Intelektual Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani mengatakan Organisasi Kerjasama Islam (OKI/OIC) merupakan aset yang perlu untuk dikembangkan. Ini terkait dengan pentingnya kerjasama antar negara-negara muslim.
“OIC berkomitmen untuk kemajuan solidaritas antar anggota,” ungkap Najib (27/01) dalam diskusi bertajuk “Strategi Membangun Jejaring Organisasi Islam dalam Menguatkan Komitmen dan Praktik Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di Dunia”.
Diskusi tersebut merupakan rangkaian acara seminar internasional yang diselenggarakan oleh INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), bekerjasama dengan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan KBRI di Pakistan, Tunisia, dan Malaysia pada tanggal 25-27 Januari 2022.
Menurut Najib, OKI dapat berperan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap isu-isu Islam di negara-negara mayoritas muslim. Bentuk kepedulian ini selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan aksi solidaritas, audiensi antar negara, maupun aksi-aksi lainnya.
Meski demikian, lanjutnya, peranan organisasi OKI perlu untuk ditingkatkan. Hal ini karena organisasi tersebut memiliki kemampuan akses yang luas ke negara-negara muslim lainnya. Salah satu bentuk penguatannya bisa melalui jalur akademisi meskipun hingga saat ini masih minim.
“Selain dalam bentuk ilmiah, penguatan itu juga dapat dilakukan dalam bentuk penyadaran bahwa Islam tidak identik dengan Timur Tengah. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir adanya anggapan, terutama dari Barat, bahwa Islam di Timur Tengah adalah agama teroris,” ungkap Najib.
“Kita harus desentralisasi Islam dari Timur Tengah. Ini akan membuat dunia Barat mengerti bahwa Islam tidak identik dengan Timur Tengah,” tandasnya.
Di forum yang sama, Dekan Fakultas Islam Nusantara (UNUSIA), Jakarta, Ahmad Suaedy, menegaskan bahwa komitmen Islam terhadap perdamaian dunia tidak boleh hanya berhenti pada tataran konsep semata.
“Perbincangan mengenai komitmen Islam terhadap perdamaian dunia tidak boleh hanya dalam tataran konsep saja. Kita harus membawa topik ini ke dalam realitas yang ada.” tegas Suaedy,
Lebih lanjut, dia menekankan pada bagaimana umat Islam mengimplemetasikan rahmatan lil ‘alamin secara konkrit.
“Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah dengan bersikap adil dan tidak melakukan paksaan dalam beragama,” ungkap Suaedy.
Sikap adil, menurutnya, adalah niscaya dalam merealisasikan praktik Islam rahmatan lil alamin, tidak membeda-bedakan suku, ras, dan agama, dan yang paling penting tidak melakukan opresi dalam beragama.
“Tidak ada perdamaian jika terdapat pemaksaan di dalamnya,” tegasnya.
Menurut Suaedy, keharmonisan antar manusia sukar terjadi jika masih ada ketidaksetaraan di dalamnya. “Konsep keadilan juga tercermin dari komitmen kita untuk peduli, tidak hanya kepada Muslim di negara-negara Islam, namun juga Muslim di negara-negara di mana Islam bukanlah agama mayoritas.”
Lebih lanjut, Suaedy menegaskan bahwa Islam Nusantara yang melekat pada Indonesia mampu menjadi role model karena mencerminkan Islam yang sangat membumi. Konsep ini bisa menjadi contoh negara-negara lain dalam mengimplementasikan Islam rahmatan lil alamin. [AK]