Akhir-akhir ini kabar duka silih berganti datang. Belum hilang rasanya duka atas meninggalnya Prof. Syafii Maarif dan potret kesedihan menyayat yang terlihat dari keluarga Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, atas hilangnya sang putera sulung, Emmeril Kahn Mumtadz di Sungai Aare, Swiss. Beberapa hari ini, kita mendapat kabar bahwa pada hari Senin tanggal 6 Juni 2022, pukul 22.28 WIB, RM. A.B. Kusuma, seorang cendekia senior yang sangat berani dan gigih berjuang dalam jalan kebenaran, berpulang ke haribaan.
Kepergian Pak AB Kusuma terasa sangat menyedihkan, khususnya bagi saya pribadi, karena saya beberapa kali berinteraksi dengan Pak AB Kusuma dalam urusan akademik, ketika proses penulisan tesis. Oleh karena itu, saya ingin memberikan kesaksian tentang ketekunan dan kepedulian seorang A.B Kusuma mengenai kebenaran.
Pengingat yang Luar Biasa
Dalam proses penulisan tesis, saya mengambil tema tentang Piagam Jakarta. Tema ini mengharuskan saya untuk berjibaku dengan dokumen, khususnya tentang BPUPK dan PPKI. Saya kemudian di beri satu referensi oleh kawan, sebuah buku yang berwarna kuning mencolok dengan cover yang sangat sederhana dengan lambang salah satu kampus ternama di Indonesia yang besar dan dominan di bagian atas buku. Buku tersebut berisi notula sidang BPUPK dan PPKI.
Buku kuning tersebut berjudul “Lahirnya Undang Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentok Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan”, tertulis juga di bawah buku tersebut, “Disusun dengan dibubuhi ulasan dan catatan oleh RM. A.B Kusuma”. Buku tersebut diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 2009.
Buku kuning tersebut sangat menarik karena di dalamnya memuat dokumen-dokumen yang tidak pernah ada di buku yang biasa dijadikan rujukan utama ketika membahas mengenai sidang BPUPK, baik itu “Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI” terbitan Sekretariat Negara maupun “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945” karya Mohammad Yamin. Setelah kekaguman akan buku kuning tersebut dan menyadari potensi data yang bisa di ambil untuk keperluan tesis, saya berusaha mencari kontak A.B Kusuma untuk mencoba bertemu guna wawancara.
Setelah mendapatkan kontak RM. A.B Kusuma, saya segera berusaha mengontak. Dengan mengagetkan, tidak lama pesan tersebut langsung mendapat respon oleh Pak Kusuma dan beliau mengatur waktu agar saya bisa berkunjung ke rumah beliau di daerah Pejaten, Jakarta Selatan. Pada hari dan waktu yang ditentukan, saya berkunjung ke kediaman beliau. Setelah mengobrol dengan hangat, saya utarakan maksud saya tentang rencana penelitian dan lagi-lagi Pak Kusuma tertarik dan mendukung.
Beliau kemudian izin untuk ke belakang dan kembali dengan membawa setumpuk buku-buku yang terlihat sudah sangat lama tapi masih terawat dengan baik. Pak Kusuma membuka sebuah buku babon yang dijadikan sebagai sumber primer tentang BPUPK pada masa Orde Baru. Beliau membandingkan dengan bukunya, dan mengatakan bahwa terdapat kekeliruan-kekeliruan yang terdapat di buku babon tersebut.
Menurutnya, kekeliruan-kekeliruan tersebut sangat fatal. Melalui kekeliruan tersebut agenda desukarnoisasi dijalankan. Penulis buku babon tersebut mungkin saja dengan sengaja melakukan kekeliruan tersebut guna kepentingan pribadi, tapi sangat tidak mungkin beliau setuju jika bukunya dijadikan alat untuk agenda desukarnoisasi.
Kemudian setelah itu, Pak Kusuma memperlihatkan arsip-arsip yang ditemukan sebagai sumber penulisan buku kuning dan membuka buku-buku lama yang bisa saya jadikan rujukan dalam penulisan tesis. Menariknya, bukan hanya buku dan letak bukunya di lemari buku yang beliau hafal, Pak Kusuma bahkan hafal perkiraan halaman berapa saja yang membahas mengenai peristiwa Piagam Jakarta maupun mengenai penghapusan “tujuh kata” Piagam Jakarta.
