Riset INFID dan Jaringan GusDurian tahun 2020 menunjukkan 93% responden yang terdiri generasi muda menunjukkan sikap toleran, 97% mendukung nasionalisme dan bangga menjadi warga negara Indonesia.
Untuk meninjau perkembangan teraktual, INFID bersama Lembaga Demografi FEB UI melakukan riset terbaru berjudul Sikap dan Pandangan Generasi Z dan Millenial di Indonesia terhadap Toleransi, Kebhinekaan, dan Kebebasan Beragama pada 2021.
“Riset ini dinilai penting bercermin pada hasil riset Setara pada 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), di mana ada 422 tindakan dan 238 di antaranya dilakukan oleh negara, yang tertinggi berupa diskriminasi (71 kasus),” ungkap Abdul Waidl, Senior Program Officer HAM dan Demokrasi INFID.
Penelitian ini dilakukan di 18 provinsi, yang mencakup 36 Kota/Kabupaten yang mewakili 81% penduduk Indonesia, dengan total 1200 responden di rentang usia 18-40 tahun.
Alfindra Primaldi selaku koordinator penelitian menerangkan, “hasilnya, ada indikasi sikap positif terhadap inklusivitas agama. Lebih dari 65% responden milenial dan lebih dari 70% responden Gen Z mendukung tempat ibadah untuk agama minoritas di sekolah, lebih dari 80% setuju diberikan pelajaran tentang agama-agama di Indonesia. Hak beragama juga mendapat dukungan positif, yaitu 97% setuju bahwa semua warga negara, apapun agamanya, harus memiliki hak yang sama di hadapan negara, termasuk kesempatan untuk bekerja/membuka usaha.”
Dukungan untuk keragaman juga memuaskan. Sebanyak 99% responden mendukung untuk mempertahankan keragaman suku, budaya dan kelompok agama. Dalam hal kesetaraan gender, hampir separuh dari responden (milenial 42%, Gen Z 46%) menilai sosok perempuan layak untuk menjadi pimpinan negara.
Akan tetapi, beberapa temuan masih mengarah pada kecenderungan eksklusifitas beragama. Misalnya, terdapat 40% responden mendukung peraturan berpakaian di sekolah yang selaras dengan mayoritas agama di daerah tertentu. Isu kepemimpinan juga mendapat prosentase yang mencemaskan, yakni hanya 53% responden Gen Z yang mau menerima pemimpin dari kelompok minoritas. Lebih jauh, 35% responden muda menilai kelompok suku/adat minoritas tidak layak menjadi pemimpin. Bahkan, hanya sekitar 19% yang menilai pemeluk agama minoritas layak untuk menjadi Presiden.
“Kondisi ini perlu direspon dengan merawat sikap-sikap positif dan mengelola sikap-sikap negatif melalui upaya-upaya edukatif. Sekolah, media sosial, tokoh publik, dan generasi muda harus aktif dalam merawat dan menanamkan toleransi, kebhinekaan dan kebebasan beragama,” ujar Abdul Waidl.
Masa depan demokrasi dan nilai luhur kebangsaan Indonesia menjadi taruhan apabila intoleransi di kalangan muda dipelihara tanpa disertai upaya pembangunan manusia yang konkret. Bercermin pada hasil riset ini, INFID mendorong adanya pemberdayaan aktor-aktor kunci mulai dari pemuka agama, orang muda, lembaga pendidikan, dan pemerintah untuk promosi toleransi, kebebasan beragama, dan menghargai perbedaan.
“Ini kewajiban negara untuk mendukung kurikulum pendidikan yang mendukung toleransi, mendukung kebebasan beragama, mendukung perdamaian dan kerja sama,” tutup Abdul Waidl. (AN)