Benarkah Pemerintahan Jokowi itu Islamofobia? Mungkin pertanyaan ini tidak begitu penting bagi para pendiri Gerakan Nasional Anti-Islamofobia (GNAI) beberapa hari lalu. Sebab, bagi mereka, pemerintahan hari ini memiliki indikasi “kebencian” atau takut akan kebangkitan umat Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan mereka sewaktu deklarasi kemarin.
Ada beberapa poin menarik dalam pernyataan yang disampaikan kemarin tersebut, mulai dari himbauan pemerintah untuk tidak lagi menjadikan Islam sebagai masalah, menghentikan stigmatisasi Islam dan umat Islam, tidak mengarahkan narasi moderasi beragama kepada liberalisasi dan sekularisasi.
Dari pernyataan di atas, kita bisa melihat imaji apa yang mendasari pendeklarasian gerakan tersebut. Saya melihat gambaran Islam dalam teori Samuel Huntington sangat mempengaruhi pandangan atau imaji para deklarator. “Islam adalah musuh barat berikutnya pasca keruntuhan Komunisme” secara singkat mungkin beginilah yang ada di kepala mereka.
Benarkah?
Posisi Islam (dan agama lainnya) dalam Pilpres dan beberapa rangkaian pemilihan kepala daerah lainnya, dipercaya sangat berperan mempengaruhi pilihan masyarakat. Rasanya terlalu terburu-buru jika kita hanya menilai agama sang calon menjadi pertimbangan, sebab mempengaruhi pilihan masyarakat jelas harus memiliki daya bongkar rasionalitas yang kuat, dari hanya sekedar seiman.
Sepertinya, narasi pinggiran selain agama sang calon lebih memiliki potensi mempengaruhi orang untuk menjatuhkan pilihan. Hal ini bisa kita lihat pada Pilpres kemarin, kedua calon sama-sama muslim, namun salah satu tokoh dituduh memiliki “sejarah” yang lekat terhadap “ancaman” terhadap Islam, yakni Keturunan PKI.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah lama dilekatkan pada stigma “penghancuran Islam” atau “musuh Islam”. Orde Baru memang sangat sukses dalam membentuk framing ini, bahkan beberapa teman menyebutkan dia sampai mimpi soal imaji yang dikonstruksi tersebut.
Ancaman itulah, saya rasa, merupakan salah satu faktor kunci dalam mempengaruhi pilihan publik. Hingga hari ini, para pemilih muslim jelas menempati posisi pertama dari segi jumlah. Bagaimana pun hal ini dapat menjadi potensi suara yang besar dan sulit ditandingi. Maka, sepertinya ada usaha-usaha untuk melestarikan rasa keterancaman tersebut hingga di tahun politik yang sebentar lagi.
Jadi, apakah narasi Islamofobia adalah pengganti wacana soal PKI? Bisa jadi. Oleh sebab itu, wajar jika gerakan anti-Islamofobia sudah dibentuk hari ini, untuk membentuk opini di masyarakat jelas harus perlu waktu yang panjang, kerja keras, dan yang pasti dana yang tak sedikit.
Sekarang, sepertinya wacana Islamofobia yang diusahakan untuk menggantikan narasi PKI yang sudah cukup usang, karena publik sudah mulai teredukasi dengan baik atas beragam stigma yang melingkupi persoalan politik di tahun 1965 tersebut. Mengapa Islam dipilih untuk mempengaruhi opini dan pilihan publik? Alasannya jelas, jumlah pemilih muslim yang dapat menjanjikan kemenangan di sebagian wilayah Indonesia. Namun, apa yang sebenarnya ditawarkan dalam narasi Islamofobia?
Deklarasi kemarin dihadiri sejumlah tokoh yang tak asing dalam wacana Islamisme di Indonesia, seperti Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif, Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, dan sejumlah tokoh dan aktivis lainnya. Sementara di jajaran inisiator dan pendiri GNAI ada nama Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas, Sekretaris Jenderal PP Syarikat Islam Ferry Juliantono, Cucu pendiri Nahdlatul Ulama KH. Wahab Hasbullah yakni Gus Aam dan lain sebagainya.
Selain itu, sejumlah tokoh juga memberikan testimoni lewat video yang di tayangkan di lokasi acara antara lain Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Ketua Umum PP Syarikat Islam Hamdan Zoelva. Deklarasi dan pernyataan sikap Gerakan Nasional Anti Islamphobia (GNAI) di bacakan oleh Presidium GNAI Ferry Juliantono.
