Sebelum Baim Wong mendaftarkan brand dan citra Citayam Fashion Week (CFW) ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Jeje dan kawan-kawan jauh lebih dahulu populer di ranah internet. Di balik popularitas tersebut, selain oleh Baim dkk., mereka sebenarnya juga dikooptasi para influencer pendakwah, seperti Aab El-Karimi dan Fatih Karim.
Dalam konten Tiktok dan Talkshow via Youtube, mereka berdua menyebut bahwa apa yang terjadi di CFW adalah krisis identitas. Rendahnya pengetahuan dasar agama Islam, seperti membaca Al-Qur’an dan beberapa gerakan shalat, menjadi dalih kesimpulan mereka. Bahkan, lebih jauh, mereka juga menyebut CFW adalah akibat ulah dari “ketersingkiran” dan “perundungan” beberapa ustaz, yang lebih dekat dengan wacana dan model dakwah mereka.
Awalnya, saya kira agresi atas Jeje dkk dari sisi agama hanya dari dua influencer pendakwah tersebut. Rupanya tebakan saya salah. Kemarin (28/7), saya menjumpai konten video di Instagram yang merekam dua pemuda berpakaian gaul menanyai dua anak muda yang nongkrong di sekitaran SCBD.
Akun @taqwasquad tersebut merekam dua anak muda ditanyai dan disuruh membaca salah satu surah pendek di Alquran. Walaupun, dengan terbata-bata dan tidak sempurna, anak muda yang ditanyai tersebut masih bisa menyelesaikan membaca salah satu surat pendek tersebut.
Uniknya, di akhir pertemuan anak muda tersebut di-challenge (Ditantang) untuk memakai Gamis, pakaian kemeja panjang khas masyarakat Timur Tengah, di SCBD yang menjadi wadah Citayam Fashion Week. Kedua anak muda tersebut menerima tantangan tersebut tanpa ragu. Jadilah, Citayam Fashion Week menambahkan dua irisan baru di dalamnya, yakni Islam dan anak muda.
Bagaimana kita sebaiknya melihat fenomena ini?
Dari beberapa pendapat para sosiolog yang beredar di berbagai media, CFW dan anak muda di dalamnya lebih banyak dilihat sebagai bagian dari “perlawanan” orang pinggiran. Yakni, remaja Citayam yang selama ini dianggap marginal dan berasal dari kelas ekonomi bawah. Mereka berusaha merebut perhatian di dalam ruang publik perkotaan.
Berbeda jika dilihat dari komentar yang bernada agama, maka CFW lebih banyak dikomentari negatif. Komentar para pendakwah influencer dan tantangan yang diberikan pada anak muda di Citayam tersebut, hanya sebagian dari nada negatif tersebut. CFW beserta anak-anak muda yang nongkrong di sana lebih dilihat sebagai “korban” dari modernitas, seperti sekularisme, pergaulan bebas, hingga tuduhan LGBT.
Sulit untuk membantah bahwa klaim tersebut mungkin terasa sangat “logis” bagi kita. Agama dirasa sangat jauh dari kehidupan anak-anak muda yang nongkrong di Sudirman Centre Business District, yang akrab di telinga kita dengan akronim SCBD. Terlebih, akhir-akhir ini, mulai bermunculan beberapa Content Creator yang mengulik keislaman mereka.
Namun, kita perlu jeli mengulas persoalan keberagamaan dan fenomena CFW ini agar tidak terjebak pada klaim sepihak, seperti status agamis atau tidak. Untuk itu, kita harus melihat anak-anak muda di CFW secara lebih luas dari sekedar status belaka.
Sebab, sebagaimana kita pahami bersama, hari ini anak muda muslim, terutama yang hidup di perkotaan, hidup di masa yang tak terduga, penuh dengan janji akan kebebasan tapi juga, pada saat yang sama, ketakutan. Mereka berhadapan dengan beragam masalah yang rumit, global dan multidimensi.
