1938, Dua Orang Perempuan NU Berorasi di Depan Para Kyai, Saat Suara Perempuan Dianggap Aurat

1938, Dua Orang Perempuan NU Berorasi di Depan Para Kyai, Saat Suara Perempuan Dianggap Aurat

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) berharap agar Islam tanggap terhadap gerak peradaban.

1938, Dua Orang Perempuan NU Berorasi di Depan Para Kyai, Saat Suara Perempuan Dianggap Aurat

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengatakan perlunya kontekstualisasi fikih dengan perkembangan zaman. Ini mengemuka dalam Sesi Peluncuran Halaqah Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak, Kamis (11/8/2022) siang.

Menurut Gus Yahya, sapaan akrabnya, pergulatan pemikiran yang dinamis pada dasarnya sudah menjadi hal yang niscaya di kalangan para ulama. Misalnya adalah mendiang KH Ali Maksum, salah satu figur dan ikon penting dalam pergulatan pemikiran baru di era generasi awal NU.

“Para ulama NU, sejak generasi muassis (pendiri), telah melakukan inisiatif-inisiatif yang sangat berani, yang tidak terbayangkan di tempat lain, dalam perspektif wacana fikih,” ujar Gus Yahya.

Ijtihad baru itu, lanjutnya, telah menjadi bagian sejarah Muktamar NU 1938 di Menes, Banten. “Dua orang nyai tampak berorasi di atas panggung Muktamar waktu itu, di hadapan para kiai-kiai senior seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan yang lainnya.”

“Itu terjadi 90 tahun yang lalu, dan tidak terbayangkan di dunia Islam yang lain bahkan sampai hari ini” tegas Gus Yahya.

Untuk diketahui, dua Nyai yang dimaksud di sini adalah Nyai Djuaesih dan Nyai Siti Saroh. Keduanya merupakan inisiator gerakan Muslimat NU.

“Jadi NU sejak awal telah merekonstruksi wacana fikih kala itu, di mana suara perempuan merupakan aurat,” jelas Gus Yahya.

Gus Yahya juga menyinggung soal bagaimana umat Islam kehilangan kerangka sosial politik bagi wawasan ke-Islaman pasca runtuhnya Turki Utsmani. Menurutnya, wawasan ke-Islaman, termasuk syariat, itu sangat bergantung kepada sistem sosial politik, terutama soal wilayah dan imamah yang menjadi elemen penting dalam pertimbangan hukum-hukum syariah.

“Dulu pernah muncul masalah hukum hijrah ke Jawa ketika orang-orang Quraisy dikejar-kejar oleh gerakan Wahabi di awal berdirinya Arab Saudi. Jawa waktu itu dihuni oleh mayoritas umat Muslim dan relatif damai. Masalahnya, Hindia Belanda pada waktu itu di bawah kekuasaan Ratu Wilhelmina yang kafir. Padahal hijrah ke darul kufr itu haram, maka muncul diskusi bagaimana hukum hijrah ke Hindia Belanda,” jelasnya.

“Fatwa yang keluar dari ulama adalah boleh karena Hindia Belanda dulu pernah dikuasai oleh penguasa Muslim, sehingga status darul Islam itu masih ada dan tidak akan pernah berubah hingga Hari Kiamat sebagaimana statusnya masjid menurut fiqh,” lanjutnya.

Menurut Gus Yahya, hal itu untuk menegaskan urgensi rekonstruksi wacana keislaman karena ketidakjelasan posisi imamah dan wilayah pada saat itu, bahkan hingga kini. Ia mengingatkan bahwa peradaban sudah berubah dan Islam harus memberikan tanggapan. Dalam Islam, pihak yang paling otoritatif dalam memberikan tanggapan adalah ulama.

Ketua Umum PBNU tersebut mencontohkan dua masalah peradaban yang perlu ditanggapi oleh ulama, pertama dalam situasi peradaban yang dinamis ini, siapakah imam dan hakim yang bisa diterima terutama dalam merumuskan dalil syariah dengan segala turunannya, termasuk tentang bagaimana bentuk negara dan sistem pemerintahannya. Kedua, status identitas orang Muslim dan orang kafir hari ini. Kalau setara, bagaimana sistem sosialnya, dan kalau tidak setara, bagaimana kita menindaklanjutinya.

“Allah telah mengancam umat Islam dengan ancaman yang berat kalau meninggalkan ulama. Pertanyaan saya adalah apa ancamannya kalau ulama meninggalkan tanggung jawabnya. Dan tanggung jawab ulama adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peradaban ini,” pungkasnya.