Melihat hal itu, usia hanya angka bagi ingatan Pak Kusuma. Pada akhir pertemuan tersebut, saya dipinjami beberapa buku dengan syarat harus mengembalikannya, karena beberapa kali beliau mendapat pengalaman buruk ketika meminjamkan buku, buku-buku tersebut raib tanpa kabar dan tidak pernah kembali, selain buku saya juga diberi beberapa lembar dokomen, yang sepertinya ketikan ulang, tentang pidato Mohammad Hatta. Menurutnya, pidato tersebut kemungkinan adalah pidato Bung Hatta yang dibacakan pada hari kedua sidang BPUPK (Pidato Bung Hatta tidak ada di semua sumber yang membahas BPUPK, semua orang yang berpidato di hari kedua tersebut juga tidak ada, bahkan sidang keduanya pun dianggap tidak ada).
Cendekia yang Berjuang Mencari Kebenaran
Beberapa hari setelah hari pertemuan dengan Pak Kusuma, Saya tiba-tiba ditelepon oleh beliau dan dikabari kalau beliau akan menjadi pembicara di sebuah acara yang diselenggarakan oleh ANRI di salah satu hotel di Jakarta Selatan. Dalam acara tersebut, Pak Kusuma sempat dengan keras, melakukan kritik terhadap ANRI yang masih saja menyembunyikan Arsip “Koleksi Yamin” dan Arsip “Koleksi Pringgodigdo”. Bukti dari penyembunyian itu adalah keterangan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian yang mencoba untuk mengakses dokumen tersebut, nama saya kemudian disebut oleh beliau dan saya diminta berdiri. Tentu saja saya luar biasa kaget dengan peristiwa itu.
Mengenai masalah tersebut, pada pertemuan pertama saya dengan Pak Kusuma, saya bercerita kalau sudah datang ke ANRI dengan membawa surat pengantar dari kampus untuk bisa mengakses dokumen-dokumen tersebut. Sambil membawa buku kuning, saya mengatakan kalau dokumen tersebut menurut buku kuning sudah tersimpan di ANRI dengan nama “Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie No. 5645-5647”. Pada waktu itu, penjaga di ANRI mengatakan kalau dokumen tersebut masih di Belanda dan isinya sudah dipajang di diorama ANRI, isi diorama tersebut berupa lokasi tempat duduk sidang BPUPK.
Pada acara tersebut, jawaban ANRI terhadap pernyataan Pak Kusuma adalah tindakan (jawaban pegawai ANRI) itu tidak di benarkan, dokumen tersebut memang tidak untuk di akses sembarang orang dikarenakan kerentanan dokumen tua, harus dengan cara khusus untuk memperlakukan dokumen tua, bukan dokumennya masih di Belanda.
Beberapa minggu setelah acara seminar ANRI, saya berkunjung kembali ke rumah Pak Kusuma dengan maksud untuk mengembalikan buku dan bersilaturahmi. Dalam pertemuan kedua itu, Pak Kusuma bercerita kalau pengorbanan dan perjuangan yang beliau lakukan untuk menemukan arsip autentik BPUPK tidaklah mudah. Pada tahun 1991, dengan biaya sendiri beliau berangkat ke Den Haag untuk mencari arsip BPUPK, Sekretariat Negara berjanji akan mengganti seluruh biaya perjalanan tersebut, yang sampai tahun 2017, pada saat pertemuan kedua dengan Pak Kusuma, tidak kunjung diganti.
Semoga sekarang sudah diganti dan Pak Kusuma mendapatkan apa yang sudah menjadi haknya. Selain biaya, pengungkapan arsip autentik BPUPK, menurut Pak Kusuma juga membuat beberapa orang jengkel dengan beliau, walaupun pada akhirnya dokumen arsip BPUPK tersebut digunakan untuk menyempurnakan Risalah BPUPKI/PPKI, edisi III, terbitan Sekretariat Negara pada tahun 1995.
Sang Cendekia sekarang sudah berpulang. Purna sudah tugasnya dalam menyalakan lentera di tengah kegelapan mengenai sumber autentik sidang BPUPK dan PPKI. Lentera tersebut akan terus digunakan oleh semua orang yang akan meneliti tentang BPUPK maupun tentang sejarah Pancasila. Kami yang beruntung pernah berinteraksi dengan beliau, akan selalu bersaksi bahwa RM. A.B Kusuma adalah seorang cendekia yang tegak lurus maju di jalan kebenaran.
Selamat jalan Sang Cendekia, karyamu abadi.