Bagi Rahman, Salman Al-Farisi adalah sosok yang berpemikiran terbuka dari keluarga orang terpandang asal Isfahan, Iran. Kegigihan Salman mencari keteladanan dan kebenaran membuat dia mendatangi satu tokoh ke tokoh spiritual yang lain: mulai dari sosok pendeta, hingga bertemu dengan seseorang yang mengarahkan dirinya untuk pergi ke Madinah mencari sosok dengan ciri-ciri tidak menerima sedekah dan ada tanda kenabian di pundaknya.
Pergi ke Madinah, Salman membebek kelompok pedagang yang, ternyata, saat mendekati sebuah daerah dekat Madinah mereka malah menjualnya sebagai budak seorang Yahudi. Meski berstatus budak, Salman tetap berupaya menemui Rasulullah.
Pendek cerita, kesempatan itu pun datang. Momen pertemuan itu dimanfaatkan oleh Salman untuk membuktikan ciri-ciri kenabian pada sosok Nabi Muhammad. Mengetahui ciri-ciri tersebut adalah sesuai, Salman seketika beriman kepada risalah Nabi Muhammad.
“Nabi menerima keislamannya walau berstatus budak dari seorang non-muslim. Saat itu, status Salman adalah seorang budak thogut. Tapi, Rasul tidak memberi syarat agar Salman keluar dahulu sebagai anshor thogut baru boleh masuk Islam. Tidak. Nabi menerima Salman,” ujar Rahman.
Jadi, demikian Rahman, ada kejanggalan dari konsep thogut yang selama ini dipahami kelompok ekstrem. Kejanggalan tersebut terjawab oleh sejarah Nabi.
“Misalnya, ada seorang polisi beragama Nasrani ingin masuk Islam. Karena seorang polisi, apakah kita terlebih dahulu meminta ia berhenti dari profesinya sebagai polisi kemudian diperbolehkan masuk Islam? Nah, itukan melebihi Rasulullah,” gugatnya.
Sejurus setelah membaca sejarah Nabi dan para sahabatnya, Rahman berupaya mencari kebenaran, bukan pembenaran. Ia merasa bilamana cara Nabi SAW menerima Salman meski berstatus budak dari seorang non-muslim itu mencerminkan keluwesan Islam.
Status budak non-muslim bukanlah musuh. Menurut Rahman, aparat negara Indonesia bukanlah anshorut-thogut, karena presidennya seorang yang beragama Islam yang menjamin pemeluk agama mengamalkan imannya. Setelah membaca kisah Salman itu, Rahman bilang ke sipir.
“Pak, saya mau upacara. Saya NKRI,” ujarnya kepada seorang sipir bernama Wandi.
“Tapi, Pak Wandi bilang: pikir-pikir aja dulu. Jangan terpaksa. Hampir setiap hari saya menyatakan itu ke Pak Wandi. Pak Wandi menjawab: yakin tidak?” kisah Rahman sambil terkekeh pilu.
Sebelumnya, Rahman sempat meyakini bahwa upacara itu adalah praktik kekafiran. Tapi belakangan ia berdebat dengan dirinya sendiri.
“Setelah saya telaah sila-sila dalam Pancasila, di mana letak kekafirannya? Kecuali datang ke dukun, saya masih yakin itu kekafiran.”
Meski sudah dua kali ikut upacara, ternyata sipir belum memindahkan ia ke LP Kembang Kuning atau Permisan.
“Setelah empat kali upacara, saya baru pindah ke LP Permisan. Dan, tiga bulan kemudian pulang.”
Setelah menjalani kehidupan dibalik jeruji besi, Rahman merasakan hidupnya menjadi rileks. Ia merasa lebih baik bahkan dari yang sebelumnya ia rasakan dan jalani.
“Sekarang saya jadi akrab dengan Pak RT dan Pak RW. Mereka menilai aktivitas saya positif,” ujar Rahman. Dengan menjadi seperti sekarang, ia mengaku banyak ilmu yang bisa diambil.
Kepulangan Rahman terjadi pada Oktober 2020, setelah beberapa kali mendapat remisi. Ia mengaku sudah berubah, membalikkan segala apa yang di masa sebelumnya diyakininya sebagai kebenaran. Rahman mengaku sesal bahwa pernah mendaku paling benar sendiri.
“Kebenaran secara mutlak adalah langkah yang salah, karena tidak mau menerima pandangan orang lain,” kata dia.
