Jatuh bangunnya rezim negara lain sebenarnya tidak perlu ditanggapi secara berlebihan, kecuali terjadi di negara tetangga yang berbatasan langsung. Anehnya dalam kasus Afganistan, ada satu pihak, kelompok “Eforia”, menganggap seolah olah kemenangan Taliban adalah kemenangannya. Mereka ini adalah pendukung khilafaisme dan pengikut Alqaeda serta ISIS.
Pada sisi lain terdapat kelompok “paranoid” di mana kemenangan dan berdirinya kembali “Imarat Islam Afganistan“ dianggap sebagai bencana besar dan menjadi ancaman nasional. Mereka ini adalah kelompok yang berpandangan sekularistik dan cenderung Islamphobia.
Sikap keduanya sangat subyektif dan tidak didasarkan pada argumen yang sahih. Setiap negara mempunyai budaya dan sejarah politik yang berlainan, sehingga mempengaruhi sistem politik apa yang mereka pilih. Seperti diketahui sejak abad ke XVIII Afganistan dipimpin oleh dynasti Barakzai yang didirikan oleh Dost Muhammad Khan dengan gelar “Emir“ dan negara disebut “Emirat,” berbasis Islam Sunni Deobandi. Sebelumnya Afganistan juga dikuasai oleh rezim Islam antara lain dunasty Mughal yang kekuasaannya mencapai anak benua India.
Emir terakhir Emirat Afghanistan, Mohammad Zahir Shah (1933-1973) digulingkan oleh sepupunya Daud Khan yang kemudian mengubah sistem menjadi sistem demokrasi, tetapi hanya bertahan sampai 1978 karena dikudeta oleh partai komunis yang dipimpin oleh tiga serangkai Moh Taraki, Babrak Karmal dan Hafizullah Amin, yang lalu mendirikan mendirikan rezim komunis. Rezim ini dibantu Uni Soviet yang mengirimkan pasukan pada tahun 1980 dan berada di sana sampai 1989.
Sejak 1984 tujuh fraksi Mujahidin yang mendapat dukungan dari AS/NATO, Saudi Arabia, Pakistan dan sejumlah negara non-komunis lainnya (termasuk Indonesia) melakukan perlawanan militer sampai penarikan Soviet mulai 1989. Selama perang Afganistan itulah terbentuk embrio terorisme (Al-Qaeda), antara lain karena partisispasi dari kelompok radikal yang beroposisi di negara masing-masing, misalnya kaum radikal Mesir dan DI/TII Indonesia
Sistem demokrasi yang diterapkan oleh Mujahidin tidak berhasil membawa keamanan dan kesejahteraan, akhirnya dijatuhkan oleh Taliban yang dipimpin oleh Mullah Omar pada tahun 1996, yang lalu mendeklarasikan “Emirat Islam Afghanistan”. Taliban terdiri dari para pelajar/santri (taliban) yang juga terlibat perang bersama Mujahidin melawan Uni Soviet. Kemenangan Taliban tidak terlepas dari dukungan Arab Saudi dan Pakistan.
Dengan alasan Taliban tidak kooperatif menyerahkan Osama bin Ladin setelah peledakan WTC september 2001, AS/NATO menyerbu Afghanistan dan mengembalikan kekuasaan Mujahidin. Osama sendiri beserta 200 teroris Al-Qaeda bisa berada di Afganistan karena diusir dari Sudan pada pertengahan 1996 ketika Mujahidin berkuasa di Afghanistan. Sejak itulah Taliban melakukan perlawanan terhadap pasukan pendudukan AS/NATO.
Sejak era Trump, AS melakukan perundingan dengan Taliban melalui Biro Politik Taliban di Qatar (fraksi Akhundzada) dan berlanjut dalam pemerintahan Joe Biden dalam rangka penarikan pasukan AS/NATO. Bahkan ketu tim perunding Afghanistan Mullah Abdul Ghani Baradar yang pernah menjadi tahanan CIA dan ISI (intelijen Pakistan) hadir dalam perundingan di Camp David. Artinya AS/NATO menganggap Taliban fraksi Akhundzada bukan organisasi teroris.
Dari nama negara “Islamic Emirate atau Emirat Islam Afghanistan “ jelas merupakan kelanjutan dari bentuk negara sebelumnya. Hanya di kekuasaan sebelumnya penerapan syariat Islam dilakukan secara lebih ketat dan pembatasan hak-hak wanita. Tampaknya Taliban meniru Arab Saudi dan Emirat Islam Afghanistan jilid kedua yang dideklarasikan kembali pada 15 Agustus 2021 juga menyesuaikan perubahan di Arab Saudi yang mulai melonggarkan syariat Islam dan hak hak wanita.
Seperti halnya kerajaan Arab Saudi, Emirat Islam Afganistan tidak mengikuti apa yang disebut dengan sistem khilafah. Dengan sendirinya kekuasaan baru Taliban tidak akan mentolelir keberadaan “ISIS propinsi Khorasan” di Afghanistan. Pemerintahan inklusif yang akan dibentuk dan tindakan simbolik dengan mengeksekusi Pemimpin ISIS Asia Selatan Abu Omar Al Khorasani hanya 4 hari setelah menduduki Kabul memberikan indikasi jelas bagaimana sikap Taliban yang baru terhadap terorisme.
Sebagai catatan, Mujahidin dan Taliban menampung Osama pada 1996, selain belum ada bukti atau kejelasan atas keterlibatan dalam aksi terorisme, juga ada rasa sungkan terhadap Osama karena dianggap ikut berjasa dalam perjuangan melawan Uni Soviet. Bahkan ketika AS mendesak untuk menyerahkan Osama setelah peledakan WTC pada 2001, Taliban meminta agar Osama diadili di negara netral cq Pakistan. Tetapi sayang negara itu menolak dan akhirnya AS/NATO menyerbu Emirat Islam Afganistan.
*) As’ad Said Ali, mantan Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) RI serta Waketum PBNU.