Di era 4.0, walaupun upaya formal untuk mendorong terjadinya pembelajaran yang inter-ataupun multi-disipliner telah di gaungkan, entah yang berupa amanat Kementerian ataupun berupa wacana dalam kampus, namun tradisi belajar secara inter- ataupun multi-disipliner belum menjadi tradisi bagi banyak mahasiswa.
Kata ‘belum’ sebenarnya agak sedikit sanksi digunakan karena pada faktanya tradisi itu pernah subur di kalangan mahasiswa pra-millenium. Di banyak buku-buku bunga rampai, majalah terbitan lembaga pers mahasiswa, ataupun majalah-majalah komunitas anak muda terbitan terdahulu, mudah untuk menemukan tulisan yang topiknya tidak linear dengan latar-belakang si penulisnya.
Sekilas, mungkin menimbulkan kesan ‘ketidak-pakaran’, namun kalau diamati keseluruhan substansi tulisannya, biasanya dapat ditemukan banyak sintesis argumen ataupun kacamata yang corak anyamannya tak mungkin didapat dari satu sumur keilmuan―yang kemudian dapat dibuktikan lewat referensi yang digunakannya.
Jadi, mungkin lebih tepat jika kata ‘belum’ diganti kata ‘telah luntur’. Dengan kata lain, tradisi belajar inter- ataupun multi-disipliner telah luntur di banyak kalangan mahasiswa.
Mengapa ini penting? Karena menulis adalah salah satu indikator kemampuan problem solving. Di dalamnya ada proses pemetaan klasifikasi, kategorisasi dan pencarian benang-benang yang saling terhubung antar sub-kategori. Setelah semuanya terang, kemampuan manajemen pengetahuan dan analisis sangat menentukan apakah masalah itu berhasil dipecahkan atau tidak.
Dalam proses itu, menulis adalah creatio ex nihilo, mencipta dari ketiadaan. Seseorang mencerap realita dan membedahnya secara sistematis agar dapat melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain. Sesuatu itulah yang perlu dibagi agar kehidupan bersama selalu bergulir pada kondisi yang lebih baik.
Kalau semangat itu bersemarak, maka mengindikasikan bahwa willful ignorance―atau kecuekan yang disengaja―tidak menempel pada seseorang atau komunitas. Willful ignorance menciptakan mentalitas yang menerima apa adanya, kehidupan tanpa pertanyaan dan mendorong pengulangan kekeliruan. Dengan kata lain, stagnansi kehidupan.
Dalam konteks ini, tradisi belajar secara inter- ataupun multi-disipliner berperan untuk menunjang ketajaman dalam membedah realita dan untuk memastikan bahwa seseorang atau komunitas tidak kehabisan stok pertanyaan (masalah).
Hidup bermasalah kalau dirasa tidak ada masalah. Pertanyaan dan rasa penasaran adalah jantung manusia. Sekali semangat ini hilang, seseorang akan sulit untuk tidak digantikan oleh robot yang kini sedang diarahkan untuk punya rasa penasaran dan imajinasi.
Di kampus, stimulus untuk menumbuhkan tradisi belajar secara inter- ataupun multi-disipliner memang telah ada. Misalnya, melalui komposisi mata kuliah yang berwarna dan kegiatan-kegitan diskusi di selasar. Namun sayangnya tradisi itu hanya tumbuh di sebagian kecil mahasiswa.
Hal ini disebabkan, salah satunya, karena masih mendominasinya cara pandang pragmatis dalam menjalani proses pendidikan. Linearitas pilihan studi sering kali dihubungkan dengan prospek kerja di kemudian hari. Implikasinya, kuliah terpeleset menjadi ritual formal yang terkungkung pada satu disiplin ilmu untuk sebatas menyempurnakan transkrip nilai.
Substansi utama kuliah seperti kemampuan memecahkan masalah, percaya diri dalam menghadapi perubahan, jujur terhadap pikiran sendiri dan kritis terhadap situasi, justru terpinggirkan dan menjadi kompetensi yang eksklusif dimiliki sedikit individu.
Dalam potret yang lebih besar, fenomena ini dapat dipahami dari dua arah. Pertama sebagai buntut dari pembangunan manusia yang lebih berorientasi pada ekonomi dibanding orientasi sains. Sehingga, semangat pragmatis jauh lebih semarak dibanding semangat menejalajahi ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah hidup.
Kedua, tingginya penggunaan gawai di kalangan anak muda bertalian erat dengan perubahan perilaku dan mentalitas belajar mahasiswa. “Sekarang udah gak kaya dulu. Dulu orang masih mau ngetik, pake mesin Tik dan dituntut buat baca. Sekarang mau ngetik gampang tinggal copy-paste dari Internet. Yang beli buku akhirnya jarang,” tutur Pak Ari, sosok yang menggawangi Toko Buku LP3ES sejak tahun 1993.
Lunturnya tradisi belajar secara inter- atapun multi-disipliner, pada gilirannya, mengubah atmosfer belajar pada corak yang monokrom. Dengan kata lain, pengetahuan arus utama terpatok pada pembakuan materi, pertanyaan ataupun perspektif yang sering ditentang ketika ada upaya melintas-batas disiplin ilmu.
Dalam konteks Indonesia, dulu, patok ini sangat dirawat oleh kalangan pengajar. Kontrol ideologi rezim Orde Baru dan kebutuhan industri atas sumber daya manusia yang lunak kritisismenya adalah dua faktor yang memengaruhi pengajar dalam mendidik mahasiswa. Kebutuhan ini muncul demi menjaga stabilitas politik dan demi lancarnya proses social engineering.