Bagi Rahman, kebenaran bisa dicerap dari mana saja, asalkan itu masih berada dalam koridor keislaman. Hasil pengendapan pikirannya yang cukup panjang itu menjadikan Rahman hari ini; Rahman yang mengakui NKRI sebagai tanah airnya dan karenanya bertekad agar negeri ini harus ia cintai dan ia rawat.
Begitu bebas, Rahman langsung menuju ke Tasikmalaya untuk melampiaskan rindu pada istri dan anak-anaknya. Tiba di rumah kontrakan di Tasikmalaya itu, ia melihat banner Rumah Daulat Buku (Rudalku). Awalnya Rahman agak heran dan kaget. Setelah dijelaskan istri dan anaknya , ia pun mengerti.
Setelah tiga hari di Tasik, Rahman langsung pulang ke Cirebon. Rumahnya di Cirebon tampak tak terawat. Sekitar dua tahun kondisi sebagian rumahnya mengalami kerusakan sana-sini. Ia memperbaiki sebagian rumahnya dengan biaya sendiri dan bantuan dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Cirebon.
“Sekarang, sudah tidak ada lagi ikhwan yang mengajak saya ke Suriah, bahkan sebagian ikhwan memutus kontak,” ujar Rahman.
Ia sebetulnya ingin bertemu menyampaikan pandangan dirinya. Pernah suatu ketika dalam komunikasi telepon, ia bilang kepada seorang ikhwan,
“TNI-Polri yang kita thagut-kan, kita sebut anshorut thogut. Memang, kita tidak melihat presiden shalat atau tidak, tapi kita tahu bahwa dia adalah seorang muslim, bahkan pergi haji. Mengapa kita menyebut TNI-Polri anshor thogut?”
Rahman menilai, seorang pemimpin muslim itu bukanlah thogut sepanjang tidak melarang aktivitas keagamaan.
“Saya menghukumi presiden secara lahiriah adalah muslim dan bukan thogut,” tegas Rahman.
“Masih banyak yang harus dibicarakan di antara kami para jihadis dan mantan jihadis,” lanjutnya.
Tak dimungkiri, masih ada rekan-rekan Rahman yang menganggapnya sudah menyimpang. Tapi Rahman tak mau ambil pusing. Menurutnya, dirinya hanya ingin mencari kebenaran, bukan pembenaran. Ia tak mau taklid hanya mendengar ustadz dari jalur itu-itu saja.
“Sekarang, dari para ustadz bisa saya dengarkan dan ambil. Jika hanya pemahaman dari jalur itu, saya sudah tahu. Kalau dahulu, saya hanya mengaji kepada ustadz Aman Abdurrahman atau Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Selain itu saya menolak, hanya karena kita sudah condong ke situ. Nah, itulah kesalahan fatal menurut saya,” sesalnya.
Baca Juga, Kisah Eks Terpidana Teroris yang Menjadi Jihadis Literasi
Hingga saat ini, Rahman mengaku belum memiliki pekerjaan tetap. Saat ini, ia ingin memiliki usaha distribusi gas LPG rumah tangga, tapi belum memiliki relasi dan modal. Untuk menghidupi keluarganya, ia bekerja apa pun yang diminta oleh kerabat, kolega, atau tetangga.
“Belum lama ini saya bekerja membantu kerabat di Tasikmalaya yang panen padi. Pokoknya, apapun saya kerjakan, asalkan halal. Ada yang menyuruh apapun, saya siap,” terangnya.
Rahman mengaku dapat melakukan banyak hal, di antaranya servis motor, menjahit, dan konstruksi bangunan. Dalam kondisi ekonomi yang belum berkepastian ini, dia masih punya komitmen mengabdikan dirinya untuk anak-anak di sekitar rumahnya dengan mengajar mengaji, mendorong anak-anak dan warga sekitar untuk gemar membaca, serta memberi akses membaca di rumahnya yang kini mempunyai perpustakaan mini.
“Anak-anak yang mengaji di sini tidak banyak, hanya enam orang, mengaji Iqra bakda magrib. Tapi, biasanya mereka yang enam orang ini mengajak teman-temannya untuk membaca buku di sini.”
“Jadi, dengan rumah buku ini, saya sangat terbantu. Saya yang awam, tidak punya pengetahuan yang banyak, semoga dengan aktivitas literasi ini bisa berbagi. Ana kan gak bisa beramal. Aktivitas literasi inilah yang sekarang saya bisa lakukan, setidaknya untuk ikut mencerdaskan anak bangsa. Ke depan, semoga bisa lebih dari ini,” pungkas Rahman.
*) Artikel ini adalah kerjasama islami.co dengan Search for Common Ground