Beberapa kritik yang beredar di Twitter cukup sering mengaitkan sejarah para tokoh-tokoh ini dengan politisasi agama dan identitas, khususnya dalam proses Pilpres dan Pilkada kemarin. Kritik ini memang bicara apa adanya, namun argumen tersebut belum menjelaskan apa yang sebenarnya dijajakan oleh mereka semua ini.
Pendapat Bassam Tibi, Ilmuwan politik kelahiran Damaskus, mungkin bisa kita gunakan untuk melihat apa yang sebenarnya mereka tawarkan dalam narasi Islamofobia, yang jelas sekali berbeda dengan apa yang dikampanyekan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. Mereka mereduksi pesan perlawanan Islamofobia tersebut untuk meraup dukungan dan penguasaan atas yang liyan.
Kembali ke soal Islamisme, “Dengan demikian, Islamisme juga bukanlah—sebagaimana sering digambarkan—bentuk kebangkitan Islam kembali Islam. Islamisme tidak menghidupkan kembali Islam, tetapi malah merekonstruksi Islam yang tidak sesuai dengan warisan sejarahnya,” ujar Bassam Tibi.
Dalam bukunya, Islam dan Islamisme, dalam narasi Islamisme mendambakan kebangkitan kembali sejarah dan kejayaan Islam, namun upaya tersebut—merupakan tradisi yang dibuat-buat. Tibi melihat ini sebagai utopia yang ditawarkan atau diimajinasikan mereka untuk meraih dukungan masyarakat Muslim, yang banyak menjadi korban kolonialisme atau penjajahan Barat. Jadi, Tibi menegaskan bahwa Islamisme bukanlah Islam karena tidak terkait dengan iman melainkan politik. Lebih dari itu, Islamisme berkaitan dengan politik yang diagamaisasikan.
Dalam posisi ini, mereka yang mengampanyekan Islamisme ini dapat “berlindung” dari kritik yang mengarah pada gerakan mereka, dengan menggunakan nama Tuhan, dan menunjuk balik pengkritik telah menyerang agama Allah. Sebab, agamaisasi politik berarti promosi suatu tatanan politik yang dipercaya beremanasi dari kehendak Allah dan bukan berdasarkan kedaulatan rakyat.
Terus apa dampaknya ke publik? Pastinya, kita akan dihadapkan dengan dilema yang tak berkesudahan, sebab emosi kita terus diaduk-aduk karena politik segregatif ini tentu menuntut “pilihan”, dan seringkali tidak kompromi atau menghormati pilihan yang berbeda. Selain itu, kita juga masih rentan disuguhkan “ketakutan” berlebihan, bahkan banyak dari kita yang tidak imun dari permasalahan tersebut.
Dalam sebuah diskusi tahun lalu, saya mendengar ungkapan seorang akademisi hebat, “Mengapa pemerintah kita hari ini mulai membenci Islam, sampai azan pun dibatasi?” Kalimat yang keluar dari mulut seorang begawan ini membuat saya mengerutkan dahi. “Kok bisa kesimpulan tersebut bisa diucapkan oleh seorang yang berilmu tinggi seperti beliau?” pikir saya.
Akhirnya, saya baru sampai pada kesimpulan bahwa “ketakutan” kita akan Islam akan hilang masih dirasakan hingga hari ini, dan ini “dosa” para penjajah politik identitas kemarin, dan kita hari ini kembali “ditawarkan” narasi lain, yakni Islamofobia.
Hati-hati kawan, Islamofobia itu bisa menjadi serigala yang masih berkeliaran mencari mangsa. Dia memangsa keinginan kita untuk membangun bangsa yang hidup adil dan setara. Walaupun mereka memakai argumen yang tertera di pembukaan UUD 1945, namun bagaimana bisa keadilan dan kesetaraan dapat dibangun dari narasi yang tidak mengusung nilai-nilai tersebut. Wacana Islamofobia di sini digunakan untuk membangun “mayoritas” harus di atas, bukan setara.
Padahal, Islamofobia di PBB adalah wacana yang diusung untuk melindungi kesetaraan dan keadilan yang menjadi hak asasi semua manusia. Di sini malah direduksi menjadi barang jualan politik elektoral yang segregatif. (AN)
Fatahallahu alaina futuh al-arifin