“Menurut Abi (Quraish Shihab) kan semuanya harus seimbang, dibagi waktunya, kalau ada yang ibadah (sunnah) malam, lalu paginya tidur sehingga pekerjaannya terbengkalai, itu hukumnya bagaimana, bi? Kalau ditegur, nanti alasannya saya habis ibadah, ini bagaimana, ya?” tanya seseorang kepada Quraish Shihab dalam acara Kajirans x Shihab & Shihab, “Work-live balance dalam Islam: Seimbang Pekerjaan dan Kehidupan”.
“Kalau ada orang yang melakukan tuntunan sunnah, tetapi itu mengakibatkan ia mengabaikan kewajibannya di esok hari, maka dosanya akan lebih besar,” jawab Quraish Shihab.
Jawaban ini didasarkan pada sebuah kisah pada masa Nabi, saat itu Nabi dan para sahabat beribadah pada malam hari, namun pada paginya para sahabat letih sehingga tidak bekerja, ada sebagian yang sakit pula. Maka Allah SWT menurunkan sebuah ayat:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ۚ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَىٰ ۙ وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا ۚ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Muzammil : 20)
“Karena kewajiban itu harus mendahului sunnah,” ujar pendiri Baitul Quran ini.
Menurut Quraish Shihab, bekerja itu adalah kewajiban. Dianggap sebagai kewajiban, karena berkaitan dengan kelangsungan hidup (hifdzun nafs). Baik kelangsungan hidup dirinya sendiri maupun keluarganya.
Senada dengan Quraish Shihab, Soekarno juga pernah melemparkan kritik untuk orang-orang yang ibadah sunnah di malam hari, semalam suntuk, namun paginya malas-malasan bekerja.
Salah satu kejadian yang disorot oleh Bung Karno tersebut adalah ihwal puasa masyarakat Turki yang terlalu menghabiskan malam untuk begadang dan beribadah, tapi saat berpuasa di siang harinya, mereka bermalas-malasan bekerja.
Bung Karno menulis, “Kita mengetahui semua bahwa puasa di bulan Ramadhan itu, asal kita kerjakan dengan cara yang benar, tidak melemahkan kita punya kegiatan bekerja, tidak membuat kita seperti orang yang sakit TBC, tidak memadamkan perekonomian rakyat.”
Dari potongan tulisan di atas, bagian yang menarik adalah bulan Ramadhan bukanlah bulan yang melemahkan perekonomian, bukan bulan anti bekerja, dan bukan bulan tanpa aktivitas siang hari karena puasa, jika puasa dan beribadah di bulan Ramadhan dilakukan dengan cara yang benar.
“Dilakukan dengan cara yang benar”, di sinilah inti poinnya. Bung Karno hendak mengatakan bahwa orang yang bermalas-malasan di siang hari karena alasan malamnya begadang dan beribadah qiyamul lail, bukanlah orang yang mengerjakan ibadah puasa dengan cara yang benar.
Bung Karno menyoroti perilaku masyarakat Turki pada bulan Ramadhan saat itu. Mereka setiap malam begadang, menghabiskan waktu dari rumah ke rumah untuk silaturrahmi, menghabiskan makanan di malam hari, tidak tidur hingga subuh untuk beribadah, namun paginya mereka tepar, malas-malasan, terlambat datang kerja, dan lain sebagainya.
“Di dalam bulan ini telah dikatakan semua amtenar main kia-kia teledor dan pemalas, sehingga seluruh dinas negara mendapatkan kesukaran yang amat besar. Datang telat, mangkir sama sekali, lekas pulang karena sakit “pusing-kepala”, semua itu dialaskanlah kepada Ramadhan. Perdagangan dan transport seperti mendapatkan penyakit lumpuh, kaum-kaum dagang seperti duduk tidak bernyawa menjaga mereka punya toko, tak peduli barang-barangnya laku atau tidak laku,” tulis Bung Karno menggambarkan bagaimana mundurnya Turki karena orang yang salah memahami kegiatan mencari pahala di bulan Ramadhan.
“dan siapa tidak di bawah orang lain, siapa “tuan sendiri” ia tidur saja sampai sore, menunggu datangnya saat mencari lagi pahala di waktu malam,” tambahnya.
Kritik Bung Karno tersebut harusnya bisa kita ambil sebagai catatan dan pelajaran bagi diri kita. Boleh saja mengejar pahala ibadah sunnah di bulan Ramadhan, bahkan harus, tetapi jangan sampai menjadi alasan bagi kita untuk bermalas-malasan di siang harinya dan melewatkan kewajiban kita sebagai seorang manusia yang seharusnya terus bergerak dan beraktivitas. (AN)