Menteri Sosial Tri Rismaharini sedang jadi sorotan publik. Saat artikel ini ditulis, Bu Risma menduduki lima besar trending topic di Twitter. Pemantiknya, Bu Risma mengancam ASN yang tidak becus bekerja akan dipindahkan ke Papua. Ini terjadi saat Bu Risma mengumpulkan ASN yang bertugas di Balai Wyata Guna, Kota Bandung, Jawa Barat, dan lalu marah-marah (13/3).
Saya sertakan pernyataan yang dikutip oleh detik.com:
“Tolonglah, rakyat susah saat ini. Teman-teman itu masih beruntung, setiap bulan ada gaji. Coba yang jualan di luar, gimana mau ngasih makan mereka kalau masak gitu aja modelnya. Masak telur saja kayak gitu modelnya. Tolong belajar, teman-teman ini bekerja di Kementerian Sosial, paham? Saya nggak bisa pecat orang, tapi saya bisa pindahin ke Papua.”
Akibat dari bahasa geram tersebut, Bu Risma dinilai oleh warganet sebagai pejabat rasis. Tapi, pihak Kemensos RI segera membantah isu rasisme tersebut. Kemensos menegaskan Risma sangat menyayangi Papua.
“Tadi pagi kami dialog dengan Ibu Menteri dan Ibu tidak berpikir begitu. Ibu itu sangat sayang dengan Papua itu, beliau itu punya track record sangat baik dengan Papua,” kata Dirjen Rehabilitasi Sosial Harry Hikmat di gedung Konvensi TMPN Utama Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (14/7/2021).
Mumpung lagi jengkel, sekalian saya keluarkan uneg2 yg tersimpan sejak kemaren.
Bu Risma, sebaiknya njenengan minta maaf atas pernyataan soal ASN tak kompeten akan dibuang ke Papua kemaren. Ini pernyataan yg mengandung rasisme tersembunyi, selain ndak patut dlm adab politik.
— Ulil Abshar-Abdalla (@ulil) July 14, 2021
Betapapun, Papua memiliki konteksnya sendiri. Sebagai penanda, Papua mungkin bersifat biasa saja, merujuk pada petandanya yaitu berupa konsep tentang sebuah pulau yang menyerupai kepala gajah, berada di bagian paling Timur Indonesia, berikut segenap sistem sosial, kultural, dan masyarakat yang berada di dalamnya. Relasi antara kedua hal yang bersifat arbitrer antara penanda dan petanda tersebut lalu disebut sebagai tanda.
Hanya saja, tanda (sign) seringkali tidak merujuk pada sesuatu dalam dirinya. Tanda adalah sesuatu yang merujuk pada yang lain. Dalam sebuah ungkapan yang terkenal, Roland Barthes menyebut “It is what is not”.
Demikian halnya ketika Bu Risma melontarkan “Papua” sebagai alternative wording dari kata “pecat”. Secara denotatif, “Papua” yang dirujuk Bu Risma boleh jadi bermakna tekstual apa adanya. Hanya saja, selubung makna yang disasar Bu Risma melampaui hal itu, yaitu derajat “Papua” sebagai mitos yang dihasilkan oleh proses konstruksi media dan sistem sosial.
Untuk diketahui, “pecat” dalam konteks masyarakat Indonesia dikenal sebagai punishment paripurna terhadap seorang pekerja. Ini tentu saja merupakan kabar yang tidak menggembirakan dan bahkan mematikan karena itu berarti hilangnya mata pencaharian seseorang. Apalagi dalam konteks pandemi Covid-19 ini, kata “pecat” adalah sama mencekiknya dengan covid itu sendiri.
Dengan begitu, alternative wording yang dipilih Bu Risma, yakni “pindahin ke papua” menunjukkan asosiasi pada satu tindakan yang berakibat serius. Wording ini merupakan bahasa pendisiplinan dengan unsur penghukuman. Dalam pengertian ini, Papua tidak lagi menjadi netral, dan lebih dari itu, ia digunakan Bu Risma untuk sebuah praktik bernama kekerasan lewat bahasa.
