Dalam beragama, kita terlalu disibukkan oleh KLAIM KEBENARAN. Klaim ini melahirkan penyesatan, kekerasan verbal, pemurtadan, pengkafiran. Klaim ini juga melahirkan asersi-diri yang terkadang meragukan dan tidak auto-kritis, seperti klaim bahwa “Islam moderat” adalah bentuk Islam yang final, dan sekian klaim lain yang membius, menjadi perangkat lunak ideologi dalam bawah-sadar umat Islam.
Padahal, yang kita butuhkan adalah KLAIM KEBERPIHAKAN. Dalam beragama, sudahkah Anda berpihak? Anda berpihak kepada siapa? Keberpihakan ini akan memperlihatkan “politis” atau “apolitis”-nya iman Anda, juga seberapa konservatif, liberal, atau progresifnya keberagamaan Anda.
Ada perbedaan antara dua klaim ini. Klaim kebenaran, semakin menguat, semakin membuat orang buta dari kebenaran. Sebaliknya, klaim keberpihakan, semakin tertanam dalam iman, semakin membuat orang mawas dan mengenali diri tentang keterbatasan laku beragama kita — kenaifan, kepolosan, dan keluguan kita dalam beragama lantaran minimnya aksi yang kita lakukan untuk menjadikan agama kita bermanfaat bagi orang lain, atau membebaskan penderitaan orang lain.
Klaim keberpihakan ini hanya mungkin dalam situasi otentik ketika agama berjumpa dengan ketertindasan dan kondisi-kondisi hidup yang memprihatinkan. Ia tidak mungkin muncul dari keberagamaan yang dilakoni di ruang-ruang ber-AC dan sofa-sofa yang nyaman, atau keberagamaan yang disuapi oleh dana-dana pemodal atau elite.