya akan merugikan diri sendiri. Terlalu banyak waktu, energi, dan emosi yang terkuras, dan perlahan akan menumpulkan potensi yang kita miliki. Demikian pula putus asa akan sukar mencapai kemajuan, karena tidak berani mencoba lagi dan takut akan mengalami suatu kegagalan. Putus asa yang berkepanjangan dengan diiringi rasa stress dan depresi, bahkan menjadi salah satu faktor untuk mngakhiri hidup. Mengerikan bukan?
Lebih jauh ngomongin putus asa, Islam telah mengimbau agar seorang Muslim menghindarinya, karena sifat ini merupakan salah satu sifat tercela. Muslim yang berputus asa adalah sosok yang kehilangan harapan dari rahmat Allah Swt., yang sekaligus menunjukkan imannya yang lemah dan fondasi keislaman yang rapuh. Islam melegitimasinya dalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 87 yang, barangkali makna tekstualnya begini:
“….Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang kafir.”
Lantas, bagaimana menghadapinya?
Nah, untuk menghadapi rasa putus asa ini, saya mengutip dawuh Gus Baha dalam Majelis Diniyahnya ketika membahas kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah al-Sakandari, murid dari Abu Hasan al-Syadzili (Pendiri Thariqah Syadziliyah). Ibnu Athaillah dalam Kitab al-Hikam mengatakan begini:
الاهي , كلّما أخرسني لؤمي أنطقني كرمك
“Tuhanku, jika aku ingat dosaku, rasanya tak pantas aku masuk masuk surga. Tapi jika melihat kemurahan-Mu, pantas saja.”
Lebih lanjut, beliau menambahkan lagi kalimat berikut:
وكلّما أيستني أوصافي أطمعتني منّتك
“Ketika saya putus asa dengan sifat-sifat saya yang buruk, maka saya di gerakkan lagi oleh harapan, karena saking melimpahnya anugerah Allah Swt.”
Penggalan kutipan di atas mengandung arti bahwa ketika kita terlalu banyak melakukan dosa dan kesalahan di masa lalu, seakan-akan kita tak pantas untuk merasakan kenikmatan di masa mendatang. Namun ketika kita mengingat tentang sifat kemurahan dari Allah Swt, siapapun pantas untuk mendapatkannya.
Demikian pula misalnya apabila kita berada di masa-masa yang sulit, merasa overthinking, sumpek, cemas, stress, bahkan depresi hingga putus asa, perlu di ingat bahwa karunia Tuhan yang telah diturunkan kepada kita itu lebih tidak terhitung dibandingkan dengan masalah-masalah yang hinggap di hidup kita. Terlebih dengan harapan-harapan kita di masa mendatang, kalau kita mau kejar dan tetap bertekad mengusahakan, saya kira Tuhan akan membukakan jalan. Memahami segala sesuatu dari sisi positifnya niscaya akan menenangkan diri kita.
Maka, teruntuk kita semua generasi abad 21, wabilkhusus kelompok Muslim, ketika sedang overthinking berada di situasi yang pelik, lebih baik kita mengistirahatkan diri dulu. Sesekali disambi ngopi dan ngudud di teras rumah sembari juga merenungi anugerah-anugerah Allah Swt yang telah diberikan kepada kita. Terlebih kita dikaruniai anugerah akal sehat, otak waras, diberi kehendak bebas. Masa iya mau nyerah dengan gitu saja dengan keadaan? [rf]