Proses-proses kekerasan bahasa seringkali memunculkan proses peliyanan. Wening Udasmoro (2021) dalam artikel berjudul Bahasa Kekerasan dan Pilar Kekuasaan Baru di Masa Pandemi menyebut proses peliyanan ini merupakan sebuah konstruksi sosial yang lebih banyak dikaitkan dengan persoalan identitas. Proses peliyanan juga berpeluang menciptakan diskriminasi berbasis gender, ras, agama, kelas sosial, usia, yang itu semua memunculkan potensi ketegangan dan kekerasan sosial.
Papua tidak lepas dari proses peliyanan tersebut. Saat memperingati Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia setiap 21 Maret, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan potensi rasisme institutional yang terjadi terhadap orang Papua selama berpuluh-puluh tahun masih terus berlanjut. Ini tercermin dengan masih banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum di Papua dan Papua Barat yang belum memiliki skema akuntabilitas yang jelas.
Lebih jauh, Usman menyebut jika di triwulan pertama tahun 2021 ini, sudah terdapat setidaknya tiga kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan yang berakibat pada kematian lima warga sipil.
Di masa sebelumnya, kasus rasisme yang berujung pada kekerasan fisik juga sempat menimpa Oby Kagoya, mahasiswa Papua yang berkuliah di Yogyakarta. Kepala Oby Kagoya diduga diinjak sepatu yang dikenakan aparat dan wajahnya tertelungkup ke tanah. Selain itu ada juga ujaran rasis yang menimpa para mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur tahun 2019.
Rupanya, proses peliyanan terhadap warga Papua juga terjadi di wilayah budaya populer. Melalui film, tayangan televisi, dan bahkan buku teks sekolah, negara seolah membiarkan (kalau tidak melanggengkan) sikap rasis terhadap warga Papua.
Misalnya saja Denias, Senandung di Atas Awan, film ini merupakan salah satu contoh tontonan yang bercerita tentang anak Papua. Film tersebut masih menggambarkan citra anak-anak Papua yang primitif, terbelakang, miskin, dan cenderung suka berkelahi.
Gambaran yang penuh stereotip juga mudah kita temui dalam beberapa film bertema Papua lainnya. Serial drama remaja Diam-Diam Suka di salah satu televisi swasta, umpamanya, menggambarkan bahwa orang Papua itu bodoh, aneh, dan primitif.
Tayangan lain yang sejenis bisa kita jumpai dalam tayangan komedi Keluarga Minus. Di sana, kita akan mengingat sosok Minus yang lucu dan terkadang berlaku konyol. Tayangan tersebut memberikan sesuatu hal yang relatif baru, yakni kemunculan wajah Papua dalam televisi. Walakin, kemunculan tersebut cenderung memposisikan Papua sebagai bahan olok-olok dan seolah layak ditertawakan. Padahal secara tidak sadar hal tersebut akan melanggengkan stigma terhadap orang Papua, yakni stigma terbelakang dan konyol.
Lebih serius, sebuah penelitian Benni Irawan dari UGM menjelaskan bahwa kendati etnis Papua sudah sering hadir dalam buku teks SD, tetapi relasinya dengan figur yang lain tetap saja inferior. Ketika disandingkan dengan etnis lain, Papua masih dianggap lebih rendah dan dianggap sebagai furnitur pelengkap belaka.
Wa ba’du, semua stereotip tentang Papua yang tidak saja hadir tetapi juga dihadirkan oleh media ternyata turut dipertegas oleh negara, dalam hal ini lewat tindak tutur Bu Risma di atas. Ini tentu saja menyedihkan. Marah-marah sih boleh saja, tapi kalo rasis mbok ya jangan.
Ah, Bu Risma ini pas jadi Menteri Sosial pasti gak lewat jalur TWK.