Patok itu termanifestasikan melalui mata kuliah. Jurusan sosiologi, misalnya, memiliki mata kuliah sosiologi pembangunan, namun tidak memiliki mata kuliah sosiologi ketimpangan, karena yang belakangan disebut identik dengan perspektif kiri ala Marx yang dilarang oleh Orde Baru. Sedangkan yang pertama disebut, memang diarahkan untuk menunjang pembangunan ekonomi kapitalistik.
Kini, patok itu memang mulai luntur. Sebagian pengajar generasi baru telah mendorong terjadinya proses belajar yang inter- ataupun multi-disipliner. Namun atmosfer belajar yang monokrom sudah terlanjur mengakar.
Pada satu sisi, kepentingan rezim masih menjadi faktor yang berlaku. Di lain sisi, energi belajar sebagian mahasiswa telah terkondisikan sebatas untuk memenuhi nilai, dan masih jauh untuk memenuhi penjelajahan lintas-batas. Hal ini dapat dipahami melalui kasus ilmu komunikasi, sebuah disiplin yang kini menjadi ujung tombak era 4.0.
Disiplin-disiplin seperti matematika, ilmu data, desain, penyiaran, penyuntingan video, politik dan pendidikan semuanya dilebur dalam semangat ilmu komunikasi, minimalnya untuk memahami jejaring wacana, mitigasi hoaks, literasi media, dan untuk menjawab kebutuhan industri digital atas tenaga kreatif yang melek teknologi.
Komposisi peleburan ini―di saat yang sama―selaras dengan gairah teknofilia yang meletup di kalangan anak muda, baik sebatas euforia pergaulan ataupun setinggi cita-cita kerja pasca-wisuda.
Namun muatan seperti sejarah media, evolusi kognisi akibat media, isu dehumanisasi dan perubahan logika budaya masyarakat cenderung berada pada posisi yang tersier. Hal ini dapat dibaca bahwa, jika muatan yang pertama dipinggirkan, sementara muatan yang kedua diutamakan, maka kepentingan ekonomi yang diagendakan melalui ilmu komunikasi dapat terganggu oleh tumbuhnya kesadaran kritis atas dampak budaya dan sosiologis yang ditimbulkannya.
Dengan kata lain, pengarus-utamaan pengetahuan, selain ditentukan oleh energi belajar mahasiswa, juga ditentukan oleh dikte rezim. Ini menjadi masalah karena pada gilirannya proses identifikasi dan pemecahan masalah hidup akan kering nuansa dan imajinasi. Dan yang paling disayangkan adalah ketika kehilangan pertanyaan-pertanyaan eksotis hasil renungan lintas disiplin.
Contohnya, sebuah pemahaman bahwa evolusi media memengaruhi cara orang menghargai kehadiran orang lain, akan sangat sulit dirumuskan bila ilmu komunikasi tak dibantu oleh ilmu sastra dan ilmu budaya.
Ilmu budaya menyediakan bingkai tentang praktik budaya apa yang melekat pada media tertentu, sementara ilmu sastra menyedikan kasus-kasus dalam simulasi kemasyarakatan yang terikat dalam imajinasi pengarang di satu masa tertentu. Dari situ akan didapat dimensi kultural dan dimensi historis yang mungkin sangat sulit bila hanya mengandalkan ilmu komunikasi semata.
Untuk mempertajam kemampuan problem solving dan untuk mendapatkan pertanyaan-pertanyaan eksotis, maka pengetahuan alternatif dibutuhkan.
Seorang penjaga toko buku independen di pelosok Bantul yang pernah penulis temui misalnya, selain menjual buku-buku populer, ia juga mengoleksi kumpulan majalah anak, poster-poster film karya desainer ternama, kumpulan jurnal Prisma lawas dan buku-buku gastronomi. Setelah ditanya, ternyata ia alumni ekonomi syariah di salah satu perguruan tinggi islam swasta di Jogja.
“Ini [kumpulan majalah anak] mas di dalemnya ada serial Max Havelaar versi kartun. Saya ngumpulin ini sengaja buat arsip. Kita ga tau kapan dan gimana sejarah dan perkembangan kartun anak-anak di Indonesia dimulai. Dari sini juga kita bisa tau gimana konstruk wacana apa yang dikasih ke anak-anak di tiap dekade. Apalagi ini terbitan tahun-tahun era Orde Baru.” Tuturnya, sambil membuka-buka bundle koleksi majalah anak.
Ia menyambung, “jurnal-jurnal Prisma dulunya beken mas. Banyak intelektual nulis di situ. Cuma yang paling saya cari itu data-datanya. Data-data kaya gini,” sambil menunjuk ke tabel yang judul ‘Bentuk Rumah yang Diinginkan oleh Rupa-Rupa Profesi’ di salah satu edisi Prisma, “kalo nyari di Google ga bakal ada. Siapa coba yang punya data kaya gini? nah, di sini ada.”
“Ini semua [koleksi-koleksi lawasnya] pengen saya arsipin, bikin database digital, dan dibuka buat siapa aja yang butuh. Supaya nanti mahasiswa atau peneliti ga repot cari kesana-kemari.” Pungkasnya.
Si penjaga toko buku telah berhadapan dengan pengetahuan alternatif. Ia mampu memperoleh pertanyaan-pertanyaan eksotis dari sumber-sumber yang sering dipandang sebelah mata. Yang menarik dari pengetahuan alternatif adalah, ia merangsang pemiliknya untuk memiliki visi tentang apa saja yang bisa dilakukan dari sumber-sumber anehnya melalui temuan-temuan―yang kadang kala―terdengar absurd, namun kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan dan kehidupan tak bisa dianggap remeh. Melalui semangat alternatif, gulir kehidupan bersama menuju kondisi yang lebih baik dapat lebih cepat.