Di tengah kondisi yang kompleks tersebut, anak muda muslim harus berhadapan dengan proses Islamisasi yang massif, bahkan belum pernah sedahsyat belakangan ini. Artinya apa?
Islam tidak lagi sekedar agama yang bersifat privat, namun, di saat bersamaan, ia juga hadir di ruang publik. Agama tidak lagi sekedar ajaran yang harus dijalankan oleh pemeluknya, namun juga harus dipraktikkan di ranah publik. Di saat bersamaan, mereka juga mengalami revolusi komunikasi digital yang disambut secara bergairah oleh kita semua, yang turut menambah warna dalam kehadiran agama di ranah publik dan digital.
Agama tidak lagi “melulu” bermusuhan dengan modernitas. Anak muda muslim, khususnya di perkotaan, menjadi salah satu pegiat paling gigih dalam menafsirkan dinamika tersebut, mulai dari pakaian, makanan, liburan, hingga hobi yang dilabeli Islami.
Akibatnya, Islamisasi ruang publik pun tak terhindarkan. Aab Elkarimi dengan konten Tiktoknya dan Challenge dari Content Creator bisa saja dilihat sebagai bagian dari mengkooptasi atau merebut “kembali” ruang publik yang selama ini dikuasai oleh kelas menengah, rata-rata “penghuni asli” SCBD, tak berbeda dengan apa yang dilakukan Baim Wong dkk.
Kehadiran CFW adalah anomali yang “tidak pas” dengan kehidupan modern yang telah menguasai SCBD. Beragam “serangan balik” dari kelompok kelas atas dan menengah masih dijumpai hingga hari ini. Jadi, label “kurang agamis” bisa saja terjebak dalam penguasaan ruang, walaupun mungkin disandarkan pada niat yang baik.
Terus bagaimana dengan label “kurang agamis” yang melekat pada anak muda di CFW? Saya rasa lebih bijak untuk mengembalikan persoalan religiusitas ini pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan cara mulai berhenti melihat mereka sebagai makhluk yang paling berdosa.
Saat kita mulai melihat mereka sebagai pendosa, dan kita sebagai penyelamat, maka kita rentan salah langkah atau malah lebih sering menghukumi mereka. Di titik inilah kegagalan agama mewujud sebagai rahmat bagi seluruh alam bermula. Agama lebih banyak berlaku menghakimi, bukan mengayomi.
Dulu, saya pernah melihat seorang kyai yang setiap malam menggelar lapak main kartu di depan rumahnya. Bahkan, sang kyai pun turut ikut bermain kartu. Setelah sekian lama, kyai itu pun bercerita mengapa dia melakukan hal tersebut.
Rupanya, dia ingin para pemuda yang biasa nongkrong di pinggir jalan pada tengah malam tersebut, tidak mengganggu pengguna jalan lainnya. Selain itu, para anak muda tersebut malah aktif terlibat dalam kegiatan langgar yang diasuh oleh kyai tersebut.
Tanpa menghakimi dan melabeli, dakwah sang kyai terasa lebih sejuk ketimbang mengunggah konten yang malah mengekspose perihal keberagamaan mereka. Apalagi sampai menyelipkan narasi lain, seperti mengeksploitasi wacana Islamophobia. Sebagai sesama manusia, kita sudah sewajarnya mendekati mereka sebagai makhluk Tuhan secara setara, bukan melabeli negatif mereka dengan brutal.
Saya rasa kita perlu merenungi analogi yang pernah diutarakan oleh seorang akademisi, “Iman itu seperti lingkaran orbit, semakin beriman maka akan semakin dekat dengan titik lingkaran, sedangkan orang yang kurang beriman artinya sedang berada lingkaran terjauh dari titik orbit”. Artinya, mereka yang “kurang” beriman hanya sedang jauh dari Tuhan, bukan berada di luar.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin