Seperti sudah dikenal luas, perempuan di kalangan muslim beraliran salafi tidak diberikan kesempatan untuk tampil di hadapan publik secara luas khususnya terkait persoalan karir. Kelompok salafi memang tidak melarang perempuannya untuk belajar, namun dibentuk dengan disiplin yang sangat ketat dimana lembaga tempat mereka belajar hanya dikhususkan untuk perempuan.
Alih-alih perempuan di kelompok salafi digambarkan tidak mendapatkan kesempatan untuk tampil di ruang publik, namun ada pergeseran dimana banyak perempuan dari kalangan salafi, meskipun dibatasi juga ruang geraknya di ruang publik, melakukan aktivitas profesional seperti dokter, guru, dan sebagainya. Bahkan, di Arab Saudi, sebagai negara pendukung terbesar ideologi tersebut, kini mengalami pergeseran dimana para perempuan kini sudah diperbolehkan membawa kendaraan pribadi sendiri, dan kini sudah berkiprah di dunia politik seperti menjadi anggota parlemen, pengajar, ataupun pekerja profesional.
Membaca pergeseran eksistensi perempuan yang berada di bawah bayang-bayang ideologi yang konservatif ini menjadi menarik jika kita juga merefleksikannya pada bagaimana situs-situs keislaman yang memiliki ideologi tersebut.
Bagaimana, dalam hal ini, situs-situs keislaman konservatif, menjelaskan aktivitas perempuan bekerja di ruang publik sebagai sebuah praktik yang semestinya tidak dilakukan karena sangat mungkin terjadinya apa yang mereka sebut sebagai percampuran antara laki-laki dan perempuan.
Seperti dikutip Adis Duderija dari Mernissi, sudut pandang muslim tradisional seperti kelompok salafi, memandang bahwa perempuan memiliki potensi godaan bagi laki-laki yang disaat yang sama memiliki nafsu yang tinggi, sehingga perlu dilakukan “perlindungan dari luar”.
Jika itu tidak dilakukan, maka perempuan, dalam hal ini akan merusak tatanan sosial yang sehat, tentunya, berdasarkan definisi yang sepenuhnya dirumuskan oleh kelompok laki-laki (Adis Duderija: 185-186).
Sebagai sebuah studi kasus, Situs muslimah.or.id adalah salah satu dari sedikit situs salafi yang menaruh perhatian khusus terhadap prempuan. Bahkan, situs ini bisa dikatakan secara khusus dikelola oleh para perempuan dan dibawah pengelolaan Yayasan Pendidikan Islam Al-Atsari (selanjutnya: YPIA), sebuah lembaga pendidikan beraliran salafi ala Saudi yang diantara fokusnya adalah membuat pendidikan keagamaan untuk mahasiswa di sekitar Yogyakarta.
YPIA merupakan lembaga yang juga melahirkan sejumlah ustadz dari kalangan salafi yang kini sudah dikenal luas atau memiliki lembaga sendiri, seperti Ustadz Ammi Nur Baits dan Ustz. M. Abduh Tuasikal, yang kemudian mendirikan rumaysho.com lalu Pesantren Darus Shalihin di Gunung Kidul. Rumaysho.com.
Saya mengambil kasus dengan kata kunci “perempuan bekerja” di dalam situs muslimah.or.id. Hasilnya, dari 7 artikel yang ditampilkan di halaman 1 hasil pencarian (ada 4 halaman hasil pencarian dari penggunaan kata kunci “perempuan bekerja”), ada empat artikel yang terkait langsung dengan frasa perempuan bekerja tersebut, 1) perempuan bekerja boleh saja, asal … ; 2) hukum wanita bekerja dan berdagang ; 3) wanita tetap wanita ; 4) bangga menjadi ibu rumah tangga.
Tulisan Pertama : Perempuan Boleh Bekerja, Asal…
Dengan menggunakan judul « perempuan boleh bekerja, asal… », tulisan tersebut memulai dengan pernyataan bahwa Islam memuliakan wanita.
Landasannya dimulai dengan penghapusan aneka macam tradisi yang sangat merendahkan wanita, misalnya bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap memalukan di masa itu memiliki bayi perempuan.
Argumen berikutnya adalah Islam – sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw. – mewajibkan laki-laki untuk menafkahi istri dan keluarganya, tidak hanya berupa makanan, tapi juga kebutuhan pakaian dan sebagainya. Itu sebabnya, menurut tulisan tersebut, perempuan dibolehkan untuk mengambil uang suaminya, jika suaminya ternyata adalah orang yang pelit dalam menafkahi keluarganya. Kisah ini masyhur disebutkan dalam kitab-kitab hadis, yaitu tentang aduan Hindun bin ‘Utbah kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu tentang perilaku suaminya, Abu Sufyan yang pelit dalam memberi nafkah.
Perspektif yang konservatif dalam memahami posisi perempuan tergambar dari argumen bahwa wanita berbeda dengan laki-laki. Dan karenanya, tidak bisa bebas keluar rumah atau eksis di ruang publik.
Penulisnya menggunakan perspektif kalau perempuan secara fisik memang kalah dari perempuan, dan karena perempuan lemah lalu lemah lebut, ia “ditakdirkan” untuk tidak bekerja di luar rumah, mengurusi rumah dan anak-anak.
Bahkan, penulisnya menggunakan argumen “biologis” yang menganggap posisi perempuan menjadi minor, misalnya perbedaan hormon, psikologi perempuan yang mudah tersinggung khususnya ketika haidh, sampai menyatakan kalau susunan otak perempuan menunjukkan kalau otak laki-laki lebih unggul dibandingkan perempuan.
Artikel ini juga menyebutkan sekian pekerjaan yang menurutnya – cocok untuk perempuan. Disebutkan misalnya menjadi dokter, perawat, bidan, guru, penjahit, bekerja di bidang pertanian, dan pekerjaan lainnya. Namun seluruhnya menggunakan koridor “menghindari fitnah”, yang dilakukan berupa tidak bercampurnya antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan tersebut.
Pertemuan dengan laki-laki dikemas dalam konteks kondisi darurat, bukan keadaan yang semestinya. Maka ketika seorang dokter adalah perempuan, ia hanya boleh mengobati pasien perempuan kecuali memang tidak ada sama sekali dokter laki-laki sehingga laki-laki hanya punya pilihan untuk berobat kepada dokter perempuan. Perspektif sama diulang-ulang dalam profesi lain, misalnya perempuan berdagang, perempuan menjadi petugas keamanan, dan pekerjaan lainnya yang biasanya meniscayakan interaksi laki-laki dan perempuan.
Ada juga pekerjaan yang disebut-sebut, sebaiknya tidak dilakukan oleh perempuan, misalnya perempuan bekerja sebagai penyembelih dan pemotong daging karena – menurut penulisnya – tidak sesuai dengan tabiat wanita dan menyebabkan anggota tubuh tersingkap seperti lengan dan kaki.
Tulisan Kedua: Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
Karena kalau perempuan boleh bekerja dengan batas-batas yang seluruhnya mengimajikan adanya potensi yang sangat besar dan berulang terjadi, yaitu “fitnah” dalam interaksi laki-laki dan perempuan, maka menjadi ibu rumah tangga disebut sebagai aktivitas yang jauh lebih mulia.
Penulisnya mengutip sejumlah ayat Al-Quran dan hadis, yang pada intinya menjelaskan kalau perempuan menjadi ibu rumah tangga adalah fitrahnya. Dasarnya misalnya menggunakan surah An-Nisa’ [4]: 34 yang mengartikan kata qawwaam sebagai pemimpin dalam ayat tersebut, sehingga selayaknya perempuan dipimpin oleh laki-laki dan memelihara kehormatan dirinya dengan tidak keluar rumah.
Dalam bagian lain penulisnya – dengan menyebut kalau mengutip dari pendapat Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, dikenal luas sebagai Mufti Arab Saudi sejak tahun 80-an hingga wafatnya di tahun 1999 – menjabarkan kalau laki-laki dan perempuan sudah memiliki kewajiban yang sesuai koridornya masing-masing.
Laki-laki sebagai suami bertugas mencari nafkah. Sementara perempuan berkewajiban mendidik anak, memberikan kasih sayang, menyusui, mengasuh, mengurus pendidikan, dan mengobati mereka. Sehingga kalau perempuan sampai memutuskan untuk berkarir di luar, maka ia sedang melalaikan kewajibannya terhadap keluarga.
Pandangan ini kemudian segera dikontraskan dengan « perilaku wanita di negara barat », yang dibuk berkarir dan melalaikan kewajiban mengurus dan mendidik anak.
Ia juga mengkontraskan dengan pandangan penulis barat bernama Samuel Smills (Samuel Smiles ?) yang menyatakan “sungguh aturan yang menyuruh wanita untuk berkarir di tempat-tempat kerja, meski banyak menghasilkan kekayaan untuk negara, tapi akhirnya justru menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena hal itu merusak tatanan rumah tangga, merobohkan sendi-sendi keluarga, dan merangsek hubungan sosial kemasyarakatan, karena hal itu jelas akan menjauhkan istri dari suaminya, dan menjauhkan anak-anaknya dari kerabatnya, hingga pada keadaan tertentu tidak ada hasilnya kecuali merendahkan moral wanita, karena tugas hakiki wanita adalah mengurus tugas rumah tangganya…”.
Dari kedua tulisan tersebut, saya menyimpulkan bahwa para penulis di situs salafi khusus perempuan tersebut, muslimah.or.id, sangat ingin menegaskan bahwa potret wanita muslimah ideal dalam persoalan bekerja di luar rumah adalah tidak dilakukan jika itu sampai menimbulkan apa yang disebut fitnah.
Bahkan untuk menguatkan itu, dalam salah satu tulisan penulisnya sampai menyebutkan argumen yang terkesan menegaskan kalau secara strata biologis pun, perempuan dianggap satu tingkat di bawah laki-laki, seperti berbicara terkait ketidakstabilan hormon sampai susunan otak.
Argumen dari barat pun – juga digunakan sepanjang mendukung gagasan utama kalau perempuan sudah seyogyanya di rumah. Di samping juga menggunakan argumentasi-argumentasi sumber ajaran Islam sendiri yaitu ayat Al-Quran dan Hadis semisal hadis-hadis tentang fitnah wanita, perempuan seyogyanya meniru para istri Nabi Saw yang tidak ditemui kecuali dari balik tirai, dan sebagainya. Semua itu dalam konteks – yang menurut penulis – mengagungkan perempuan layaknya ratu dalam kemegahan istana.
Konsep fitnah dalam relasi laki-laki dan perempuan diulang-ulang di berbagai tempat untuk menegaskan bahwa perempuan tidak selayaknya berinteraksi dengan lawan jenis dengan alasan bekerja. Interaksi hanya dibolehkan dalam kondisi yang disebut darurat, dan dipastikan tidak terjadi dimana laki-laki tergoda oleh perempuan.
Sehingga kondisi ideal adalah ketika perempuan menjadi ibu rumah tangga. Konsep perempuan sebagai ibu rumah tangga – bagi penulis di situs tersebut – adalah konsep yang mulia karena disebut memiliki landasan di dalam Al-Quran dan Hadis, semisal hadis tentang takutlah terhadap fitnah perempuan atau perempuan adalah pemimpin di rumah saat suaminya tidak ada.
Sehingga, konsep pemisahan peran gender dianggap sebagai sebuah bimbingan ilahi, tidak untuk dinegosiasikan, dan tidak berhubungan dengan konteks sosial kemasyarakatan tertentu.